"Kamu yakin kamu dibawa ke hotel Santika?" Brian bertanya pada anaknya untuk memastikan sebelum dia bertindak.
Lelaki paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya itu, menatap anaknya tajam, tak berkedip sedetikpun.
"Aku yakin Dad," jawab Berlian dengan sangat yakin karena pagi itu, tepat sebulan yang lalu dia keluar dari hotel tersebut.
Setelah mendengar jawaban dari sang anak, Brian pun berdiri. "Daddy akan mencari informasi tentang siapa lelaki yang membawamu ke hotel itu dan Daddy akan mendatangi dia untuk meminta pertanggungjawaban."
Berlian hanya diam sambil menundukkan kepala. Tepat di samping sang ibu terus memberi kekuatan untuk anaknya meski kekecewaan menyelimuti hati.
"Kamu tunggu saja, dan Daddy minta kamu untuk bersiap-siap menikah dengan lelaki itu, apapun bentuk wajahnya nanti. Semoga saja dia tampan dan kaya," lanjut Brian, terlihat keraguan dari raut wajahnya.
"Yang penting kamu cari tahu dulu, Mas, biar semuanya jelas," ujar sang istri.
Brian mengangguk. "Daddy berangkat dulu. Tolong kamu awasi Berlian, jangan sampai dia berbuat nekat."
Sebelum pergi, Brian menatap anaknya yang akhir-akhir ini seperti kehilangan semangat hidup, ada rasa takut yang menyelimuti hatinya, takut Berlian berbuat nekat dan mengakhiri hidup.
"Papa tenang saja, aku akan menjaga anak kita. Sebaiknya kamu percepat pencarian lelaki b******k itu!" ujar Karen, menggertakkan gigi, karena geram.
Brian menghela napas panjang, tak pernah terlintas dalam benaknya dia akan mendapatkan masalah seperti ini dan akan melihat anak satu-satunya hamil di luar nikah oleh lelaki yang tidak tahu siapa.
Dengan langkah kaki pasti, Brian keluar dari rumah minimalisnya lalu berjalan ke garasi kecil di depan rumah. Dia masuk ke mobil Avanza yang biasa disebut mobil sejuta umat.
Mobil melaju keluar dari garasi tanpa pagar, karena pintu pagar roboh dan belum sempat diperbaiki.
Meski hanya memiliki satu anak dan keduanya bekerja, tetapi pengeluaran keuangan mereka cukup besar karena mereka harus membayar hutang keluarga yang ditinggalkan mendiang orang tua mereka.
Belum lagi mereka harus membayar uang cicilan mobil dan motor untuk Berlian yang belum lunas, dan juga membayar biaya kuliah anaknya yang mengambil jurusan menejemen.
"Sudah jangan dipikirkan, Mommy yakin sebentar lagi Daddy akan menemukan siapa lelaki yang sudah menghamili kamu," ucap Karen menenangkan putrinya.
Ibu satu orang anak itu mengusap punggung Berlian lembut, menahan air mata yang ingin mengalir. Ia tak ingin membuat Berlian semakin terpuruk, karena sadar selama ini dia dan suaminya selalu sibuk bekerja hingga tak memperhatikan anak gadis mereka yang tumbuh semakin dewasa.
"Aku malu, Mom," ucap Berlian lirih, yang akhirnya bulir bening di pelupuk mata mengalir deras tak tertahankan.
"Mommy tahu perasaan kamu, tapi mau diapakan lagi? Semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur, sekarang kita hanya bisa menjalani semuanya dan kita harus tetap bertahan. Semoga saja ayah dari bayi ini bukan lelaki tua, dan jelek."
Karen mengusap perut anaknya yang masih rata dengan lembut.
Berlian menoleh ke samping menatap ibunya, "Kalau soal lelaki itu, sepertinya aku mengingat sedikit wajahnya."
"Benarkah?" Karen terhenyak kaget. "Kenapa kamu ngga ngasih tahu sama Daddy kamu tadi? Atau kamu ikut ke hotel ... oh, jangan. Jangan ke sana, karena nama kamu pasti jadi jelek. Lebih baik kamu di sini saja sama Mommy."
Berlian menganggukkan kepala pelan.
"Katakan seperti apa wajahnya?" tanya Karen melanjutkan, menatap anaknya dengan wajah penasaran setengah mati.
"Suaranya berat, dan merdu. Badannya tinggi, tegap, dan sepertinya dia tampan," jawab Berlian mengingat-ingat lagi lelaki yang menolong sekaligus menikmati tubuhnya.
"Tubuh tegap, suara merdu, sudah jelas dia tampan, tapi siapa lelaki itu? Apa dia orang kaya?" Karen mengerutkan kening. "Tapi kalau sudah menyangkut hotel Santika, sudah pasti dia orang kaya, karena Mommy pernah dengar harga sewa hotel itu sangat mahal. Dan biasanya yang menginap di sana hanya orang dari kalangan atas. Sekelas CEO dan artis, bahkan Raja Arab pernah menginap di sana."
Berlian mengubah posisi duduk menyamping lalu menatap ibunya. "Mommy yakin? Apa hotel Santika memang semewah itu?"
"Loh, kamu kan pernah nginep di sana, memang kamu ngga lihat penampakan hotel itu? Mommy saja ngga pernah mimpi tidur di hotel semewah itu apalagi sampai menyewa kamar di sana. Gaji Daddy dan Mommy selama dua bulan saja belum bisa untuk membayar harga sewa kamar di sana."
Berlian memandang kosong ke depan sambil mengingat-ingat kejadian di hotel itu.
"Waktu aku bangun memang aku lihat kamarnya sangat mewah, tapi aku ngga terlalu fokus ke sana, karena kepalaku masih sakit dan aku syok berat karena aku baru saja kehilangan keperawananku. Yang aku ingat, waktu aku keluar dari hotel, aku lihat di lobby begitu banyak staf dan juga housekeeping yang berlalu lalang."
Karen mengusap kepala anaknya, "Sudah jangan dipaksa untuk mengingat, wajar kalau kamu ngga kepikiran untuk melihat-lihat keadaan di sana karena kamu pasti syok berat."
Berlian mengangguk, mengiyakan ucapan ibunya. "Iya, aku benar-benar tidak kepikiran untuk melihat dan memperhatikan detail hotel itu, yang aku ingat cuma nama hotel itu Santika."
Karen menghela napas panjang, menatap anaknya lirih. "Semoga Daddy membawa kabar baik dan kamu secepatnya dinikahi oleh lelaki itu."
"Iya Mom," angguk Berlian penuh harap.
***
Tiba di hotel Santika, Brian langsung berjalan menuju resepsionis hotel mewah tersebut.
Awalnya dia dibuat bingung dan sedikit kagum dengan penampakan hotel mewah itu dari dekat dan ternyata sangat luas.
Namun pada akhirnya dia mulai bisa mengimbangi orang-orang kaya di sana, dengan cara memperhatikan orang-orang itu dan mengikuti cara berjalan, cara berbicara agar tidak terlihat kampungan.
Di depan meja resepsionis, Brian disambut ramah oleh petugas wanita cantik.
"Selamat pagi Pak, ada yang bisa kami bantu? Mau pesan kamar?" tanya resepsionis itu sambil tersenyum. "Kebetulan kamar di lantai dua sedang ada diskon harga permalam. Untuk berapa orang Pak?"
Brian mengusap keringat menggunakan sapu tangan lalu menjawab, "Saya tidak ingin memesan kamar. Saya hanya ingin meminta bantuan dari staff hotel di sini, karena saya ingin mencari tahu informasi tentang seseorang yang pernah membawa anak saya ke hotel ini."
Setelah mendengar penjelasan Brian, petugas resepsionis menoleh ke samping lalu berbisik pada temannya.
Kedua petugas wanita melangkah mundur lalu berbicara pada salah satu staff laki-laki.
Brian menunggu jawaban dari petugas itu sambil terus mengusap keringatnya yang mengucur deras karena grogi dan gugup.
Tak lama, petugas resepsionis hotel kembali mendekati mejanya. "Maaf Pak," ucapnya ramah.
"Iya, bagaimana?" tanya Brian menatap serius. "Saya sangat membutuhkan informasi tentang tamu itu karena dia sudah menodai anak saya. Anak saya hamil karena lelaki itu. Dia membawa anak saya ke hotel ini."