Bab 5: Scandal

1032 Kata
"Bagaimana, apa bisa saya mendapatkan informasi tentang lelaki yang membawa anak saya ke hotel ini?" Brian menunggu jawaban dari petugas resepsionis hotel yang tadi sudah berdiskusi dengan rekannya. "Maaf Pak, tapi informasi seperti itu tidak boleh diberikan pada siapapun. Ini semua sudah menjadi aturan di hotel kami. Semua identitas tamu yang datang ke hotel ini dan menginap di sini harus dirahasiakan, kecuali kepolisian yang meminta informasi seperti itu untuk penyelidikan kasus berat," jelas petugas itu masih dengan senyuman ramah. Brian mengembuskan napas kasar, "Saya butuh informasi itu karena masa depan anak saya hancur setelah dia dibawa oleh lelaki itu. Saya hanya minta kalian membawa saya ke ruang CCTV dan mengecek rekaman CCTV di sana tepat satu bulan yang lalu." "Sekali lagi maaf Pak, semua itu sudah menjadi aturan dari hotel kami." Resepsionis itu melirik teman di sampingnya. "Tapi saya hanya minta Anda mengecek CCTV saja, tolong saya. Saya hanya ingin tahu siapa yang membawa anak saya ke hotel ini." Brian masih bersikeras. Seorang staff hotel laki-laki mendekati resepsionis wanita tadi lalu berbicara dengan Brian, "Sekali lagi kami mohon maaf Pak, karena pengecekan rekaman CCTV itu hanya bisa dilakukan oleh tim kami dan juga polisi yang memang sedang menyelidiki kasus hukum. Kami tidak bisa mengijinkan Anda untuk ke ruangan CCTV, karena semua sudah menjadi aturan dari hotel kami." Suara tegas dan dingin lelaki itu membuat wajah Brian terlihat semakin emosi. "Saya ke sini baik-baik dan saya meminta tolong baik-baik pada Anda, kenapa Anda marah seperti itu? Anda tidak tahu bagaimana perasaan saya sebagai seorang ayah yang anaknya hancur setelah dibawa ke hotel ini!" Brian pun meninggikan suaranya. Staff hotel menghela napas kasar lalu berjalan meninggalkan meja resepsionis. Sedangkan Brian masih berbicara dan berusaha meminta izin untuk melihat rekaman CCTV di hotel itu. Tak lama, dua orang petugas keamanan datang dan berbicara dengan Brian. "Kalian semua akan menyesal kalau sampai saya membawa kasus ini ke jalur hukum!" ancam Brian dengan teriakan kencang. Dua orang satpam memegang lengan Brian dan menyeretnya keluar dari lobby hotel. "Mentang-mentang saya orang susah kalian bisa seenaknya saja!" cecar Brian pada petugas resepsionis yang melihatnya. Para pengunjung hotel memperhatikan Brian yang dibawa paksa oleh petugas keamanan. "Anak saya hancur karena lelaki itu dan kalian seolah tidak mau tahu! Saya do'akan keluarga kalian mengalaminya juga!" sambung ayah satu orang anak itu sambil terisak menahan tangis. "Tolong diam! Atau saya jebloskan Anda ke dalam penjara!" ancam petugas keamanan itu dengan nada tinggi. "Laporkan saja! Saya tidak takut! Yang harusnya saya laporkan adalah kalian semua!" tantang Brian yang lebih meninggikan suaranya satu oktav. Dua orang petugas keamanan yang menggunakan seragam hitam itu mendorong tubuh Brian ke parkiran. Tubuh Brian terjerembab ke atas aspal, untung tangannya cepat menahan yang hampir saja mencium aspal. "Jangan datang lagi dan membuat keributan di sini!" ancam dua orang petugas keamanan itu. Brian berdiri, merapikan pakaian dan membersihkan celana panjangnya lalu menunjuk kedua petugas keamanan itu. "Aku akan datang ke sini lagi dan akan menutup hotel ini agar kalian semua kehilangan pekerjaan," katanya dengan percaya diri. Dua orang petugas keamanan itu memutar tubuhnya ke belakang lalu kembali ke lobby hotel. Brian menghela napas sesak, masuk ke mobil lalu duduk. Bulir bening tak mampu lagi terbendung dan akhirnya mengalir deras. "Sialan! Mentang-mentang aku bukan orang kaya, mereka memperlakukan aku seperti sampah," ucap Brian sambil merapatkan gigi, menahan getaran di dagu. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponsel dari saku celana lalu menghubungi Berlian. Tak lama, telepon darinya diterima oleh sang anak. "Daddy gagal mendapatkan informasi dari hotel ini. Apa kamu tahu tempat lain? Tolong jelaskan lebih detail kenapa lelaki itu bisa membawamu ke hotel," pinta Brian pada anaknya. "Malam itu aku datang ke party di klub malam Mauren dan aku diberikan minuman oleh teman-temanku, setelah itu aku tidak sadarkan diri. Awalnya aku dibawa ke kamar oleh lelaki gendut di klub itu dan aku berhasil kabur. Aku meminta tolong pada seorang lelaki dan dia justru membawaku ke hotel," jelas Berlian dengan suara parau, sambil menangis. Brian mengusap wajahnya lalu mengakhiri telepon tanpa mengatakan apapun lagi. Mobil pun melaju meninggalkan parkiran hotel, tujuannya sekarang adalah klub malam Mauren. "Kenapa bisa anakku menjadi seperti ini? Berlian anak baik-baik dan hidupnya hancur karena kesalahan satu malam. Ya Tuhan, kenapa engkau memberi cobaan seberat ini pada anakku?" gumam ayah satu orang anak itu sambil menangis pilu. *** "Lo mau ke mana, Ko?" tanya Aiden pada kakaknya Arshan yang keluar dari ruang kerja. Baru saja adik kembar yang lahir paling akhir itu mendatangi ruangan sang kakak, tetapi kakaknya justru keluar dari ruangan. "Gue mau pulang lebih cepat. Ada urusan sebentar," jawab Arshan sambil merapikan dasi di leher. "Jangan ke mana-mana dulu, gue butuh tandatangan lo." Aiden mendorong tubuh kekar kakaknya ke dalam ruangan. "Gue juga mau ngomong sesuatu sama lo." "Ngomong apa? Gue banyak urusan. Soal tandatangan itu, bisa gue kerjain di rumah." Klek! Pintu ruangan ditutup oleh Aiden. "Duduk dulu Ko." Lelaki berwajah oriental yang memang berdarah Chinese dari sang ayah itu kembali duduk di kursi kebanggaan. "Mau ngomong apa sih? Soal apa? Cewek? Kalau soal yang lain gue ngga mau denger." Arshan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Ck, pikiran lo cewek terus. Gue mau ngomong serius soal perusahaan Ko, bukan cewek. Please lah, jangan bikin malu keluarga, kita harus menjaga reputasi keluarga kita dan nama baik perusahaan." Arshan menegakkan tubuhnya lalu menatap sang adik yang memiliki wajah nyaris serupa, "Apa, lo mau ngomong soal apa? Kalau soal menjaga reputasi, itu udah jadi prioritas utama, ngga usah dibahas terus!" Aiden menghela napas panjang lalu mengatakan, "Bukan soal cewek Ko, dan gue tahu lo udah berusaha untuk menjaga nama baik perusahaan kita." "Yups, terus?" Arshan menyimak dengan serius. Dua tangan bertumpu di atas meja lalu menopang dagunya. "Gue mau ngomong soal Direktur keuangan, gue curiga dia menggelapkan uang perusahaan. Gue ngomong begini karena gue baru aja dapat data soal pengeluaran yang ngga jelas ke mana dan buat apa." Aiden memberikan berkas yang dia bawa dan meletakkan ke depan Arshan. Mendadak wajah Arshan memucat, karena sebenarnya pengeluaran uang tanpa tujuan yang jelas itu adalah ulahnya yang sering menyewa hotel bintang lima untuk bersenang-senang dengan wanita penghibur kelas atas. "Kok diem?" tanya Aiden menatap sang kakak yang mulai berkeringat di ruangan ber-AC. Arshan menelan saliva keras sambil mengusap keringatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN