William baru saja tiba di rumah kakeknya, pria itu juga segera masuk, tidak memedulikan para pelayan yang berbaris rapi pada bagian kiri dan kanan pintu masuk ke dalam rumah.
Ekspresi William tetap sama, datar dan tatapan matanya juga begitu tajam. Pria itu terlihat jelas tidak berbakat dalam sikap ramah kepada orang-orang. Ia terus dan terus bersikap dingin, benar-benar tak tersentuh.
Entah sudah berapa lama ia tidak berkunjung ke rumah sang kakek, yang jelas lebih dari lima tahun. Selama ini hubungannya dengan keluarga juga tidak baik-baik saja, selalu ada hal yang membuat mereka berselisih paham, dan berujung pada perdebatan.
Benar ...
Tidak peduli itu hal kecil, atau juga besar, semuanya akan tetap sama. Mereka tidak memiliki ketertarikan untuk bekerja sama, dan tak akan pernah sudi untuk mengalah walau hanya beberapa persen.
“Akhirnya kau datang berkunjung,” ujar seseorang.
Tidak peduli, William tetap saja melangkah. Orang yang baru saja mengangkat suara bukanlah orang yang ingin ia temui, intinya ... ia tidak punya kepentingan dengan orang tersebut.
Melihat tingkah William, membuat wanita yang baru saja keluar dari salah satu ruangan di lantai dasar terlihat kesal. Ia kemudian melangkah cepat, menghalangi jalan William.
“Kau! Di mana sopan santunmu?” tanya wanita itu.
William yang jalannya sudah terhalang akhirnya berhenti, ia mengalihkan tatapannya ke sebelah kanan, lalu menunjuk pada tong sampah kecil yang sejak dulu selalu ada di sana.
Wanita itu menatap ke arah William menunjuk, ia masih tak mengerti. Sedangkan William, tanpa ragu ia menabrak bahu wanita itu, dan lekas menaiki anak tangga.
“KAU!” Wanita itu kembali menghalangi jalan William, jelas saja ia kesal karena pria itu mengabaikannya.
William yang kembali dihalangi langkahnya berhenti, ia beradu pandang dengan wanita itu.
“Kau benar-benar tidak memiliki sopan santun!” maki wanita itu.
William tidak menyahut.
“Kau benar-benar pria berhati dingin dan tidak terpelajar! Di mana rasa hormatmu kepada orang yang lebih tua?”
William masih berdiam diri, ia benar-benar tidak tertarik untuk bicara, atau memperdebatkan hal yang tidak berguna. Pria itu kemudian kembali menaiki anak tangga, sedangkan wanita yang menghalanginya malah diam dan terpaku.
“WILLIAM!” Suara wanita itu terdengar cukup nyaring, tetapi sayangnya William yang memang terlalu dingin dan tidak peduli itu masih melangkah dengan tenang.
“Nyonya Guen, sebaiknya Anda menyerah jika ingin bicara dengan Tuan William.” Zakky yang tak tega melihat wanita itu segera mengemukakan sarannya, ia cukup tahu jika Nyonya Guen adalah salah satu dari sepupu ibu kandung William yang sangat-sangat ingin William menunjukkan sikap hormat padanya.
“Kau ... bawahan tidak berguna, sebaiknya segera ajari majikanmu!” Nyonya Guen segera melangkah pergi.
Zakky yang mendengar penuturan Nyonya Guen memilih tak peduli, ia kemudian melangkah lagi untuk menyusul William.
Tidak perlu waktu lama bagi Zakky, ia kini berjalan di belakang William, dan mereka menuju ke ruangan khusus milik kakek William.
“Zakky,” ujar William.
“Ya, Tuan Muda. Apa Anda memerlukan sesuatu?”
William berhenti melangkah, ia kemudian menunjuk ke arah sofa yang ada di lantai dua rumah tersebut. Dan Zakky yang mengerti kode dari William segera tersenyum, pria itu menuju ke arah sofa, lalu duduk di sana dengan tenang.
William kembali melangkah, ia tidak perlu ditemani jika menemui sang kakek. Apalagi ini masalah pribadi, dan Zakky tidak berhak mengetahui segalanya.
William memang orang yang dingin, poin positif dari pria itu hanya dibidang pekerjaan. Ia bisa bekerja dalam waktu yang lama, tetapi ia sangat buruk dalam bersikap kepada keluarga. Sikap ramah sedikit muncul jika sedang bersama rekan bisnis, atau ketika ia sedang berada di panti sosial yang sering mendapatkan bantuan dari dirinya.
Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya William sampai di depan sebuah ruangan. Di sana ada dua orang penjaga, dan satu orang pelayan yang sangat dipercayai oleh sang kakek.
“Selamat datang, Tuan Muda.” Ketiganya mengumbar senyum, mereka kemudian membungkuk dan segera berdiri tegak dalam beberapa detik.
William tidak menyahut, ia juga sama sekali tidak tersentuh. Sejurus kemudian pintu ruangan itu dibuka, dan tanpa menunggu lama William segera melangkah ke dalam ruangan.
Tempat yang begitu tenang, di d******i dengan warna cokelat tua, dan ada banyak lukisan pada dinding. Rak buku yang masih berdiri dengan kukuh, lalu ada juga Gramaphone yang sedang memutar piringan hitam dan mengeluarkan irama musik begitu lembut.
William menatap sekitar, lalu tatapannya jatuh pada seorang pria tua yang sedang menatap album foto.
“Tidak biasanya kau datang, ada apa, William?”
William yang mendengar pertanyaan dari sang kakek segera melangkah, tanpa dipersilakan ia juga duduk dengan sangat santai. Mata pria itu kemudian menata jendela kaca, ia memerhatikan halaman luas yang ada di luar sana.
Sang kakek menutup album foto, lalu fokus kepada cucunya. “Kau tak ingin bicara?”
William menghela napas, ia kemudian balas menatap. “Aku ingin melamar seseorang malam ini. Datanglah bersamaku, dan jangan banyak bertanya tentang keputusanku.”
Mendengar ucapan cucunya membuat pria itu tersenyum lega, ia sudah lama menantikan hal seperti ini, dan akhirnya William memutuskan untuk menikah.
William yang tahu sang kakek merasa senang kembali berdiri, ia tak punya banyak waktu untuk berbasa-basi saat ini.
“Jam berapa kita akan pergi?” tanya pria tua tersebut sebelum William beranjak.
“Tujuh malam,” jawab William.
“Baiklah, Kakek akan menjemputmu.”
William menghela napasnya lagi. “Aku yang akan datang kemari. Bersiaplah, dan jangan membawa wanita cerewet itu.”
Pria tua itu hanya tersenyum, ia kemudian kembali meraih album foto, lalu membuka dan mengamatinya dengan teliti.
William yang tidak memiliki kepentingan lain dengan sang kakek juga segera memutuskan untuk keluar, ia tidak memiliki hal penting lagi.
...
Barbara baru saja selesai dari acara mandinya, ia segera menuju ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhnya. Selagi masih ada di rumah Tuan Michael, ia harus menikmati semuanya.
Ponsel wanita itu kemudian berdering, dan beruntung pula ponsel itu ada di atas pembaringannya. Tanpa pikir panjang, Barbara segera meraih ponselnya, ia kemudian menatap pesan yang baru saja masuk pada salah satu aplikasi di ponselnya.
Pesan :
Apa kau akan mengambil cuti panjang? Hei ... ingatlah, kita sudah menandatangani beberapa kontrak dengan perusahaan ternama!
Barbara yang membaca pesan tersebut hanya diam, ia juga tidak berniat untuk membalasnya.
Setelah puas menatap ponselnya, Barbara segera meletakkannya pada meja di samping ranjang, kemudian ia menutup mata.
Ia harus tidur dengan cukup, dan menyiapkan mental untuk menghadapi hal besar malam ini. Jika tidak memiliki istirahat yang cukup, itu juga sangat merugikan bagi dirinya.
“Ini akan semakin melelahkan,” gumam Barbara.
Setelah ucapan itu Barbara menenangkan diri, ia mengosongkan pikiran, dan segera berlayar ke alam mimpi.