Keturunan Iblis (Eps. Suwidak Loro)

1241 Kata
Esok hari, Istana Kerajaan. Terik sang surya menyinari bumi, angin sepoi menerpa dedaunan pohon serta menyapu debu yang berserakan di atas rumput. Sebuah jalan luas tanpa aspal tengah dilewati tiga wanita paruh baya, Terlihat raut gugup di wajah mereka, salah satu di antaranya tak sengaja terpana melihat kemewahan bangunan megah yang ada di ujung jalan. Disambut pilar berpagar yang selalu dibiarkan terbuka kecuali saat malam, Istana luas yang dijadikan atap berteduh bagi keluarga raja, saudara dekat dan maupun, untuk pengawal dan pegawai kerajaan. Bangunan ini dilengkapi berbagai sarana fisik  demi memenuhi kebutuhan akan keamanan serta perlindungan, dilengkapi dengan ruang hiburan, ibadah dan tepat upacara. Tempat kuat yang mampu menahan serangan musuh dilengkapi benteng atau tembok keliling tinggi nan kuat dengan penjaga yang siap mengawal siang dan malam.  "Wah, ini pertama kalinya dalam hidupku! Melihat istana yang sangat besar." gumam Jumi menatap ke sekeliling dengan mata membulat sempurna, "Hust. Jaga sikapmu, tundukkan pandangan juga suaramu!Kita tidak boleh berbicara terlalu keras ataupun melihat sesuatu tanpa izin." bisik Binti lekas menarik lengan baju wanita tadi guna menghapus jarak di antara mereka. Hampir saja dia berjalan tanpa arah karena rasa kagum untuk melihat tempat lain, "Kau benar. Terima kasih sudah mengingatkan," Mereka bertiga terus melangkah dengan sorot mata mengarah pada jalan, sampai bertemu beberapa penjaga pintu istana yang menghalang dengan tombak di tangan. "Siapa kalian?" "Kami--kami warga dari desa samping hutan." sahut Wati merendahkan suara, tak berani menatap mata pria tadi. "Apa yang kalian butuhkan. Kenapa kalian kemari?" kedua alis bertaut seraya melontarkan tatapan menyelidik, "Ng. Ka---kami ingin menemui raja," ucap wanita itu merasa gugup. "Tidak bisa. Raja sedang beristirahat dan tidak mau menemui siapapun," tolak penjaga dengan pasti. "Kami mohon. Hanya sebentar saja, setelah itu kami akan segera pulang!" sela Jumi memasang raut penuh harap di wajahnya, "Jika kubilang tidak bisa, ya tidak bisa!" "Ada apa ini?" sontak suara pria yang berjalan dari arah lain. Logat serta nada tegas itu berhasil membuat seluruh penjaga terdiam, segera menundukkan kepala. Pria berpakaian sutra coklat dengan sebuah ikat di kepala sebagai tanda kekuasaan dan pangkat tinggi di istana, Rahang kokoh, serta raut datar tanpa ekspresi semakin membuatnya terlihat begitu dingin. Secuil aura bahkan dapat membuat singa bergidik ngeri, "Salam Patih Manggala yang perkasa. Mereka adalah warga yang ingin bertemu dengan raja, namun saya melarang dan menjelaskan bahwa raja sedang beristirahat." ujar penjaga berusaha menjelaskan, Kedua sorot mata perlahan beralih menatap wanita yang berdiri di depannya. Sekilas memandang setelan serta penampilan, merasa tak ada tanda-tanda penyerangan atau rasa curiga untuk mereka. "Ada keperluan apa, kalian ingin menemui sang raja?" "A-ada--ada hal penting yang harus kami adukan, Tuan." "Ng. Baiklah, aku akan mengantarkan kalian ke dalam." dehem pria itu, mengiyakan.  "Terima kasih!" seru mereka secara bersamaan, segera menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Hng, ayo ikuti aku." lugasnya berjalan di depan guna menunjukkan jalan, Tanpa buang waktu segera melangkah maju seraya melirik punggung lebar yang tengah berjalan membelakangi mereka. Sesekali mencuri pandangan ke arah lain, demi melihat kemegahan ruang istana seorang raja. Setiap istana memiliki struktur atau susunan berbeda, begitu halnya dengan istana yang tengah mereka masuki. Terlihat semacam menara pengawas disertai tembok berwarna hijau , terbangun juga sebuah bangunan suci ,lapangan upacara, balai besar serta ruang lain yang juga disiapkan bagi para pejabat. "Kau yakin, kita harus melaporkan mereka?" gumam Jumi lirih, "Tentu saja. Apa kau mau, setiap malam mendengar nyanyian yang mengganggu tidur kita?" "Apalagi kau tidak takut melihat rupa gadis kemarin? Isi lagu dan kenyataannya sungguh berbeda jauh. Bagaimana jika ternyata mereka adalah penganut ilmu hitam?" "Maksudmu, lagu itu adalah mantra yang selalu dinyanyikan?" sontak Binti nyaris membulatkan mata, "Hus! Turunkan suaramu, jangan sampai Tuan Manggala mencurigai kita," sanggahnya menekan lengan wanita tadi, "Apa maksudmu, lagu yang selalu kita dengar setiap malam adalah lagu pemuja iblis atau semacamnya?" bisik Binti berusaha memastikan, "Ya! Bisa saja begitu. Pokoknya aku tidak ingin tinggal di dekat orang seperti mereka," "Ya--aku juga tidak mau," geleng yang lain menerbitkan lengkung bibir ke bawah. Seketika spekulasi yang Wati ciptakan telah menghapus keraguan di benak mereka, ketiganya setuju untuk menumpas masalah yang selama ini telah mengganggu. Pintu terakhir telah dilewati, sebuah kain tebal merah yang terhentang bak jalan di tengah ruang. Jejeran kursi sebagai tempat para orang berjabatan tinggi berjejer di kedua sisi, Sedangkan bagian paling ujung terlihat anak tangga untuk melangkah ke singgasana raja. Seorang pria berkulit kuning langsat sedang duduk seraya menatap ke arah mereka, "Salam Baginda Raja. Saya menghadap untuk mengantar para warga yang ingin mengadukan masalah mereka," ujar Manggala dengan kepala tertunduk. "Hm, aku terima salammu." berisyarat untuk segera mendongakkan pandangan, "Wahai wargaku, masalah apa yang sedang kalian alami sampai harus berkunjung di waktu istirahatku?" "Ma-maaf Baginda. Kami tidak bermaksud mengganggu, tapi ada masalah besar yang terjadi di desa kami." "Salah satu penduduk desa adalah penganut ilmu hitam," "Apa kalian sadar, dengan apa yang baru saja kalian ucapkan?! Sejak dulu ilmu hitam telah dilarang di tanah ini, jika kalian melontarkan pengaduan tanpa bukti maka kalian sendiri yang akan mendapat hukuman berat!" timpal pria itu dengan raut geram, "Cukup. Biarkan mereka menjelaskannya," tegas Raja memasang raut dingin. "Teruskan, aku akan mendengar pengaduan kalian." "Baik Baginda. 2 bulan lalu seorang wanita tua membeli gubuk tua di desa kami, dia datang dan tinggal dengan seorang gadis." "Setiap malam mereka melakukan ritual penyembahan dan melantunkan nyanyian aneh. Dia juga selalu mengurung putrinya di rumah," "Kami adalah tetangga yang memiliki jarak rumah terdekat dari gubuk itu, dan sangat terganggu dengan semua suara yang mereka timbulkan saat malam." ujar Wati menjelaskan perlahan menyenggol lengan wanita disamping guna melanjutkan cerita. "Jadi kami pun memberanikan diri untuk memperingati mereka. Namun tidak dihiraukan," tambah Jumi berusaha menahan rasa gugup. "Kemarin adalah peringatan terakhir dan kami bertemu dengan putrinya. D-dia---dia adalah gadis buruk rupa, saking buruknya kami begitu ketakutan. Mirip seperti iblis," ujar Wati kembali bercerita dengan penuh antusias,  "Apa kalian yakin, kalau mereka penganut ilmu hitam?" Seketika terdiam mendengar ucapan pria itu. Bagaimana mungkin mereka mengatakan bahwa itu hanya spekulasi karena rupa buruk gadis kemarin? Sekali lagi Wati berani mengiyakan tanpa berpikir akibat yang akan terjadi, "Yakin. Karena kami sendiri yang mendengar nyanyiannya setiap malam, serta melihat wajah gadis itu. Dia pasti salah satu keturunan iblis!"  "Apa kalian ingat. Dengan nyanyian yang selalu mereka lantunkan?" "Iya, kami ingat. Tapi kami tidak berani mengucapkannya," sahut Binti merendahkan suara, "Ambilkan pena dan kertas," seru Raja, berisyarat pada dayang yang berdiri di belakangnya. Tanpa basa basi dayang tadi menunduk sebagai tanda persetujuan, melangkah ke arah lain lalu kembali dengan sebuah kertas dan pena bertinta. Menyodorkan ke salah satu wanita tadi, "Bukankah dia hanya menyanyikan 2 bait yang sama?" bisik Jumi menatap kalimat yang dituliskan salah satu temannya, "Diamlah. Aku hanya ingin menjelaskan maksud dari nyanyian ini," sanggah Wati meneruskan ukiran tinta di atas kertas. Dengan cepat diberikan hasil tulisan tersebut kepada Raja, rasa penasaran membuat pria itu berantusias untuk membaca seluruh kalimat di dalamnya. Apakah benar kalau penganut ilmu hitam serta keturunan iblis memang ada atau semua ini hanya tahayul yang diturunkan dari kepercayaan nenek moyang, Grep! Salah satu tangannya mengepal kuat, begitu geram melihat tulisan yang memiliki maksud pada tahta seorang raja. Kedua alis bertaut seraya menggertakkan gigi, melontarkan sorot penuh amarah. "Ini tidak bisa dibiarkan, mereka berdua harus segera ditangkap. Aku tidak ingin ada penganut ilmu hitam berkeliaran bebas di wilayahku,"  "Patih!" "Saya, Baginda." tegas pria tadi sigap menundukkan kepala, "Bawa gadis keturunan iblis serta ibunya. Penjarakan lalu interogasi mereka berdua. Atur beberapa prajurit untuk pergi bersamamu, kalian harus berjaga jaga jika ada orang atau pasukan yang melindungi mereka," *Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN