Dongeng Batu Menangis (PoV Author)

1161 Kata
Waktu berlalu, gadis itu terdiam di atas tempat tidur sembari berpikir tentang apa yang terjadi. Tentang kemunculan uang yang bersamaan dengan mimpi aneh yang Sekar alami. "Kalo dipikir secara halu.." "Ini duit aku dapetin karena mimpi tadi. Jadi anggap aja aku kerja jadi pemeran di dalam dongeng," "Terus dapet bayaran segini?" "....." Dia terbelalak, segera beranjak pergi mencari buku tebal. Menemukan benda tadi di atas meja belajarnya, "Ng, apa aku coba sekali lagi buat mastiin." benak Sekar, mulai membuka lembar berisi belasan judul dongeng. Gadis itu mulai mengarahkan jari telunjuknya, mencoba memilih salah satu cerita yang cukup menarik dengan cerita yang tidak terlalu menyakitkan. Sekar tidak ingin, merasakan sakitnya terkena kail pancing maupun terkena tebasan pisau. "Apa ya?" pikir Sekar, sedikit bimbang. "Kayaknya tampilan sama wajah aku ga berubah. Jadi aku ga bisa baca dongeng romansa, karena wajahku ga memadai." Sekali lagi mengulangi hal yang dilakukan tadi, sorot mata tengah sibuk memilih satu persatu cerita. Membuka lembar kertas bertoreh list judul setiap cerita, 30 menit kemudian, Setelah lama berpikir seraya membaca ringkasan. Pilihannya berhenti pada dongeng dengan judul "Batu menangis" Kisah yang ia tuju setelah membaca banyak dongeng melalui laman internet. Jika bertanya alasan kenapa harus internet? Karena Sekar takut jika dia mengalami mimpi berpuluh dongeng secara berturut turut tanpa bisa kembali ke dunia nyata, Karena belum merasa lelah, gadis itu memutuskan untuk membaca cerita sebelum tidur malam. ************* Srash.... Pemandangan luas, rumput hijau serta pepohonan yang mengelilingi. Terlihat burung burung kecil tengah berterbangan dengan suka cita, Di depan terbangun sebuah gubuk tua yang cukup besar, menyoroti seorang wanita tua sedang duduk bersimpuh di atas kayu besar. Kedua tangannya tengah sibuk mengutip kerikil kerikil kecil yang bersembunyi di tumpukan beras, "Darmi anakku, sini nak." ucapnya melontarkan tatapan lembut, "Ha? barusan dia manggil aku?" pikir Sekar masih berdiam diri. Dengan sengaja dia menunduk, memastikan keadaan tubuhnya dan mendapati baju yang sama. Kaos longgar bewarna hitam serta celana pendek yang ia kenakan sebelum tidur, "Kayaknya berhasil. Aku udah masuk ke dunia dongeng,"  Gadis itu merasa lega, karena berhasil memastikan sumber keanehan yang ia alami. "Darmi.." panggilnya sekali lagi, sedikit mengeraskan suara. Wanita tua yang kini ada di depan mata adalah Sulli, ibu kandung Darmi sekaligus tokoh yang menjadi penentu cerita. Batu menangis merupakan cerita rakyat kalimantan, tentang sebuah batu dengan secuil kisah dimana tubuh seorang gadis yang dikutuk karena telah durhaka kepada ibunya. "Tapi, emang dia ga curiga kalo aku pake baju ginian?" "Darmi.." "I-iya bu.." sahut Sekar, segera berjalan mendekat. Dengan senyum cerah serta raut ramah, dia membuat wanita tua itu merasa terkejut sekaligus bingung. Sejak kapan putrinya mampu menunjukkan sikap santun, Darmi sendiri adalah gadis manja yang selalu berpenampilan mencolok, setiap hari saat berjalan bersama atau saat mengunjungi pasar, seringkali dia mengenalkan ibunya sebagai pembantu kepada semua orang. Bahkan para tetangga dekat merasa prihatin dengan nasib wanita tua yang memiliki anak seperti Darmi. Namun mereka seringkali menasihati sikap gadis itu dan tak pernah dihiraukan, "Ibu mau ke pasar?" ucap Sekar tersenyum. "Iya, ibu harus menjual beras ini untuk membeli kain." "Kamu ingin kain bewarna apa?" "Kain? Kain untuk apa?" tanya Sekar mengangkat alis.  Tentu saja gadis itu sedikit bingung dengan beberapa kejadian ataupun dialog yang tidak dijelaskan dalam buku. Dongeng dalam buku hanya menuliskan perilaku durhaka Darmi sampai kesedihan Sulli yang membuatnya melontarkan serapah dan membuat putrinya berubah menjadi batu. "Pekan depan ada pesta di pusat kota. Jadi ibu harus membeli kain dan menyiapkan baju yang sangat cantik untukmu," dengan lemah lembut serta kehangatan, dia menatap putrinya.  "Tidak! aku tidak mau," geleng Sekar dengan pasti. Seketika wanita itu terkejut mendengar penolakan putrinya, dia menunduk dengan raut sedih. "Hah? Masak aku salah ngomong, kan aku ga mau jadi anak durhaka. Seharusnya bener dong aku jawab gitu!" gumamnya dalam hati, "Ibu tidak punya cukup uang untuk membeli baju. Hanya bisa membeli kain dan membuatnya sendiri," "Ibu, bukan itu yang ku maksud. Aku tidak ingin baju apapun," "Jadi ibu tidak perlu menjual beras ini." tambah Sekar menjelaskan. "........" kelopak mata mematung tak dapat berkedip, ibu Darmi menatap dengan raut takjub seakan tengah berbincang pada orang lain. "Kalau memang Darmi mau kesana. Darmi bisa memakai baju lama," tambahnya. "Sekarang berikan ini padaku, aku akan membantu ibu membersihkannya." "Apa yang kau inginkan?" "Ha?" sontak Sekar dengan raut penuh tanda tanya. "Apa ada barang lain yang ingin kau beli?" "Tidak ada, aku tidak ingin apapun." "Kau yakin?" gumam Sulli berusaha memastikan, "Iya, aku tidak ingin apa apa." Wanita tua itu terdiam menatap senyum cerah di wajah putrinya, senyuman yang pertama kali ada disertai perkataan lembut. Dengan perasaan cemas, dia hanya bisa berharap bahwa semua itu merupakan pertanda baik. Hari pesta diadakan pun tiba, tanah lapang yang telah dipenuhi banyak pedagang serta panggung pertunjukan mulai dikunjungi ratusan penduduk dari segala desa. Sebenarnya Sekar enggan untuk bergabung, namun tanpa sengaja dia mendengar adanya lomba makan yang diadakan dengan imbalan hadiah 10 kantung beras. Tanpa pikir panjang, Sekar tertarik dan segera bersiap dengan setelan di zaman ini. Sebuah pakaian kuno bewarna emas, dengan rambut yang sengaja ia kepang belakang. "Aduh! Sempit banget. Sekurus apasih tubuhnya Darmi," "Padahal ini baju terbesar, tapi masih aja kekecilan!" rengek Sekar, menarik lembar kain yang menutup pinggangnya. "Darmi, ayo makan." panggil suara wanita dari arah luar, "Iya bu.." Dengan sigap, Sekar merapikan sedikit uraian rambutnya lalu berlari keluar kamar. Terlihat wanita yang telah selesai menyiapkan hidangan malam, sebuah wadah berisi tiga buah ubi serta piring lain berisi satu ikan goreng. Senyuman hangat yang selalu ia pancarkan, menoleh ke arah putrinya. "Ayo makan," "Aku ga mau makan ikan," menolak dengan pasti, sambil menggelengkan kepala. "Kenapa harus ikan sih! Gara gara cerita kemarin. Aku jadi takut ngeliat ikan dimasak," pikir Sekar merasa panik. Namun dibalik kepanikannya, ada seorang wanita yang tengah bersedih. Dia merasa bahwa sifat putrinya yang terlalu pemilih dan tidak mensyukuri makanan masih belum berubah, "E-eh. M-maksudku, ikannya harus ibu yang makan!" "Aku mau makan ubi yang sangat enak ini." timpalnya, baru menyadari raut sedih yang terpampang nyata di wajah Sulli. "Ha? Tapi, bukankah kau sangat suka makanan berprotein."  "Lalu kenapa? Sekali kali, ibu juga harus makan ikan." sahut Sekar memaksa, segera menyodorkan wadah berisi ikan ke hadapan wanita tadi. Tentu saja dengan senang hati mengupas kulit ubi yang akan menjadi santapannya. "Kenapa? Kok ga dimakan? Atau mau aku suapin." ucap Sekar mengangkat alis menatap wanita tua yang masih terdiam dengan raut penuh tanda tanya. "Tidak usah. Ibu bisa sendiri," "Hanya saja, ada satu hal yang membuat ibu penasaran." "Penasaran? Tentang apa?"  "Tentang sikapmu yang berubah. Ibu merasa senang, semoga saja kau selalu menjadi gadis baik seperti ini." "Tapi jika memang ada hal lain dibalik ini semua, katakan saja." gumam Sulli merendahkan suara, "Ga ada apa apa kok. Sudah seharusnya seorang anak bersikap baik dan berbakti kepada ibunya," "Mengingat tingkah pemilik tubuh ini, ingin rasanya aku menampar Darmi yang asli!" oceh Sekar mengerutkan alis, Ucapannya berhasil menciptakan lengkungan senyum di bibir wanita tadi. Mereka menghabiskan makan malam dengan beberapa perbincangan akrab yang seharusnya dilakukan oleh ibu dan anak. "Ibu. Darmi mau ke pusat kota," ***Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN