Mommy menarik Vanya duduk tepat di sampingnya, Aric duduk tepat di sisi lainnya Vanya. Mengelilingi meja makan yang bundar, di atasnya ada kaca yang bisa di putar saat mengambil piring berisi makanan yang diinginkan.
Suara gemercik air terjun buatan di sana membuat suasana seperti sedang berada di alam, di tambah beberapa tanaman yang berjajar rapi di satu dinding dengan pencahayaan yang cukup. Ayah dari Vanya mengoleksi piringan hitam dan juga Gramphone, alat pemutar music yang klasik. Juga di putar, menemani suasana makan malam.
Aric sejak tadi mencuri tatap pada Vanya yang tidak sekali pun meliriknya. Dagu wanita itu terangkat, lebih banyak menoleh pada Anna dan saling mengobrol akrab. Tentu saja Aric tahu jika Anna pernah bilang ingin punya menantu yang akrab, jika bisa seperti anak sendiri.
“Ka Fay dan Ka Alyan tidak ikut?” Tanya Vanya.
“Fayra sedang sakit, demam. Tadinya mau ikut, sayang sekali tidak bisa padahal Fay sudah kangen sekali sama kamu,” beritahu Anna.
“Demam?”
“Iya, biasa anak seusianya. Tadi sih kasih kabar kalau sudah membaik,” angguk Anna, “Fay titip salam, minta kamu main ke rumahnya.”
“Belum sempat, Tante. Besok, aku main deh ke sana.”
“Nah, besok hari Minggu. Pas Aric libur, dia bisa temani kamu.”
Aric seketika langsung menatap ibunya, belum sempat menjawab, penolakan malah lebih dulu muncul dari Vanya.
“Oh, tidak usah Tante!” Tolaknya impulsif kemudian ia mengendalikan diri, memberi senyum manis meski tipis, “aku masih ingat jalan ke rumah mereka, besok aku pergi sendiri saja.”
Aric baru akan bisa bernapas lega, tetapi Anna tidak membuat napas leganya berlama-lama saat mengultimatum halus.
“Lebih enak kalau ada temannya.” Ia kemudian menatap Aric, “bukan begitu Aric? Besok kamu tidak ada kegiatan ‘kan? Selagi Vanya di Jakarta, antar dia. Temani.” itu lebih dari sebuah pernyataan yang artinya sebuah keharusan alias tidak boleh dibantah.
Ouch s**t! Pasti akan jadi situasi canggung untuk kami. Batin Aric.
Aric tidak langsung mengiyakan, matanya melirik Anna kemudian Vanya yang memberi tatapan tak suka seolah menegaskan untuk Aric mencari alasan. Menolak permintaan Anna, tetapi Aric ingin mengerjai gadis itu.
“Aku tidak ke mana-mana, besok bisa antar Vanya ke rumah Fay. Lagi pula aku juga mau jengguk Fayra.” Katanya. Detik yang sama mata Vanya melotot sempurna. Aric membalas tatapan tersebut, menyeringai tipis yang di mata Vanya justru terlihat seperti senyum iblis.
Dasar devil! Umpat Vanya di dalam hati.
“Bagus, kalian sudah lama tidak bertemu. Vanya juga terlalu lama tinggal di Italia. Pasti asing dengan jalanan di sini.” Anna memupuskan kesempatan untuk Vanya menolak.
Seketika, Vanya jadi tidak bernafsu untuk makan.
“Vanya, tidak keberatan ‘kan?” Anna menatap Vanya yang terlihat murung.
Vanya membalas tatapan Anna, tidak mungkin menolak Anna. “Ya, selama tidak mengganggu hari libur Aric. Sebagian orang kalau libur, biasanya ingin istirahat di rumah atau menghabiskan waktu dengan teman dekatnya.”
Mengatakan kalimat itu sembari melirik Aric.
“Teman dekat?” Anna kemudian terkekeh, “Aric lebih sering menghabiskan waktu dengan Hamish dan teman dekatnya, Arrayan.”
Arrayan, nama yang baru Vanya dengar. Jika Hamish, Vanya kenal sebagai saudara kembar, putra dari Kaflin Lais. Hamish juga yang menghampiri Vanya waktu di Bar rooftop. Disinggung nama Hamish, Aric yakin pria itu akan terkejut jika wanita yang menarik, di ajak kenalan olehnya malam itu tak lain Vanya.
Vanya tidak minat membahas Aric dan teman-teman dekatnya. Sementara Aric, meringis mendengar yang Anna hanya tahu teman dekatnya adalah mereka. Padahal maksud Vanya tertuju pada teman dekat wanita.
Aric diam kembali, menjadi penyimak antara obrolan di sana. Sesekali matanya kembali melirik Vanya, ketika tatapan mata mereka beradu, Vanya yang lebih dulu berpaling. Aric menggeleng kecil, injakan kaki Vanya seolah tertinggal di kakinya.
Selain tubuh dan wajah Vanya yang berbeda, sesuatu dalam dirinya pun terasa berbeda. Dulu Vanya akan senang di dekatnya, menempel dan selalu memberi tatapan lekat yang lebih seperti terlihat terpukau. Kini, selain sikapnya yang dingin, cara Vanya menatapnya pun tak lagi sama. Dia menatap sinis, tersenyum tipis tampak terpaksa juga jika bisa menjaga jarak.
Dia definisi berbeda yang sesungguhnya setelah enam tahun tidak bertemu.
“Aric, kenapa diam saja?” tegur Dillan.
Aric mengangkat wajah, semua orang beratensi padanya. “Oh, tidak apa Om. Lagi menikmati suasana, di tambah musik klasik piringan hitam khas rumah ini.”
Dillan terkekeh, “memang sudah lama sekali, suasana seperti ini tidak ada. Semenjak Vanya di Italia, lalu kamu pun sibuk.”
Aric tersenyum kecil, memang dulu sangat dekat. Selain Vanya yang sering menginap di rumah orang tuanya, berlaku untuk Aric. Bahkan Aric kerap ikut kegiatan di luar orang tua Vanya yang suka berkemah. Berbeda dengan gaya liburan Kai dan Anna. Keluarga Vanya lebih suka menyatu dengan alam, sebulan sekali mereka akan keluar kota, ke pegunungan, di tengah hutan berkemah. Bahkan ada liburan paling berkesan untuk Aric saat ikut berlibur di Afrika selatan. Melihat singa secara langsung di alam terbuka dan bebas.
Semua momen itu sudah menjadi kenangan, seiring waktu segalanya berubah.
“Om masih mempertahankan koleksi piringan?”
Aric lebih tertarik membahas hobi Dillan tersebut. Dillan mengangguk, “Ya. Sudah suka walau terasa usang dan tertinggal jaman, tetap saja tak tergantikan.”
Aric tersenyum, alat pemutar piringan hitam tersebut bukan sembarang. Aric tahu harganya cukup mahal di buru para kolektor seperti Om Dillan.
“Kalian masih ingat tidak?” tanya Dillan lagi, yang di maksud kalian di sini adalah Aric dan Vanya.
“Ya?”
Kompak bersamaan Vanya dan Aric, keduanya menoleh dan saling tatap. Anna dan Valerie sudah senyum-senyum sendiri melihatnya.
“Hm..” Aric berdehem kecil.
“Kalian saat masih sekitar berusia sepuluh tahun, pernah kompak memainkan piringan hitam kesayangan ku, saat rusak justru kompak juga menyembunyikan di belakang akuarium. Saat itu Aric kenapa yang mengaku? Bukannya Vanya yang merusaknya, kan?”
Aric ingat, dia terbilang memiliki ingatan fotografis. Di mana ia memiliki kemampuan mengingat cukup jelas kejadian di masa lampau meski sudah jangka waktu lama terjadinya.
“Jika aku yang merusak, Om tidak mungkin mengomeliku. Seandainya minta ganti, uang Daddy banyak.” Jawaban Aric sama seperti saat Dillan bertanya dulu.
Satu momen yang juga Vanya ingat, dia segera menoleh dan menatap Aric. Mematung.
Aric menoleh sambil membalas tatapan Vanya lagi. Sementara para orang tua terkekeh, teringatkan dulu Aric dan Vanya saling melindungi saat ada yang salah. Kai yang mendengarnya, menggeleng kecil kelakuan putranya dulu.
“Kamu bisa pasang badan untuk Vanya, dulu. Om berharap kelak kamu juga bisa menjaga Vanya—”
“Pah, menjaga apa? Aku tidak perlu orang lain untuk melindungi diriku sendiri. Aku sudah cukup dewasa.” Vanya langsung menyela, apalagi perlindungan dari Aric. Dibanding melindungi, Aric lebih banyak menyakitinya. Pikir Vanya.
“Vanya..” tegur Valerie.
“Semua yang kita bicarakan, hanya kenakalan di masa kami anak-anak. Sudah berlalu lama. Kini kami sudah dewasa, memilih jalan masing-masing. Berbeda. Aku menetap di Italia, selama enam tahun, aku mengandalkan diriku sendiri. Bukan orang lain. Lagi pula dengan begitu, aku bisa mengurangi kesempatan kecewa, jika di banding bergantung pada seseorang.” Jawab Vanya.
Semua orang terdiam, tak menyangka jika Vanya akan menyampaikan pikiran khas wanita independent.
Anna menaikkan tangan, mengusap puncak kepala Vanya.
“Vanya benar, sudah berhasil menjaga dirinya dengan baik selama tinggal di luar. Jauh dari keluarga, dan temannya. Kamu juga benar, dengan mengandalkan diri sendiri adalah cara paling benar dan tepat. Mencegah kesempatan kecewa dari seseorang yang kita harapkan. Tante pun pernah ada di fase itu dulu, saat dua tahun memilih hidup mandiri di Amsterdam.” Anna mengatakan pendapatnya. Berdasarkan pilihannya dulu sebelum rujuk dengan Kai.
Aric lagi-lagi terdiam dan hanya menjadi pengamat Vanya. Dia bukan lagi gadis manja yang hanya bisa merengek menyebalkan, Vanya telah berubah jadi gadis dewasa yang mandiri.
“Memang bagus jadi wanita mandiri, pemikiran yang luas, independent. Sampai akhirnya kamu butuh seseorang untuk menemanimu, bertukar pikiran dan menghadapi segalanya bersama. Kamu tidak mungkin selamanya hidup sendiri, bukan?” tembak Valerie. Terkadang sebagai Ibu, melihat anak gadisnya terlalu mandiri dan menikmati hidupnya sendiri, ada timbul ketakutan jika Vanya akan nyaman sampai memilih terus hidup seperti itu.
Dia sebagai orang tua, tidak akan selalu ada. Sebelum waktu di dunia habis, ia ingin bisa melihat dan memastikan anak-anaknya dapat teman hidup yang bisa menjaganya dengan baik. Bisa berbagi setiap situasi, menyayanginya dengan sepenuh hati. Ya, harapan semua orang pada anak-anaknya kelak.
Vanya hanya menatap Valerie, tidak ingin meneruskan pembicaraan yang ujungnya pasti tuntutan menikah. Tidak semua orang bisa menerima dengan mudah prinsip seseorang ketika memilih sendiri, atau belum terpikirkan untuk menikah. Seperti Vanya saat ini. Aric pun sama, dia masih suka bebas tanpa komitmen yang mengikat.
Mungkin sebagian orang yang memilih tetap menjalani hidup sendiri, terdorong dari trauma orang di sekitar, misal berasal dari orang tua tak harmonis alias Broken home. Vanya dan Aric jelas berasal dari keluarga lengkap dan Perfect Home. Bukan mereka tidak ingin berkomitmen sama sekali, tapi untuk saat itu tampak belum berpikir ke sana. Vanya mungkin akan memikirkannya ketika sudah menemukan partner hidup yang bisa membuatnya yakin.
Makan malam selesai, tetapi mereka masih betah duduk bersantai. Daddy bicara dengan Om Dillan. Valerie dan Anna, sampai Aric menemukan Vanya yang pamit dan bukan kembali ke kamar. Dia menuju posisi cukup jauh, menjawab telepon dari seseorang.
Aric berdiri, melangkah mendekatinya. Dia diam, tak mengganggu Vanya sampai selesai. Tangannya terlipat di depan dadanya, ia sedikit menyandarkan bahu ke dinding di sana.
Mata Aric mengikuti gerak-gerik Vanya. Dia berbicara dalam bahasa asing, Aric menebak jika mungkin yang bicara dengannya rekan kerja di Italia.
Vanya berkacak pinggang, mata Aric menelusuri tubuh Vanya. Dia tak memiliki tubuh bak model, yang lebih ramping. Tetapi, Vanya berisi dan pas. Dress hitam yang di pakainya, tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya yang indah.
Lidah Aric refleks membasahi bibirnya yang kering, beberapa saat dia betah memerhatikan. Sampai Vanya selesai berbicara. Dia menarik napas dalam, Aric mengambil kesempatan untuk membuat gadis itu menyadari kehadirannya.
“Kenapa? Berat sekali kembali ke ruang tengah dan satu ruangan denganku?”
Vanya segera berbalik, tangannya masih memegang ponsel. Mata indahnya membulat sempurna, sudah beberapa kali tindakan Aric mengejutkannya.
“Kamu di sini?! Sejak kapan?”
“Selama kamu bicara dengan orang di telepon itu.” Katanya santai, menaikkan satu alis.
Vanya segera bersedekap, “kamu punya kebiasaan baru sekarang?” tanyanya sarkasme.
Aric menaikkan satu alisnya, menyelami maksud tanya sindiran Vanya tersebut.
“Mengintip ke kamar seorang gadis, juga menjadi penguntit? Oh satu lagi, menatap dengan c***l!”
Aric terkekeh, menegakkan berdirinya. Kemudian memasukkan tangan ke saku celana yang di gunakan. Dia melangkah maju, membuat Vanya seketika mundur. Sambil saling bergerak. Satu mendekat, lainnya mundur, Aric menjawab semua tuduhan Vanya tersebut.
“Pertama aku tidak mengintipmu.”
“Jika bukan mengintip, nama apa yang cocok? Perlu aku ingatkan, kamu masuk tanpa mengetuk pintu dan dapat ijinku lebih dulu.”
Aric tahu ia salah, tetapi terlalu ego untuk mengakuinya.
“Kedua, aku bukan menguntitmu.”
Vanya kian menatap sinis, “lalu apa yang kamu lakukan di sini? Berdiri memerhatikan aku sedang bicara di telepon.”
Vanya, tidak bisa melangkah lagi saat di belakangnya adalah sebuah nakas besar. Tetapi, Aric tidak memberi kesempatan ketika memerangkap dirinya.
“Terakhir, kamu pikir dirimu cukup seksi sampai aku memberimu tatapan c***l? Percaya diri sekali!” kata Aric lagi.
Vanya menaikkan tangan, menahan Aric untuk tidak terus mendesak.
“Minggir! Kamu mau apa?!” Vanya melirik ke jalan menuju lounge yang ada di halaman belakang, di mana orang tua mereka berada.
“Membalasmu karna telah menginjak kakiku tadi. Kamu gugup?” tebak Aric, menyeringai. Vanya tak ubahnya seperti mangsa yang telah terpojok, tak bisa melarikan diri.
“Kamu memang pantas mendapatkannya! Harusnya aku tidak hanya injak kakimu saja!”
Aric menurunkan wajah, hanya setipis tisu jarak antara wajah mereka. Ia menarik napas dalam dan sebuah kesalahan saat ia menghirup parfum vanilla yang menguar dari tubuh Vanya. Manis sekali.
“Menjauh! Aku akan teriak, dan orang tua kita akan tahu apa yang kamu lakukan?!” ancam Vanya.
Aric tidak takut sama sekali, dia malah terkekeh. “Memangnya apa yang aku lakukan?”
“Minggir atau—”
“Apa? Menginjak kakiku lagi?” tantang Aric.
“Kamu kenapa sih?!” Vanya kesal, terpancing. Aric tertawa di depannya, Vanya berusaha mendorongnya tetapi Aric malah menangkap tangannya.
“Aric—mmpt!” Aric membungkam mulut Vanya dengan tangannya, Vanya kemudian melotot lalu bertindak impulsive dengan sengaja menggigit tangan Aric sangat kencang.
“Argh! s**t! s**t!!” umpat Aric, menarik tangan dari bibir Vanya sekaligus menjauh. Dia melotot melihat bekas gigitan Vanya tercetak di telapak tangannya.
“Enam tahun, hanya ini perubahanmu seorang Kalil Alaric Lais? Perubahan dengan sikap b******k? Aku sudah ingatkan sekali, ternyata kamu tidak kapok juga dan ini terakhir kali. Jika kamu berani menyentuhku yang ketiga kalinya!” Vanya memperingatkan, kemudian berjalan dan sengaja menyenggol bahu Aric.
Beberapa langkah kemudian dia berhenti, tanpa menoleh Vanya mengatakan sesuatu.
“Bersikaplah dingin, tetap membenciku seperti dulu. Itu lebih baik karena aku tak minat dekat-dekat denganmu!”
Aric masih mengaduh, melihat bekas gigitan Vanya di tangannya. Kemudian dia mengangkat tatapan menatap punggung Vanya yang menjauh. Terutama setelah Vanya mengatakan kalimat tersebut.