Suwidak Loro

1340 Kata
Manik hitam itu membulat sempurna, menatap kertas yang baru saja muncul. Dengan sigap meraih dan mengamati setiap goresan tinta yang menjelaskan jumlah saldo dalam tabungan Sekar, "Bisa? B--b-beneran bisa," bergumam dengan tatapan kosong, Merasa sangat terkejut, gadis itu berbalik mendorong pembatas kaca dengan bahu kanannya. Berjalan keluar ruangan dengan perasaan linglung, "Ini berarti. Uangnya bisa buat makan?" "Buat bayar kuliah?!" Tap. Tap. Tap. Dengan ekspresi tertegun kedua langkah kaki tetap menapak, bahkan gadis itu tak sadar telah berjalan melewati trotoar sampai masuk ke dalam gerbang. Suasana kampus yang terbilang cukup ramai masih belum mampu menyelamatkan Sekar dari lamunan. Terlebih lagi ekspresinya tak berubah meski bertatap muka dengan pelajar lain. Tanpa disengaja, sorot mata masih menatap lekat secarik kertas kecil yang selama ini ada di tangannya, Duk. Sebuah benda kokoh namun tak begitu keras menyenggol kuat lengan kiri gadis itu, tapi tak ada perubahan ataupun membuat Sekar sadar dari alam lamunan.  "Woi! Tumben dateng jam segini," sapa Bakti tersenyum lebar. Berjalan mengiringi Sekar, sedari tadi masih tak acuh dan tak menyahuti sapaan pria itu. Kedua alisnya bertaut karena sikap aneh yang ia dapat. Mengikuti kemana sorot mata Sekar tertuju, dengan cepat menyipitkan mata berusaha membaca goresan tinta yang tertulis. "Hah!" nyaris terbelalak, tanpa segan merebut paksa lembar kertas dari tangan temannya. Dalam keadaan mulut terbuka, dia tak dapat berkedip karena sibuk meneliti setiap huruf dan angka yang tertulis di sana. "Buset! Lo kerja apaan?" "Jangan bilang, lo bikin konten tanpa sepengetahuan gua!" oceh Bakti mengerutkan alis, melontarkan tatapan penuh tanda tanya pada gadis yang masih diam termenung. "Woi!" "Ha?" tersentak kaget mendengar pekikan pria tadi. Memasang raut polos berusaha memahami situasi yang terjadi, Kemudian menatap singkat kertas yang ditunjukkan bakti padanya. Perasaan gundah tentang kebenaran membuat Sekar berpikir keras untuk mencari alasan, "Itu---gua dapet kiriman dari keluarga bokap." sahutnya, secepat kilat meraih kembali lembar kertas tadi. "Oh. Enak dong! Lu kan lagi bingung soal biaya kuliah," "Sekarang udah ga bingung lagi kan?" "Hm," angguk Sekar singkat. "Kalo gitu. Bisa dong, nraktir makan!" pinta Bakti menyenggol lengan temannya sambil memasang senyum penuh harap, "Iya. Gua traktir permen mint satu biji!"  "Yaelah. Sama temen sendiri masa gitu! Itung itung syukuran rezeki, biar tambah banyak." cicitnya berusaha membujuk, "Syukuran ga harus banyak kan? Satu permen itu sangat berharga lo!" "Kalo ga mau ya udah. Gua kasih ke orang lain aja," lugas Sekar membuang muka. Mulai melangkah pergi meninggalkan pria tadi, namun dengan sigap disusul sampai mendapat pengekor yang selalu membuntutinya. ____________________________ 9. Dongeng suwidak loro ____________________________ Disclaimer, Cerita ini hanya hasil pemikiran author. Beberapa kejadian tidak sesuai dengan cerita aslinya, ____________________________________________ Salah satu kisah tersaji di buku dongeng, berasal dari provinsi jawa tengah. Menceritakan seorang gadis buruk rupa yang tinggal bersama ibunya, Dikenal dengan sebutan Suwidak Loro yang artinya enam puluh dua, nama yang ia dapat karena jumlah rambut di kepala. Lastri adalah tokoh ibu yang begitu menyayangi putri tunggalnya. Setiap hari ia berdoa dengan harapan tulus agar putrinya menikah dengan seorang raja, meskipun dia tahu bahwa harapan itu begitu mustahil bagi logika berkat rupa yang terbilang sangat tidak cantik. "Ng. Ini aku udah pindah zaman kan?" pikir Sekar, tak henti menatap dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Masih teringat jelas bahwa tadi dia meminum segelas s**u hangat untuk membantunya terlelap setelah membaca buku. Bahkan tersisa rasa manis asin di langit mulut serta tenggorokan, Tap. Tap. Tap. Manik hitam itu reflek beralih setelah mendengar suara langkah kaki dari arah lain, semakin mendekat dan mendapati seorang wanita tua dengan kebaya hijau serta jarik bermotif batik yang sekilas mencuri perhatian Sekar. Betapa tertegunnya melihat paras wanita yang tak lagi muda namun masih terlihat menawan. Dilihat dari sisi manapun dia bisa menebak seberapa cantik rupa itu saat berada di usia dini, "Nduk, sudah malam. Ayo waktunya tidur," ujarnya merendahkan suara. Dengan nada bicara lembut diselingi langkah kaki yang semakin mendekat, dia membelai pelan rambut Sekar. Memapah ambang punggung gadis itu, keduanya berjalan menuju ranjang bambu berselimut kain, "Ayo. Ibu akan nyanyikan lagu untukmu," "I-iya." angguk Sekar segera membaringkan tubuh menghadap wanita tua yang baru saja duduk di tepi ranjang, Mengulurkan telapak tangan seraya menepuk lirih kepala Sekar lalu melantunkan suara berirama yang selalu ia nyanyikan setiap malam. "Aduh. Kenapa pindahnya waktu udah malem sih!" "Padahal aku kepo sama wajahku. Berubah nggak, ya? Masa ni rambut jumlahnya bener bener ada enam puluh dua?" pikir Sekar sambil terpejam, berusaha meraih urai rambut di ujung kepala. "Ibu ini juga sangat cantik, meski seluruh wajahnya dipenuhi keriput. Mana mungkin ibu secantik dirinya memiliki putri buruk rupa?" "Ya----kecuali jika dia memiliki suami dengan wajah di bawah standar," benaknya bergumam dengan diri sendiri, Alasan sekaligus hal yang membuat Sekar tertarik untuk masuk ke dalam cerita ini adalah penampilan sang tokoh utama.  Suwidak loro digambarkan sebagai gadis tanpa kecantikan dengan hanya 62 helai rambut yang ia miliki di kepala. Meski begitu, ibu Lastri begitu mencintai putrinya. Dia tak pernah membiarkan suwidak loro berkeliaran sebab tak mau anak berhati lembut tersakiti karena ocehan atau pendapat orang lain. Wanita itu selalu merawat dan mengajarkan seluruh perbuatan baik yang ia ketahui seraya menghujani putrinya dengan banyak pujian.  Dengan kasih sayang membuat sebuah lagu berisi harapan serta doa tulus yang nantinya ditakdirkan untuk keajaiban seperti dalam kisah. Sebuah anugerah yang menimpa suwidak loro beberapa jam sebelum kedatangannya ke istana raja, "Putriku, kau adalah gadis tercantik. Semua mata yang melihatmu akan terpukau!" "Ibu berharap, suatu hari nanti kau menikah dengan seorang raja." ucap Lastri sembari bersenandung. "........." Di sisi lain, Sekar berusaha keras agar terlelap. "Huft. Siapa juga yang bisa tidur, kalo denger ginian." benaknya mengerutkan alis, Ditariknya kembali kata menawan yang beberapa saat lalu disematkan dengan wanita tua itu. Ternyata semua hal memang tak bisa sempurna dan memiliki beberapa kekurangan, Sama halnya dengan Lastri, meski memiliki wajah menawan dia tak terlalu ahli dalam bidang tarik suara. Bahkan Sekar merasa indra pendengarannya hampir pecah menerima setiap irama tak beraturan, Doeng! Nyaris satu jam berlalu namun Lastri tak merasa letih mengeluarkan suara, begitu pula dengan gadis yang tak letih terjaga meski dalam keadaan mata tertutup. "Aku ga bisa tidur! Agak nyesel milih ni cerita," "Pantesan para tetangga pada komplain, pasti gegara suara cempreng fals yang menerjang gendang telinga mereka!" gerutunya dalam hati, "Tapi, bagaimana bisa si tokoh utama bisa tidur nyenyak dan melewati setiap malamnya?" menangisi nasib, Posisi yang sedari tadi Sekar pertahankan membuat wanita tua itu yakin bahwa putrinya telah tertidur lelap. Perlahan melepas usapan seraya beranjak bangun dari tempat tidur dengan berhati hati, berusaha untuk tidak menimbulkan suara dan melangkah pergi keluar kamar. Srat. Sedikit demi sedikit membuka sebelah kelopak mata demi memastikan tak ada siapapun selain dirinya. Dengan sigap menoleh ke arah pembatas ruang dari kain, mendapat keheningan yang membuktikan bahwa ibunya tak lagi kembali. "Aku---udah bisa bangun kan?" perlahan beranjak turun, Menatap sekilas seluruh benda yang ada dalam kamar, mendapati sebuah kotak tanpa tutup terbuat dari bambu guna menyimpan pakaian miliknya, meja berisi cawan tanah liat berukuran sedang beserta kendi air tempat dimana dia harus mangais air saat haus. "Cerminnya ada dimana ya?" pikir Sekar, sambil berjalan dengan ujung telapak berjinjit demi meminimalisir hentak suara yang ditimbulkan. Sekali lagi menoleh ke segala arah namun dengan lebih teliti demi mencari kaca atau sebuah benda lain yang bisa ia gunakan untuk bercermin serta melihat penampilannya sekarang. "Walau cerita yang sebelumnya ga ngerubah penampilanku. Tapi kali ini kan ceritanya bertema fisik!" "Masa tetep ga berubah?" gumam Sekar semakin penasaran, Melangkah ke arah tumpukan baju demi mencari di sela kain, "Seharusnya ada kaca dong di zaman ini. Di kisah sebelumnya kan ada, masa disini enggak." "............." Karena tak kunjung menemukan, intuisi gadis itu menyuruhnya untuk berbalik menatap ke arah kendi berisi air. Teringat momen dimana dirinya berkaca melalui air timba tepat setelah berubah dari bentuk ikan di kisah pertama, "Pake itu aja deh!" melangkah mendekat, "Mungkin ada kaca, tapi ibu tokoh utama ga ngebiarin dia berkaca biar ga sedih. Iya kan? Bisa aja gitu," Tak segan Sekar meraih lempengan tanah liat yang berguna untuk menutup kendi bulat berisi air. Untung saja berkat ukuran meja yang tak terlalu tinggi, begitu mudah baginya menatap sebuah wajah melalui genangan air. "Aku---" ***Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN