Andrian membawa Aline ke rumah baru mereka. Ia lalu menaruh koper Aline di kamar utama, sedangkan Andrian sendiri disebelah kamarnya. Di dalam perjalanan Aline sudah mengingatkan jika dirinya tidak ingin tidur sekamar dengan Andrian.
Andrian sengaja memilih kamar bersebelahan dengan Aline, takut istri barunya itu membutuhkan sesuatu. Dan benar saja dugaan Andrian, ketika dirinya telah membenahi kamarnya. Pintu kamarnya diketuk kemudian terbuka, menampilkan wanita yang baru di nikahinya kemarin.
"Aku lapar, sampai kapan kau akan diam di kamar?" Tanya Aline dengan wajah malas memandang Andrian.
Andrian lalu tersenyum tipis. "Maaf, tunggu sebentar aku akan memasakan makanan untukmu." Balas Andrian setelah menaruh pakaiannya ke lemari.
"Tidak, aku tidak mau masakanmu. Bisa saja kau menaruh sesuatu di makananku, siapa tahu. Pesankan saja masakan China, aku ingin memakan itu." Seru Aline kemudian membalikkan badannya meninggalkan Andrian yang terdiam membisu.
Andrian tersenyum getir mendengarkan tuduhan Aline pada dirinya. Dia benar-benar tulus ingin memasakan untuk istrinya, tapi istrinya itu malah menuduhnya yang tidak-tidak.
Menghela napasnya, Andrian lantas meninggalkan kamar sambil menelepon restoran China untuk makan malam mereka.
Tak berapa lama kemudian, masakan yang di inginkan Aline datang. Wanita itu dengan sigap mengambil makanannya, membawanya ke kamar tanpa memedulikan Andrian yang tengah memandangnya.
Bersyukurlah jika dirinya sudah menyiapkan sayur dan segala jenis bahan masakan. Karena tahu jika sang istri tidak akan memberinya makanan, dirinya lantas melangkah ke dapur ia akan membuat makan malam untuk dirinya sendiri.
*
*
*
*
Setiap harinya pasangan suami istri itu tidak bertegur sapa, ah ralat maksudnya bukan si suami yang tidak bertegur sapa, melainkan si istri. Setiap Andrian mencoba bertanya terlebih dahulu, Aline selalu melengos. Dia tidak pernah menggubris perkataan Andrian, Aline akan berpura-pura tidak mendengar ataupun pergi. Aline benar-benar mengacuhkan Andrian, dia tidak menjalankan peranan istri yang baik untuk Andrian. Dia tidak pernah memasak untuk Andrian, melayani Andrian seperti menyiapkan pakaian atau hal-hal sepele lainnya, dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Bukan tanpa alasan dia melakukan hal itu, tapi dia sengaja untuk membuat Andrian marah kepadanya dan menceraikannya. Iya, tujuan Aline untuk itu. Tapi, sayangnya Andrian tidak melakukan itu juga. Andrian memaklumi sikap Aline kepadanya, mungkin Aline terbiasa hidup sendiri dan di manja oleh orangtuanya. Lagi pula, Andrian mulai memiliki rasa pada sang istri, jadi untuk apa masalah sepele seperti itu dia permasalahkan.
Sejak menikah, Aline sudah tidak bekerja di perusahaan ayahnya. Karena ayahnya ingin Aline fokus dengan mengurus rumah tangganya saja. Pada awalnya Aline jelas menolak, tapi sekali lagi perkataan ayahnya tidak bisa dibantahkan sekalipun. Maka dari itu lah, Aline benar-benar bosan dan jenuh. Setiap harinya dia diam saja di rumah, menonton tv tidak melakukan pekerjaan lain. Semua pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci, mengepel, membersihkan rumah dan juga memasak. Itu sudah ada tugasnya, Andrian memperkerjakan beberapa asisten rumah tangga untuk membantu Aline.
Biasanya ketika Andrian pulang bekerja, Aline berada di dalam kamar. Entah emang sudah tidur, atau dia sengaja menghindari Andrian. Tapi sekarang, Aline berada di ruang santai dengan camilan yang berada di tangannya.
"Kamu sudah makan?" Tanya Andrian yang melihat sang istri.
"Belum," jawab Aline yang membuat Andrian tersenyum.
Karena Aline bisa dihitung dengan jari membalas pertanyaannya.
"Kenapa?"
Andrian mengambil tempat duduk di di seberang Aline. Tidak jadi ke kamar.
"Aku bosan,"
"Aku ingin ke rumah orangtuaku, dan kau haru ikut," seru Aline yang kemudian berdiri dari tempat duduknya.
Andrian tidak bisa berkata tidak, mungkin Aline memang merindukan orangtuanya. Terhitung sudah satu bulan wanita itu tidak bertemu dengan orangtuanya, jadi Andrian merasa itu wajar.
Andrian masuk ke dalam kamar, dia membawa beberapa baju ganti untuk bekerja dan pakaian tidur. Karena dia tahu, istrinya itu tidak mungkin meminta sehari untuk menginap di sana. Setelah di rasa siap, dia membawa tas berukuran sedang yang berisi barang bawannya. Di lantai bawah dia sudah melihat Aline yang telah rapi, wanita itu tidak membawa tas untuk pakaiannya. Hanya tas kecil yang selalu dia pakai untuk pergi keluar.
Di dalam mobil, Aline kembali bersuara unruk memperingatkan Andrian.
"Dengar, ketika di sana kau tidak boleh berbicara apapun kepada kedua orangtuaku, termasuk kita yang tidak sekamar. Dan, ingat ketika kita tinggal di sana, kau tidur di sofa. Aku tidak ingin membuat kedua orangtuaku curiga dengan kita yang tidur terpisah,"
Andrian hanya diam, sibuk dengan kemudinya.
"Kamu ingin mampir dulu ke restoran?"
"Tidak, aku sudah meminta Bu Dewi untuk memasak makanan."
Andrian mengangguk, dia kembali fokus menyetir. Hingga tak berapa lama, mobil mahal itu sudah berhenti di depan sebuah rumah besar yang tentunya tidak lebih besar dari milik keluarganya.
Aline segera turun dari mobil, dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan kedua orangtuanya. Tidak memedulikan Andrian yang belum turun dari mobil.
"Mama," panggil Aline yang langsung menghambur kepelukan sang ibunda, Andrian yang baru saja masuk tersenyum tipis melihat sikap Aline yang berbeda.
"Hai, Ma. Gimana kabarnya, Sehat?" Tanya Andrian sambil mencium punggung tangan sang mertua.
"Alhamdulillah, sehat. Ayo kita langsung ke ruang makan, papa di sana sudah menunggu." Ajak sang mama membawa anak serta menantunya ke ruang makan.
Benar saja, di sana sudah ada sang papa tengah menunggu kedatangan mereka. Baik Aline maupun Andrian menyalami sang papa bergantian, mereka kemudian dipersilahkan untuk makan oleh kepala keluarga di sana. Mama Aline bertanya mengenai anak dan menantunya yang tentunya mereka jawab dengan kebohongan. Andrian tidak banyak bicara, dia hanya sesekali menanggapi.
"Jadi, gimana? Apakah kamu sudah ada tanda-tanda hamil, sayang?" Tanya sang mama setelah mereka menghabiskan makan malamnya.
Aline dan Andrian seketika terdiam, wajah keduanya terlihat menegang.
"Ma, mama apaan, sih. Aku sama Andrian itu baru nikah, kita mau nikmatin dulu berduaan."
"Benar begitu, An?" Tanya papa Aline.
Andrian mengangguk, meskipun di dalam lubuk hatinya dia tidak ingin. Dia menginginkan anak dari Aline, tapi dia harus bersabar. Karena dia harus mendapatkan Aline terlebih dahulu, baru keinginananya bisa terwujud.
"Kami memang menunda dulu untuk memiliki anak, pekerjaan saya masih terlalu banyak. Saya takut, jika Aline hamil saya tidak bisa menjaga Aline dengan baik,"
Aline mendecih, berbeda dengan sang mama yang memandang Andrian dengan pandangan mendamba. Menurutnya menantu satu-satunya itu sangat idaman sekali, memprioritaskan anaknya.
"Sayang sekali, padahal Mama ingin secepatnya menggendong cucu."
"Kalian tidak boleh menundanya terlalu lama, ingat Aline. Kamu adalah anak kami satu-satunya, kami hanya bisa mengandalkan kalian berdua." Ingat sang papa yang membuat Aline hanya bisa mengangguk pasrah.
"Yasudah, sebaiknya kalian segera istirahat. Mama tadi sudah meminta Bu Dewi untuk membereskan kamar mu, Line."
"Terima kasih, Ma." Ucap Andrian dengan senyum tulus.
Ketika Aline sudah berdiri, perkataan sang papa membuat Aline membeku.
"Papa harap kamu tidak bertindak aneh-aneh, Aline. Jangan pernah untuk memikirkan pria lain selain suamimu sendiri, dan yang benar-benar harus kau ingat. Jangan pernah untuk menemui laki-laki bengkel itu lagi, karena sampai saat ini Papa masih mengawasimu!"
Aline berdiri kaku, dia ingin menjerit dan berteriak, jika dirinya sudah muak dengan aturan kolot orangtuanya. Tanpa sepatah katapun dia pergi meninggalkan ruang makan, Andrian yang melihat sang istri pergi dengan langkah lebar menyusul.
_
_
_
_
_
TBC