Bab 1

2292 Kata
Aline menggeram marah begitu mendengar perkataan sang Papa yang menyuruhnya untuk menikah dengan pria lain. Bagaimana mungkin dia harus menikah, di saat dirinya dan sang kekasih tengah merancang pernikahan mereka berdua. Selama ini mereka berdua menabung, terlebih Romi yang lebih giat darinya ketika mengumpulkan pundi-pundi uang. Tapi jika begini, pernikahan yang di impikannya gagal apa yang harus dirinya lakukan. Bukan hanya dirinya yang sakit hati, tapi Romi juga bahkan mungkin prianya itu yang lebih sakit dari pada dirinya. "Apa maksud Papa, aku tidak mau menikah dengan pria lain selain Romi!" Papa mendengus memandang Aline. "Bukankah Papa selama ini tidak mempermasalahkan hubunganku dengan Romi? Lalu mengapa sekarang tiba-tiba Papa menyuruhku menikah dengan pria lain?!" "Papa memang tidak mempermasalahkan kamu berpacaran dengan pria bengkel itu! Tapi Papa tidak merestui jika kalian menikah!" Balas sang Papa tegas. "Kenapa? Kenapa Papa tidak merestui jika kami menikah?" Tanya Aline dengan nada tinggi. "Pria itu hanya pegawai bengkel biasa, makan apa kamu nanti jika menikah dengannya?!" Aline memandang sang Papa dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin Papanya mempunyai pikiran sepicik itu? "Aku tidak menyangka Papa bisa berpikir seperti itu," serunya sambil menggelengkan kepalanya. "Papa hanya berpikir realistis, Aline!" Dan Aline hanya mendengus. "Lihat, selama berpacaran dengan pria bengkel itu. Kau selalu mendebat Papa?!" Seru Papanya murka. "Sudah lah, Pa. Aline masih kaget dengan berita ini, biarkan Aline memikirkannya dulu." Sahut Mama Aline berusaha menenangkan sang suami yang begitu emosi kepada sang anak. "Dengar! Jika kamu masih menganggap Papa dan Mamamu sebagai orang tuamu. Kamu harus menikah dengan pria pilihan Papa. Jika tidak pergi dari rumah ini, dan jangan anggap kami orang tuamu!" Seru Papa lagi kemudian beranjak dari kursi makan. Meninggalkan Mama dan anak perempuan satu-satunya. Aline menunduk, salah satu tangannya memegang sendok dengan erat. Makan malamnya benar-benar berantakan, dia baru makan sesendok nasi dan Papanya langsung mengatakan tentang pernikahannya dengan pria lain. Pada akhirnya dia menangis, dia kalut dan bingung harus bagaimana. Aline yang tengah terisak dengan wajah menunduk tiba-tiba ia merasakan bahunya di remas oleh seseorang. Ia kemudian memalingkan wajahnya ke samping dan menemukan sang Mama berada di sampingnya. "Papamu benar, Line. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Selama ini kami selalu memberikan apapun yang kamu inginkan, semuanya. Kami menyekolahnkanmu hingga tinggi di sekolah ternama dan bagus, itu semua demi kebaikanmu. Dan sekarang Mama minta kamu untuk memikirkan ke inginan Papamu." "Tapi Aline tidak minta itu semua, Ma.  Aline tidak minta Mama sama Papa untuk meyekolahkan Aline di sekolah bagus." "Memang, tapi semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Apa itu salah?" Balas sang Mama yang membuat Aline terdiam dengan masih sesenggukan. "Lalu Aline harus gimana? Mama kan tahu Aline cinta banget sama Romi. Kita bahkan udah nabung untuk pernikahan nanti." Ujarnya lagi sambil memandang sang Mama dengan pandangan yang benar-benar sedih. Sang Mama menghela napasnya berat, dia juga bingung jika dia berada di posisi Aline. Namun, ini suaminya kepala keluarga di keluarga mereka yang harus di turuti apapun yang di katakannya. Lagi pula, sejauh ini perkataan suaminya selalu benar. "Mama tidak akan memaksamu, jika kamu memilih Romi. Kamu harus pergi dari sini, dan jangan menganggap kami orang tuamu. Tapi jika kamu menyetujui permintaan Papamu, itu berarti kamu tahu bagaimana membalas jasa kedua orang tuamu, Line." Jawab sang Mama sambil tersenyum kemudia beranjak pergi mengikuti jejak sang suami yang terlebih dahulu meninggalkan dapur. _ _ _ _ _ Aline berdiri di depan sebuah bengkel, di sana terlihat Romi yang tengah sibuk bekerja. Dia meragu sebenernya untuk menemui Romi di sini, tapi dia hanya bisa bertemu dengan Romi hari ini. Karena nanti malam dia akan bertemu dengan calon suaminya. "Aline?" Seru Romi begitu melihat kekasihnya yang mendatangi tempatnya bekerja. Romi lantas menghentikan aktifitasnya, lalu berjalan menghampiri sang kekasih yang terlihat berbeda. "Hai, tumben kamu ke sini nggak kabarin aku dulu, ada apa?" Tanya Romi dengan senyum lebar. Aline menghela napasnya berat, bibirnya begitu kelu untuk berucap. Ia benar-benar ingin menangis dan pergi dari sini, dan menggagalkan keinginan orang tuanya. Tapi terlambat, dia sudah berada di sini dan ia harus mengatakannya. Melihat kekasihnya di depan matanya, yang dipacarinya selama bertahun-tahun dan kini ia harus melepaskannya. Itu sungguh menyiksanya, dia tidak sanggup. "Hei, kok malah ngelamun?" Tegur Romi bingung melihat kekasihnya itu yang terlihat berbeda. Aline seketika tersadar dari lamunannya, dan tersenyum lebar pada kekasihnya itu. "Tidak ada, aku... Aku hanya merindukanmu." Balas Aline menutupi air matanya yang akan tumpah, dadanya sungguh sesak. Beberapa kali dirinya mencoba untuk mengerjapkan matanya, menghalau bulir-bulir air mata yang siap kapan saja jatuh. "Kamu udah makan siang?" Tanya Aline. "Belum, aku belum selesai." "Ayo makan siang bersama? Aku tiba-tiba saja ingin makanan kesukaanmu." Seru Aline dengan antusias. Romi tersenyum kemudian mengangguk. "Tunggu, aku membersihkan dulu tanganku." Ucap Romi yang di angguki oleh Aline membiarkan pria itu untuk kembali ke dalam bengkel. Tak lama kemudian mereka berdua berjalan beriringan, karena kedai makan kesukaan Romi letaknya tak begitu jauh hanya beberapa meter saja dari bengkel. Romi memesan dua mangkuk soto ayam dengan nasi, kemudian mereka makan bersama. Aline merekam semua ekpresi wajah Romi di depannya, melihat dia makan, melihat dia berbicara padanya, tatapan lembut kepadanya dan semua perhatian yang dia berikan padanya harus ia rekam. Karena setelah ini, mungkin ia tidak akan melihat ekpresi seperti itu lagi pada wajah kekasihnya. "Rom, a-aku mau bicara." Sahut Aline tiba-tiba. Dia menghentikan aksi makannya masih tersisa setengah. Perkataan Aline membuat Romi menaikkan alisnya. "Ngomong aja, sayang. Biasanya juga kamu cerewet." Balas Romi sambil tersenyum. Aline benar-benar ragu, kedua tangan yang ia sembunyikan di bawah saling bertaut. Meremasnya dengan tekanan, dia benar-benar kesulitam untuk mengatakan ini. "Kita udahan aja ya." Ucap Aline dengan lirih namun masih dapat di dengar dengan jelas oleh Romi. Senyum di wajah Romi seketika menghilang, digantikan dengan wajah dingin. Dan Aline tentunya tak bisa melihat perubahan ekspresi Romi karena dia menunduk sambil berbicara. "Apa maksudmu? Hubungan kita berakhir?" Tanya Romi dengan dingin memastikan jika pendengarannya tidak salah. Aline diam saja namun mengangguk juga. "Kenapa? Kenapa kamu ingin mengakhiri semua ini?" Aline semakin meremas kedua tangannya, dan bibirnya ia biarkan menutup rapat. "Apa salahku? Apa karena aku belum melamarmu secara resmi pada kedua orang tuamu?" Tanya Romi kembali memandang Aline.  Aline seketika mendongak lalu menggelengkak kepalanya. "Bukan, bukan seperti itu. Aku tidak masalah soal hal itu." "Lalu apa? Apa alasanmu, Line?!" "Papa menjodohkanku dengan pria lain." "Dan kau menyerah? Menyerah dengan hubungan kita?" Serunya keras. Mata Aline sudah berkaca-kaca mendengar ucapan Romi yang membuat hatinya semakin nyeri. "Maaf, maafkan aku. Aku tidak ingin membuat orang tuaku terluka." "Tapi kau membuatku terluka, Line!" Jawaban Romi membuat Aline pada akhirnya menangis. "Aku mohon, maafkan aku. Jika aku menolak, sama saja aku tidak berbakti pada orang tuaku. Mereka selama ini membesarkanku, Rom. Hanya aku anak satu-satunya bagi mereka." Jelas Aline ingin membuat Romi mengerti. "Aku harap kau mengerti dengan keputusanku, ini begitu menyulitkaku. Kau tahu aku juga mencintaimu, Rom kau tau itu." Romi mendengus mendengar perkataan Aline. "Kalau begitu, buktikan. Buktikan jika kau memang mencintaiku, menikah denganku dan tinggalkan kedua orang tuamu!" Seru Romi yang membuat Aline semakin menangis. "Maafkan aku, Rom maaf." Ucap Aline lalu beranjak dari duduknya kemudian berlari, pergi meninggalkan Romi yang termenung dengan luka hati yang menganga. "Aku tidak akan melepaskanmu, Line. Aku bersumpah, aku akan membuat orang tuamu menyesal karena telah memisahkan kita." Lirih Romi sarat akan janji. _ _ _ _ _ Acara pertemuan kedua keluarga Aline dengan calon suaminya berjalan lancar. Andrian nama calon suaminya, pria itu tampan, ramah, lembut dan selalu tersenyum. Tapi Aline tidak menyukainya, karena hatinya telah memilih Romi sampai kapan pun. Andrian pengusaha sukses dengan keluarga yang sudah kaya dari dulu. Berbeda dengan Romi yang hanya memiliki seorang Ibu saja dengan ekonomi yang pas-pasan. Itu juga salah satu faktor Papanya tidak merestuinya, karena keluarga Romi tidak jelas asal usulnya. Dia jelas marah begitu tau alasan-alasan Papanya. Hari terkutuk yang tidak ingin dia lalui pun terjadi. Dia menikah dengan Andrian, pria yang memiliki senyum memikat. Sedari tadi dia terus menampilkan senyum tipis, tak memedulikan jika dirinya akan di bicarakan oleh tamu undangan. Sampai acara itu selesai dan dia bergegas untuk meninggalkan pesta tersebut lebih dulu. Tak menghiraukan keluarganya atau keluarga Andrian yang akan membicarakannya. Dia tidak peduli sama sekali, yang dirinya butuhkan saat ini hanya istirahat di kamar. Aline mulai melepaskan aksesoris yang berada di tubuhnya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah membersihkan diri tubuhnya terasa rilex, ia lalu mulai membongkar koper yang telah di siapkan sang Mama. Aline mendengus kasar melihat hanya lingerie dan lingerie yang ada di kopernya. Apa yang dipikirkan Mamanya itu, dia tidak akan memakai salah satu di antaranya. Dia lebih baik tidur dengan jubah mandi yang dipakainya, dari pada harus memakai lingerie sialan itu. Aline membuka lemari yang berada di kamar hotelnya, dan lagi-lagi ia mendengus kasar tidak melihat satu pakaian pun. Jika begini dia terpaksa harus tidur dengan jubah mandinya. Sedang sibuk-sibuknya berpikir, tubuhnya tiba-tiba dipeluk oleh seseorang. Aline yang kaget seketika menyentak pelukan tersebut. Membalikan tubuhnya, lalu menatap Andrian dengan marah. "Jangan pernah menyentuhku!" Seru Aline kasar pada pria yang berstatus suaminya beberapa jam lalu dengan nada yang terdengar marah. Andrian menatap Aline bingung. "Apa masalahmu?" Tanya Andrian bingung. "Kau! Salahmu adalah kau menjadi suamiku!" "Dengar! Jangan pernah menyentuhku seujung kuku pun. Aku tidak sudi kau menyentuhku. Aku tidak akan pernah menganggap pernikahan ini normal! Terkecuali hanya di depan keluarga kita saja. Dan jangan pernah mengurusi kehidupan pribadiku, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai suamiku!" Sembur Aline kasar dengan mata yang berkilat marah. Aline lantas pergi meninggalkan Andrian yang masih terpaku setelah mendengar ocehannya. Persetan dengan dirinya yang begitu kasar pada suaminya. Dia tidak peduli, benar-benar tidak peduli. Andrian yang melihat Aline meninggalkannya, setelah mengatakan kata-kata yang membuat hatinya sakit hanya bisa tersenyum miris. Dia baru saja akan memulai semuanya, tapi perkataan Aline yang seperti itu membuat dia sadar diri. Padahal sejak awal dia bertemu, dia sudah jatuh hati pada wanita itu. Aline keluar dari kamar mandi, dia lalu berjalan menuju ranjang besar di sana. Ia lantas mengambil bantal dan selimut, lalu membawanya ke sofa yang berjarak tak jauh dari ranjang. Andrian memperhatikan gerak-gerik Aline ia lantas menegur wanita itu. "Aku tidak sudi harus tidur seranjang denganmu, biarkan aku tidur di sini." Seru Aline ketika Andrian menyuruhnya untuk tidur di kasur. "Tidak, Aline. Kau tidur di kasur, biar aku yang tidur di sofa." Balas Andria membuat Aline menyentak selimut yang dipakainya lalu bangkit dari sofa kemudian berjalan menuju ranjang. "Apa kau tidak lapar?" Tanya Andrian sambil membuka satu persatu kancing kemeja yang dipakainya. "Tidak, aku cukup kenyang untuk mendengar omong kosong tentang pernikahan kita." Seru Aline dengan mata tertutup. Dan setelah itu tidak ada percakapan di antara mereka, Andrian berjalan ke kamar mandi sedangkan Aline berusaha untuk segera tidur. _ _ _ _ _ Ke esokan paginya, Andrian telah lebih dulu bangun dibanding Aline. Ia segera mandi dan membangunkan Aline. "Jangan menyentuhku!" Seru Aline marah setelah dirinya di bangunkan oleh Andiran. "Maaf, kedua orang tua kita telah menunggu untuk sarapan." "Persetan!" Sembur Aline marah lalu menyentak selimut yang membungkus tubuhnya. Aline segera berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan Andrian yang menghela napasnya. Tak membutuhkan waktu lama untuk Aline bersiap, tak banyak berkata Aline membuka pintu kamar hotelnya di ikuti oleh Andrian yang berjalan di belakangnya.  Di sana keluarga besar dirinya dan Andrian tengah berkumpul. Orang tua mereka menyambut pasangan pengantin baru itu dengan senyum merekah. "Oh menantu cantiku, betapa beruntungnya Andrian mendapatkanmu." Seru Amira melihat Aline dan Andrian berjalan  menghampiri meja mereka. Aline tersenyum tipis, lalu duduk di sebuah kursi yang masih kosong setelah Andrian mendorongnya ke belakang. Untuk memudahkan dirinya duduk, lalu Andrian mengambil tempat di sampingnya. "Kau ingin makan apa?" Tanya Andrian pada Aline sambil melihat menu makanan yang sudah tersaji di meja. "Manisnya, kau seperti Tuan Putri, Aline. Di layani oleh suamimu." Ucap seorang wanita yang diperkirakan seumur dirinya. Wanita tersebut seolah tengah menyindirnya, namun Aline hanya menatap datar wanita itu. "Tika." Tegur pria disebelah wanita yang telah menyindirnya. "Lupakan, dulu aku juga seperti itu. Bedanya aku melayani suamiku bukan aku yang dilayani." Ucapnya lagi yang membuat Aline kali ini memandangnya dingin. "Cukup, Tika. Apa masalahmu?" Tegur Andrian kali ini dengan nada mengancam. "Maaf, aku hanya masih tidak percaya dengan perubahan statusku." Sesal Aline dibuat semeyakinkan mungkin. "Tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan sayang. Mama nanti akan memberitahumu, masakan apa yang disukai Andrian." Seru Amira mencairkan suasana yang sempat tegang. Aline hanya mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban. Memasak untuk Andrian? Ck jangan harap! Ucapnya dalam hati. "Papa sudah mengirimkan barang-barangmu." Sahut Papa Aline yang seketika menyita perhatian Aline. "Dikirim? Maksud Papa?" "Sepertinya aku lupa bilang, setelah dari sini kita akan menempati rumah baru kita." Seloroh Andrian. Aline seketika memandang suami barunya itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Dia tidak bisa memarahi suaminya itu di sini, tidak di depan keluarga besar mereka. Menghela napasnya Aline membalas perkataan Andrian. "Oke." Dan mereka kembali memakan sarapannya. Setelah sarapan kedua orang tua mereka perlahan mulai meninggalkan dua pasangan muda tersebut. Dirinya dan Andrian lalu Tika dan suaminya yang baru diketahui sebagai adik Andrian. "Bagaimana malam pertamamu?" Tanya Tika dengan senyum aneh setelah Andrian dan Rafa pergi. "Kenapa kau ingin tahu urusan ranjang kami?" Tanya Aline balik. "Well, aku harap kau bisa memuaskan Andrian." Aline mengatup bibirnya rapat, tak mengerti dengan ucapan adik iparnya tersebut. "Tentu saja. Andrian sangat puas dengan tubuhku." Balas Aline berapi-api. Tika yang mendengar balasan Aline tertawa mengejek. "Kau pikir aku percaya? Ck Aline, Aline. Aku tidak tahu mengapa kau berbohong, Andrian bahkan tidak menyentuhmu, bukan? Kasihan sekali kau." Rahang Aline mengeras mendengar perkataan kurang ajar Tika padanya. Dia tidak mengerti arti dari perkataan Tika kepadanya. Untuk apa wanita itu bertanya seperti ini, apa maksudnya. Belum sempat Aline membalas perkataan Tika. Andrian dan Rafa kembali ke meja mereka. "Bisa kita pergi? Aku ingin jalan-jalan sebelum kita pulang." Pinta Aline pada Andrian begitu suaminya itu duduk di samping kursinya. Andrian langsung mengiyakan lalu mereka berdua pergi berjalan meninggalkan meja sarapan tersebut. _ _ _ Tbc 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN