Putri Berbakti (Eps. Batu Menangis)

1114 Kata
Baru saja selesai memasukkan satu suap terakhir, namun ucapan Sekar berhasil membuat wanita itu terdiam. Meski telah menyangka bahwa putrinya tidak mungkin melewatkan acara ramai yang selalu didatangi masyarakat kelas atas. "Pusat kota?" "He.em," angguknya dengan senyum cerah, Sorot mata menunduk sambil menghela nafas, dia mulai beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah, ibu akan ambil uang sisa tukar beras tadi-" "Tunggu. Ga usah! aku cuma mau lihat lihat aja, terus pulang." "Yaudah kalo gitu. Ayo kita berangkat," "Loh. Ibu di rumah aja, biar aku jalan jalan sendiri." Rasa senang karena putrinya tak lagi menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting, seketika menghilang saat mendengar penolakan Sekar. "Apa kamu malu, karena dandanan ibu kayak gini?" "Bukan!" menggelengkan kepala dengan pasti, "Aduh! Salah paham lagi," benaknya sedikit merasa risih, Karena sifat buruk pemeran utama, Sekar harus menjelaskan setiap niat baiknya demi menghindari kesalahpahaman. "Padahalkan, aku cuma takut dia capek terus lama nungguin lombanya selesai!" "Yaudah ayo. Kita berangkat," timpalnya, menggandeng erat tangan wanita itu. Jarak yang cukup jauh, membuat mereka harus berjalan kaki selama 15 menit untuk ke pusat kota. Pertama kali dalam hidup Sekar, berjalan begitu jauh namun tak merasa letih. Mungkin itu karena tubuh yang ia tempati telah terbiasa melangkah keliling desa, Suara hentak kaki yang saling bersahutan, kerlap kerlip lampu menghiasi pinggiran jalan. Sebuah pintu masuk yang terbuat dari rakitan kayu, terlihat banyak sekali pedagang yang telah berkumpul untuk mengais rezeki. Beberapa mata mulai melihat ke arah mereka, tak sedikit orang merasa aneh mengetahui kedekatan yang tidak pernah terjadi. Banyak orang mengenal dan percaya bahwa Darmi adalah putri saudagar kaya yang tinggal bersama pembantunya. Namun beberapa tetangga yang tak tahan dengan sikap tersebut, terkadang mulai menyebar kebenaran tentang sifat buruk Darmi yang enggan mengakui Sulli sebagai ibu kandungnya. "Hei Darmi, kau juga datang?" sapa seorang gadis yang berjalan paling depan diantara 3 gadis lain. Sapaan ditemani senyuman itu, masih terlontar ke arah Sekar. Namun dia enggan membalas, "Bu. Dia siapa?" Bisiknya, "Masa kamu lupa sama teman sendiri, dia itu Retno temanmu." "Oh Retno," gumam Sekar menatap remeh. Retno yang merasa bingung, hanya bisa berdiam dengan senyum kikuk. Darmi terkenal dengan sifatnya yang mudah bersosialisasi dan memiliki citra baik di kalangan remaja, banyak gadis yang ingin berteman dengannya. Sorot mata tak sengaja beralih pada kedua tangan yang saling menggenggam erat. "Sejak kapan, pembantu boleh menggandeng tanganmu?"  "Pembantu?" cicit Sekar, melirik kemana pandangan Retno tertuju. "Oh. Dia ibuku, tentu saja dia berhak menggandeng tanganku!" Dap. Sekumpulan gadis itu tersentak kaget mendengar kebenaran yang temannya ucapkan.  "Darmi, ka-" "Hust. Sudahlah bu, biar aku aja yang urus." sanggahnya memotong ucapan Sulli yang sedikit merasa canggung karena mendapat pengakuan. "Sudah ya, waktuku akan terbuang sia sia jika terus berdiri disini." pamit Sekar, segera berjalan pergi. Meninggalkan para gadis yang masih terdiam karena terkejut, "Emangnya gapapa? Nanti mereka ga mau temenan sama kamu." ujar Sulli, merasa bersalah. Dia sudah cukup senang melihat perubahan putrinya, namun akan terlalu buruk jika anak lain menjauhi Darmi karena tahu kebenaran tentang siapa ibu kandungnya. "Kalo ga mau temenan, ya biarin aja." acuh Sekar menoleh dengan senyum bahagia. Bruk! Tanpa sadar, tubuh gadis itu menghantam keras seseorang yang tengah berjalan. "Maaf, maaf. Aku ga sengaja," seru Sekar sedikit menundukkan pandangan. Pria tinggi dengan setelan hitam itu, tengah menyoroti pangkal rambut sampai kaki Sekar. Terbit lengkung senyum di ujung bibir sekaligus tatapan remeh, "Hh, lagi lagi ada wanita yang berusaha mendekatiku." serunya, mendengus. "Padahal aku sudah menuruti apa kata Ibu, untuk memakai baju sederhana." "Tapi mau bagaimana lagi, ketampananku tidak bisa disembunyikan." "Hah? Tampan?" remeh Sekar merasa muak dengan sifat angkuh pria itu. "Apa kau tidak punya cermin di rumah? Bahkan seekor sapi memiliki pesona lebih baik darimu!" "Apa? Beraninya kau membandingkanku dengan seekor sapi!" "Hah sudahlah. Kalian para wanita memang selalu bersikap seperti itu, seakan membenci padahal begitu menyukai." ujarnya tersenyum sepat, "Huek.." "Kurangi penyakit narsismu, jika tidak kau akan mati muda!" oceh Sekar, merasa kesal. "Narsis?" gumam pria itu, mulai merasa bingung untuk menanggapi ucapan Sekar. "Dasar! Pria kuno. Cepat minggir dari jalanku," Dia mendorong kasar, membuka jalan lalu melangkah pergi meninggalkan pria tadi. "Darmi, seharusnya kamu tidak boleh berkata seperti itu. Bagaimana jika dia anak orang kaya?" "Sudahlah ibu, aku muak dengan sifatnya yang terlalu percaya diri." sanggah Sekar menekuk bibir, "Tapi. Dia memang tampan," gumam Sulli mengangkat alis. "Apa gunanya tampan, dia juga tidak akan mau denganku." pikirnya, mulai menoleh ke segala arah. Mencari letak dimana acara diadakan, "Kita mau kemana?" "Itu. Kita kesana," tunjuknya, ke arah gerombolan. Manik hitam dengan kutikula kelopak yang telah berkerut  mulai menatap sebuah papan besar di depan tumpukan karung beras, tertoreh tulisan tentang acara yang tersaji di depannya. "Lom--ba, ma---ma-makan." mengeja sambil menyipitkan mata, "Lomba makan?"  Wanita tua itu sedikit terkejut membaca 2 kata awal pada papan yang terpajang. "Kamu mau ibu ikut itu?" "Ya enggak dong. Aku yang bakal ikut lomba," lugas Sekar dengan pasti. "Ha? Kamu yakin?" "Yakin. Lihat tuh, hadiahnya 10 karung beras yang ada disana." "Kalo aku menang, ibu bisa cuti kerja!" sontaknya, merasa senang. "Ayo buruan! Kita daftar." Dengan rasa senang, mereka berdua berjalan masuk ke dalam gerombolan. Begitu banyak warga yang berkumpul untuk menyaksikan dan beberapa diantaranya mulai mendaftarkan diri, begitu pula dengan Sekar. Sesekali dia menoleh dan menatap banyak piring berisi makanan yang ada di atas meja, "Kalo cuma ini mah, gampil! Aku udah terbiasa makan banyak. Pasti aku bakal menang!" pikirnya dengan percaya diri. "Jadi kau ikut lomba seperti ini?" sontak suara pria dari arah belakang, Sekar menoleh, mendapati pria sama yang beberapa saat lalu mengganggu hidupnya. "Iya, kenapa? Masalah buat lo." tegasnya dengan nada angkuh, Pria itu terdiam, sekali lagi menatap penampilan Sekar. "Tadi narsis, sekarang lo. Sebenarnya darimana gadis ini belajar bahasa itu?" "Apakah dia anak orang kaya? Tapi kenapa ikut lomba ini?" pikirnya mulai penasaran. Karena setelan hitam, kulit kuning langsat itu terlihat lebih terang. Disertai gaya rambut unik yang terlihat begitu pantas untuknya, cukup menawan di mata Sekar. Tok. Tok. Tok. Tok. Tok. Tok. Salah satu pria paruh baya, sedang mengetuk benda semacam lonceng untuk mengumpulkan semua peserta. "Semua peserta lomba makan, dipersilahkan maju dan menempati kursi masing masing." "Tunggu!" pekik pria tadi, menyela pembicaraan. Melangkah maju ke samping pria yang bertugas mengatur jalannya acara. "Apalagi sih, jangan bilang dia mau pidato ga jelas." hardik Sekar, melontarkan tatapan sinis. "Dasar cowok narsis!" "Lomba makan akan dibatalkan," tambahnya merendahkan suara, Membuat semua orang saling mengoceh, melontarkan pendapat mereka. "Apa maksudnya? Bukankah ini sudah diumumkan sejak pekan lalu!" "Kenapa tiba tiba batal?" "Apa kepala desa, tidak rela mengeluarkan 10 kantung beras sebagai hadiah?" Beberapa peserta mulai mengomel karena merasa kecewa, mereka berharap dapat memakai hadiah itu untuk kebutuhan hidupnya.  Begitu pula dengan Sekar, menggertakkan gigi serta kedua tangannya mulai mengepal kuat.  "Tenang. Lombanya akan diubah,"  ***Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN