Pukul setengah delapan malam, dan pertemuan keluarga akan segera dilakukan. Barbara duduk dengan tenang, pada sisi kiri dirinya duduk Tuan Michael, dan pada sisi kanan duduk istri dari Tuan Michael.
Di depan mereka bertiga, William juga sudah duduk dengan tenang. Pria itu membawa kakeknya dalam pertemuan malam ini, tujuan utamanya adalah melamar Barbara.
Para pelayan diminta untuk meninggalkan ruang pertemuan dua keluarga itu, dan suasana yang tersisa saat ini sangatlah tenang untuk bicara.
William melirik Barbara, wanita itu terlihat begitu cantik malam ini. Tetapi … William tidak merasakan apa pun. Ia sudah biasa melihat wanita cantik seperti Barbara, dan ia juga pernah melihat wanita yang lebih cantik dibandingkan Barbara.
Barbara yang sadar jika William memerhatikannya mulai memainkan perannya dengan baik. Wanita baik hati, lembut, dan juga wanita yang terluka karena insiden pemerkosaan.
“Jadi … ini wanita yang kau cintai?” tanya Tuan Mark, kakek William.
William yang mendengar pertanyaan sang kakek mengalihkan perhatiannya dari Barbara, ia mengatur dirinya terlebih dahulu, kemudian memasang senyuman.
“Jika kau tersenyum seperti itu, berarti apa yang Kakek tanyakan memiliki jawaban ‘iya’, benar?”
“Ya, dan aku ingin segera menikahinya.” William melirik Barbara, dan ia bisa melihat jelas jika wanita itu menunduk. Entah apa yang Barbara pikirkan, yang jelas hal itu tidak menarik bagi William.
“Bagaimana Tuan Michael? Saya datang malam ini untuk melamar putri Anda, dan saya berharap Anda bisa menerima lamaran ini dengan hati yang senang.”
Tuan Michael yang mendengar penuturan itu tersenyum. Ia lantas menjawab, “Tentu saja, saya sangat senang karena Barbara akhirnya bisa menemukan seorang pria yang hebat.”
William yang mendengar pujian itu tertuju padanya tersenyum kecil, senyuman yang entah memiliki arti seperti apa.
“Saya juga sangat setuju dengan hal ini,” timpal istri Tuan Michael. Ia kemudian membelai rambut Barbara, terlihat begitu tulus di mata semua orang.
Barbara yang mendengar ucapan orang tua gadungannya tersenyum, ia merasa permainan semakin seru, dan tak sabar untuk bagian inti dari semua permainan tersebut.
“Barbara, bagaimana?” tanya Tuan Mark.
Barbara yang mendapat pertanyaan itu tentu saja senang, tetapi sekali lagi wanita itu tidak akan memperlihatkan hal itu. Ia akan bersikap biasa saja, dan itu juga demi drama yang sedang dirinya lakukan.
“Kenapa kau hanya diam?” tanya Tuan Mark.
Barbara dengan cepat menegakkan kepalanya, ia kemudian menatap ke arah William. Bisa ia lihat pria itu terus menatapnya, dan ia merasa bangga akan hal itu.
“Ya, aku menerimanya.”
Tuan Mark benar-benar puas dengan jawaban Barbara, sedangkan William tidak menampilkan ekspresi apa pun. Pria itu terus diam, dan kadang juga tersenyum.
“Apa kalian ingin bertunangan terlebih dahulu?” Tuan Michael mencoba mencairkan suasana.
William menghela napas. “Aku ingin menikahinya secara langsung.”
Tuan Mark menatap curiga, ia tak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi … rasanya ada sesuatu yang aneh dengan William. Ia tak tahu bagaimana William bisa langsung tertarik dengan pernikahan, terlebih ia tak tahu sejak kapan William berhubungan dengan wanita cantik di hadapannya.
William sadar dengan tatapan sang kakek, ia kemudian mencari alasan yang tepat. Tiba-tiba saja … ada sesuatu yang terlintas di benak William.
“Aku dan Barbara sudah lama menjalin hubungan, lagi pula aku dalam waktu yang cukup senggang dalam satu bulan ini. Jika mengikuti jadwal kerjaku, maka akan sangat sulit menemukan waktu yang tepat.”
Istri Tuan Michael tersenyum. Semakin cepat pernikahan Barbara dan William, semakin cepat pula Barbara keluar dari rumahnya. Ia tak sabar menantikan hal itu, dan jika memang bisa … saat ini mereka juga bisa menikahkan William dan Barbara.
“Kapan kau ingin pernikahan ini terjadi?” tanya sang kakek.
William menatap ke arah layar ponselnya. “Aku ingin pernikahan ini terjadi besok.”
Semuanya kaget.
“Kau?” Tuan Mark tak tahu harus mengatakan apa.
“Tenanglah, aku sudah menyiapkan semuanya dengan baik.” William terlihat begitu santai. Ia memang sudah mempersiapkan segalanya, dan ia juga tidak mengundang banyak orang dalam acara pernikahannya.
Barbara nyaris tak sadarkan diri saat William mengatakan keinginannya, mereka belum bisa menikah secepat itu, dan mereka juga harus menyiapkan mental masing-masing.
Lebih tepatnya … Barbara harus menyiapkan mentalnya untuk sebuah kebohongan yang lebih besar lagi.
“Sayang … apa kau keberatan?” tanya William.
“Ti-tidak!” sahut Barbara.
“Baguslah, aku senang mendengar jawabanmu.”
“Tuan Michael, kita sudah mencapai kesepakatan. Jika William mengatakan besok adalah hari pernikahan, maka semuanya sudah ia siapkan dengan baik. Anda tidak perlu khawatir akan hal itu.”
Tuan Michael tersenyum. “Tuan Mark, terima kasih sudah menerima putri saya dalam keluarga Anda.”
William tak ingin mendengarkan ramah-tamah kedua pria yang sialnya lebih tua itu, ia kemudian berdiri dan menghampiri Barbara.
“Barbara,” tegur William.
“A-ada apa?” Barbara terlihat begitu gugup.
“Aku ingin bicara denganmu.”
Tuan Michael dan istrinya saling pandang, mereka kemudian memberikan izin agar William dan Barbara bicara.
William yang tak ingin membuang waktu segera membawa Barbara keluar dari ruangan itu, ia menuju ke taman samping rumah, menatap langit malam yang gelap bertabur bintang.
“Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan, dan aku sangat berharap kau tidak terbawa perasaan kepadaku.”
Barbara diam, ia akan mendengarkan semua yang William ucapkan.
“Dan satu hal yang harus selalu kau ingat!”
“A-apa?”
“Kau hanya boneka pajangan, dan kau … tidak akan mendapatkan apa-apa dariku kecuali uang.”
Barbara yang mendengar hal tersebut mati-matian menahan tawa, ia memang mengincar uang William, dan tidak pernah menginginkan pria itu.
“Ya, itu bukan masalah. Kita menikah juga hanya untuk mengembalikan kehormatanku yang sudah kau rampas.”
William dan Barbara kemudian terdiam, mereka tak tahu harus membicarakan hal seperti apa lagi. Yang jelas … besok mereka akan menikah, mengikat janji dan sumpah untuk hidup bersama.
William kemudian menghela napas, ia melirik Barbara yang diam dan termenung. Dirinya terus berusaha mengingat kejadian saat memperkosa Barbara, tetapi hal itu tetap tak bisa.
“Aku benar-benar membenci alkohol!”
“Ha … apa yang kau bicarakan?
Tidak menjawab, William memutuskan untuk meninggalkan Barbara. Sekarang waktunya ia kembali ke ruang pertemuan, dan meninggalkan tempat tersebut.
Barbara yang melihat Tindakan William juga tak tinggal diam, ia melangkah dan berusaha menyetarakan langkah kakinya dengan pria itu.
“Tunggu!” Wanita itu meraih tangan kiri William, menggenggamnya, dan bersyukur saat William berhenti melangkah dan menatap ke arahnya.
“Di mana kita akan menikah, apa gaun yang akan aku kenakan? Pukul berapa pernikahan akan dimulai? Hei! Ada banyak hal yang harus kau jelaskan saat ini.”
“Ck … aku akan sudah meminta asistenku mengirimkan semuanya kepada ayahmu. Kau dan keluargamu hanya menerima bersih, dan hanya perlu mempersiapkan diri.”
Barbara kemudian melepaskan tangan William, ia tersenyum dan melangkah lebih dulu daripada pria itu. Sementara William yang mendapat perlakuan seperti itu memilih diam, ia menyusul langkah Barbara, dan menuju ke ruang pertemuan keluarga mereka.
William merasa nyaris gila! Ia sudah terlalu banyak bicara hari ini, dan benar-benar melelahkan jika terus mengeluarkan kata.
Tidak memerlukan waktu lama, keduanya sudah sampai di ruang pertemuan. Mereka duduk pada tempat semula, dan para orang tua cukup kaget karena kehadiran mereka.
“Ada apa, William?” tanya Tuan Mark.
William menatap kakeknya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya bicara beberapa hal bersamanya.”
“Oh … baiklah.”
William yang merasa waktunya ia untuk bicara segera menatap pada calon mertuanya. “Tuan Michael, Zakky sudah mengirimkan semua hal tentang pernikahan kepadamu. Orang-orangku yang akan datang ke rumah ini sekitar jam enam pagi, dan pernikahan akan dilakukan pada jam tujuh.”
Barbara menghela napas. “Aku harap kau tidak membeli gaun pengantin lain. Kau ingat gaun kesukaanku, bukan?”
“Ya, aku mengingatnya.” William tahu jika mereka memang seharusnya melakukan kebohongan seperti ini. Bagaimana pun dirinyalah yang membuat kebohongan lebih dulu, menatakan jika mereka sudah lama menjalin tali kasih untuk menyelamatkan harga dirinya.
Barbara hanya tersenyum setelah mendengar jawaban William, ia merasa ada di atas angin saat ini.
“Karena tak ada yang bisa dibicarakan lagi, kami akan segera kembali.” William kemudian berdiri.
Tuan Mark yang tahu jika sang cucu ingin segera pulang juga berdiri. “Tuan Michael, sampai berjumpa besok.”
Tuan Michael mengangguk.
Setelah basa-basi selesai, William dan kakeknya juga meninggalkan rumah Tuan Michael.
Barbara mengembuskan napas lega sekarang ini, benar-benar merasa bebannya pada pertemuan keluarga selesai. Wanita itu kemudian segera meninggalkan orang tua gadungannya, ia harus beristirahat sekarang, esok hari akan ada banyak hal yang lebih melelahkan.