Ocehan para tetangga (Eps. Suwidak Loro)

1396 Kata
"Aku berubah!" celetuknya nyaris terbelalak, Tanpa sadar dia melontarkan ucapan cukup keras dan membuatnya reflek menutup mulut. "Aduh! Jangan kenceng kenceng dong kalau ngomong," bergumam dalam hati, Kembali menatap lekat setiap lekuk paras baru melalui cermin air di dalam kendi. Begitu terkejut diselingi rasa puas meski mendapat fisik yang jauh lebih buruk dari miliknya, Meraba helai rambut halus di ujung kepala, "Emang dikit banget, tapi jumlahnya ga mungkin 62."  Berbeda dari kebanyakan orang normal Suwidak Loro memiliki rambut kemerahan, yang begitu tipis, karena jumlah yang terbilang sedikit membuat kulit kepalanya terlihat samar sama halnya dengan pria botak. Meski begitu dia dianugerahi bentuk mata sebulat almond dan manik segelap malam. Memiliki bibir hitam seperti pecandu rokok namun berbentuk bak cupid, gadis ini memiliki hidung mancung berujung bulat serta kulit kusam dengan beberapa bintik coklat menyebar di kedua area pipi. "Ini mah masih bisa cakep. Tapi emang butuh perawatan aja," "Matanya mirip sama wanita tadi," memandang lekuk garis mata dengan manik legam pekat yang cukup menawan. Sekilas perhatiannya tertuju pada bahu lebar berbalut kaos merah, "Ng..." "Kayaknya tubuh besar ini tetap milikku, bajunya juga masih sama." sekilas menunduk menatap gumpalan lemak di area perut. Kembali mendongak, baru menyadari bahwa kedua pipinya begitu bulat. "Au dah. Yang penting udah selesai ngaca," "Mending aku tidur. Urusan lain dilanjut besok aja!"  Segera ditutupnya kembali kendi besar berisi air tadi, dengan sigap berbalik lalu menempati ranjang. Sedikit beralih demi menemukan posisi ternyaman, Kedua mata mulai terpejam berusaha untuk terlelap meski benaknya masih terpenuhi dengan rupa baru tokoh utama berkulit sawo matang. Keesokan harinya. Fajar mulai menyingsing ditemani bunyi nyaring dari para pejantan jago, di sebuah gubuk tak terlalu besar terlihat seorang wanita tua tengah sibuk menata hidangan. Di sisi lain terlihat gadis muda yang masih terbaring dengan mata terpejam. Masih enggan keluar dari alam mimpi, Tok. Tok. Tok. Pembatas rumah mulai bergetar karena dobrakan kuat dari arah luar, membuat mereka berdua terkejut dan merasa terusik. Sebenarnya Lastri berusaha untuk bersikap tak acuh namun suara ketukan pintu tak kunjung berhenti dan justru terdengar lebih keras, "Siapa sih pagi pagi gini mau bertamu!" benaknya merasa terusik. Bunyi bising itu berhasil mengembalikan kesadaran Sekar, "Emangnya kalo ngetuk pintu ga bisa pelan? Mau namu apa ngajak ribut.." rengek Sekar menutup rapat kedua telinganya, berusaha untuk melanjutkan tidur. "Nduk," panggil suara wanita yang begitu tergesa gesa menghampiri. Seketika kedua matanya terbuka mendengar seseorang tengah memanggil. Dia berbalik badan lalu menatap dengan sorot penuh tanda tanya, Langkah kaki semakin menghapus jarak, Lastri berdiri tepat di samping ranjang sambil menunduk. "Kayaknya di luar ada orang yang mau bertamu," menjelaskan dengan berbisik. "Ibu mau menjamu mereka, sedangkan kamu harus tetap ada disini. Mengerti?" mengangkat alis seraya memasang raut memaksa. "B-baiklah--- toh, aku memang tidak ingin bertemu dengan tamu." sahutnya merasa bingung dengan perintah aneh wanita tua tadi. "Bagus, kalo gitu ibu keluar dulu. Ingat! Jangan keluar dari kamar, jangan sampai mereka melihatmu." beranjak bangun, Kedua alis bertaut seraya menelaah kalimat berisi pesan sekaligus perintah yang dilontarkan pada dirinya. Raut cemas sekaligus panik di wajah Lastri melukiskan arti lain, "Tapi kenap----" kalimatnya terhenti saat mendapati punggung wanita baru saja melewati pembatas. Gadis itu kembali termenung. Apa tujuan dari tindakannya yang mencegah Suwidak Loro bertemu dengan para tetangga? Bahkan membuat gadis itu berpikiran buruk, mungkin saja ibu tokoh utama selalu melarang putrinya bersosialisasi. ************** Disisi lain, langkah kaki Lastri baru saja sampai di depan pembatas. Dengan rasa cemas dibukanya pintu tadi dan memperlihatkan tiga wanita paruh baya yang tengah berbaris, semuanya menautkan alis seraya memasang raut penuh emosi. "Ibu-ibu. Ini ada apa ya? Kok pagi pagi sudah datang kesini,"  "Hng." tanpa rasa segan salah satu dari mereka langsung membuang muka,  Sosok wanita itu begitu dikenali karena memang rumah mereka saling berdekatan. Jumi adalah orang yang sedang berdiri tepat di depan pintu sekaligus wanita termuda di antara mereka berempat, di sampingnya Binti, lalu Wati ada di paling belakang dia adalah wanita yang paling membenci Lastri karena jarak rumah mereka yang paling dekat. Salah satu dari mereka berusaha menjelaskan maksud, "Kita bicara di dalam saja." "Tidak! Tidak, disini saja." tolaknya dengan pasti. Ucapan tadi semakin membuat mereka tersinggung, "Hhh dasar. Padahal kami ingin berdiskusi baik baik karena memandang usia anda yang lebih tua," seru Binti mendengus kesal. "Sudahlah! Kalo gitu, kita bahas disini." sela Jumi, Tanpa mereka sadari, semua ucapan yang mereka lontarkan begitu keras hingga menjalar ke seluruh rumah. Gadis dengan baju kuno yang baru saja dipakai mulai merasa bingung, "Kok sampek teriak segala?" mengerutkan alis sembari menelaah setiap percakapan yang terdengar. "Ini pasti momen saat para tetangga komplain gara gara nyanyian ibu!" tebaknya mengingat dengan jelas setiap jalan cerita sesuai kisah di dalam buku. Seketika rasa penasaran Sekar mulai memuncak, itu membuatnya tanpa pikir panjang melangkah keluar kamar. Tepat setelah melewati sehelai kain pembatas, pandangannya tertuju pada seorang wanita yang tengah berdiri membelakangi. "Tolong hentikan nyanyian anda! Kami benar benar terganggu," "Setiap pagi kami bekerja keras sampai sore hari. Setidaknya gunakan waktu itu saja untuk bernyanyi! Jika tidak, kapan saya bisa beristirahat? Sedangkan malam selalu penuh dengan suara yang mengganggu tidur kami," "Barusan adalah peringatan terakhir. Dan sebelumnya, anda selalu mengingkari janji meski sudah diperingatkan!" "Jika nanti malam hal ini terulang. Maka kami tidak akan segan melaporkan kalian pada pihak kerajaan!" "Iya betul. Kami sendiri yang akan datang ke istana untuk melaporkan perbuatan anda,"tegas Wati mengiyakan ancaman wanita di depannya. "Baiklah, saya mengerti." mengangguk sambil merendahkan suara, Anehnya wanita itu tidak merasa cemas ataupun takut mendengar ucapan mereka, rautnya mengisyaratkan hal yang telah berhasil ia capai. "Hh, entah secantik apa putrinya sampai dia selalu melantunkan lagu yang sama setiap malam." gumam salah satu wanita, Tak sengaja kedua sorot mata menatap ke dalam rumah, melihat sosok gadis berbaju merah sedang berdiri menatap ke arahnya. Rambut merah serta mata almond bulat itu nampak seperti orang yang tengah melontarkan tatapan tajam, apalagi bintik di area pipi semakin membuat Wati merasa takut dengan sosok tadi. Tubuhnya kaku namun berhasil menggerakkan telapak tangan, mencengkram lengan wanita lain.  "Ap-" ucapan Binti terhenti melihat raut ketakutan di wajah Wati, dengan sigap mengikuti kemana sorot matanya tertuju. "Hah! S-siapa gadis itu?" begitu terkejut, menjulurkan telunjuk ke arah lain. Lastri mulai merasa panik setelah melihat reaksi mereka, tak segan dia melangkah mundur lalu menutup pembatas itu dengan paksa. Berbalik melangkah mendekati putrinya seraya memberi tatapan penuh amarah, "Kenapa kau keluar? Kan sudah ibu larang!" "Kau juga sudah berjanji untuk tetap di dalam kamar," raut marah tadi berubah menjadi sebuah kekecewaan. "A-aku penasaran. Apalagi mereka berbicara dengan sangat keras, sampai terdengar dari kamarku." "Aku khawatir kalo ibu kenapa napa. Jadinya aku keluar untuk memastikan," ungkap Sekar beralasan. "Ck. Seharusnya kau menurut saja pada ibu, akan sangat rumit jika mereka melihat rupamu!" "Dan sekarang itu sudah terjadi. Entah gosip apa yang akan mereka sebar tentang kita," "Maaf..." gumamnya menundukkan pandangan dengan raut menyesal. "Sudahlah tidak apa apa. Ayo makan,"  "Lalu mereka?" "Tak usah hiraukan, mereka akan pergi dengan sendirinya." "Ng.." mengangguk pasti seraya menerbitkan senyum bahagia, mengikuti wanita tadi sampai ke meja makan. 1 jam kemudian, Sekar tengah sibuk merajut kemungkinan yang terjadi setelah sikapnya pagi tadi. Berbaring di atas ranjang sambil menatap atap rumah, "Kenapa ya? Kok kayaknya ibu panik banget," "Padahal kan cuma gitu doang." Menurut cerita di buku, Lastri akan tetap menyanyikan lagu yang sama setiap malam meski telah mendapat banyak peringatan dari para tetangga. Sikap itu yang membuat mereka berani melaporkan kepada raja, Memberi tahu semua yang telah wanita tua itu lakukan, namun hal ini justru menorehkan rasa penasaran di hati sang raja. Secantik dan seelok apakah rupa gadis itu, sehingga ibunya begitu percaya dan yakin untuk menikahkan dia dengan seorang raja, Berkat rasa penasaran itu juga, akhirnya raja memberi titah kepada patih kerajaan untuk segera membawa Suwidak Loro dan menemuinya di istana. Sebuah keajaiban datang saat perjalanan. Gadis itu menjalankan pesan ibunya untuk tidak menampakkan wajah kecuali setelah sampai di istana, serta tidak memberi bekal makanan yang telah Lastri siapkan kepada siapapun. Namun ditengah perjalanan dia bertemu seorang penyihir yang amat cantik dan tengah kelaparan. Dengan upaya serta negosiasi, keduanya melakukan perjanjian pertukaran dimana sang penyihir mendapat kotak bekal Suwidak Loro setelah menyerahkan wajah cantiknya. Alhasil gadis itu sampai di istana dan keluar sebagai sosok wanita rupawan yang berhasil menawan hati raja. Mereka pun menikah dan tinggal bahagia di istana sesuai dengan doa serta harapan ibu sang tokoh utama, "Huft.." "Emangnya beneran bisa kayak gitu?" benak Sekar membayangkan, "Hah! Itu--itu berarti aku bakal berubah menjadi gadis cantik?" ***Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN