bc

Menanti Cinta Terwujud

book_age18+
24.7K
IKUTI
164.9K
BACA
contract marriage
playboy
goodgirl
CEO
drama
sweet
bxg
city
enimies to lovers
first love
like
intro-logo
Uraian

“Rasanya sesak saat dibenci seseorang yang aku cintai, tanpa tahu letak salahku di mana?" ~Vanya

***

Bermula dari kelahiran di tahun sama, orang tua menjalin hubungan dekat, Vanya dan Aric jadi kerap di sangkut pautkan. Orang-orang bilang jika Vanya telah di siapkan untuk jadi pasangan Aric, tapi perasaan tidak bisa di paksakan. Vanya telah jatuh cinta, sebaliknya justru Aric membuat cintanya berada di ujung asa karena pria itu tidak mencintainya malah menjadi jauh dan membencinya.

Jarak adalah satu-satunya cara membuat Vanya melupakan Aric. Akan tetapi enam tahun kemudian mereka kembali bertemu dan dalam rencana pernikahan yang orang tua sudah siapkan. Banyak perubahan terjadi termasuk perasaan satu sama lainnya. Apakah memang mereka tercipta untuk satu sama lain? Atau justru Vanya tak akan pernah cukup mengubah benci jadi cinta seorang Kalil Alaric Lais apalagi saat Aric memiliki wanita lain hingga tak seharusnya terus menanti cintanya terwujud.

“Enam tahun, hanya ini perubahanmu seorang Kalil Alaric Lais? Perubahan dengan sikap b******k? Aku sudah ingatkan sekali, ternyata kamu tidak kapok juga dan ini terakhir kali. Jika kamu berani menyentuhku yang ketiga kalinya!” Vanya memperingatkan, kemudian berjalan dan sengaja menyenggol bahu Aric.

Beberapa langkah kemudian dia berhenti, tanpa menoleh Vanya mengatakan sesuatu.

“Bersikaplah dingin, tetap membenciku seperti dulu. Itu lebih baik karena aku tak minat dekat-dekat denganmu!” 

Aric masih mengaduh, melihat bekas gigitan Vanya di tangannya. Kemudian dia mengangkat tatapan menatap punggung Vanya yang menjauh. Terutama setelah Vanya mengatakan kalimat tersebut.

FYI: Dilarang menyebarkan/Menjual cerita ini dengan cara ilegal (di luar apk Dreame/Innovel) tanpa seizin penulis!

chap-preview
Pratinjau gratis
The First Love
“Rasanya sesak saat dibenci seseorang yang aku cintai, tanpa tahu letak salahku di mana?!" ~Vanya *** “Bisakah kamu berhenti mengikutiku?!” Sebuah sentakan membuat langkah Vanya berhenti. Ia genggam erat tas bekal yang dibawa dari rumahnya. Usia mereka kini sudah tujuh belas tahun, berada di masa akhir sekolah putih abu-abu. Aric mendesah sambil menyugar rambutnya, pesona keturunan Lais seperti kutukan yang akan membuat wanita bertekuk lutut. Aric, pria selain ayahnya yang pertama kali Vanya kenal sejak ia mengenal nama orang-orang di lingkungannya, kini sudah banyak berubah. Tidak hanya garis wajah yang kian dewasa, tetapi sikapnya. Aric yang dulu ia kenal sebagai teman kecilnya, berubah banyak seiring kabar beredar yang selalu mengatakan bila ‘Vanya adalah calon istri yang telah di siapkan untuknya’. Tatapan mata Aric selalu dingin dirasa hanya ditunjukkan padanya. Kapan terakhir kali Aric memberi tatapan hangat? Mungkin saat mereka berdua tidak peduli apa kata orang-orang di sekitar, atau saat salah satu belum jatuh cinta. “Kenapa? Aku cuman mau bilang kalau Mamah menitipkan ini!” Yang Vanya maksud adalah kotak bekal berisi makanan favorit Aric. Para orang tua kecuali Kakak dari Aric—Fay—tidak ada yang tahu sikap kasar Aric pada Vanya. Sebab saat di depan semua orang kecuali Fay, Aric bersikap biasa terkesan sopan. Ugh! Tidak seperti sekarang saat di depannya yang cenderung kasar, dingin dan tidak tersentuh. Aric mengulurkan tangan, “berikan lalu pergilah dari hadapanku!” “Aric—“ “Harus berapa kali aku katakan, aku muak, bosan harus melihatmu terus menerus mendekatiku!” Katanya skeptis. Vanya sudah biasa mendapat kalimat kasar tersebut, yang ia yakini jika Aric lakukan untuk membuat Vanya menjauh. Aric merebut kotak bekal yang Vanya berikan dengan cara yang menyentak. “Uhm, kamu tidak harus mengambilnya bila terpaksa.” “Sampaikan saja terima kasih pada Tante Valeri.” Ujarnya kemudian berbalik dan berlari menyeberangi lapangan sekolah tanpa menoleh lagi padanya. Aric menghampiri sekelompok anak-anak hits di sekolah. Huft! Tak sampai di situ, tangan Vanya mengepal kuat saat Aric menyambut uluran tangan seorang gadis cantik. Kekasih terbaru Aric, baru sekitar satu bulan mereka menjalin hubungan. Salah satu gadis populer di sekolahnya, adik kelas Aric dan Vanya bernama Daisy. “Anya!!” sebuah panggilan membuat Vanya menoleh, teman baiknya berlari ke arahnya. Memberi tatapan prihatin. “Milly?” “Rupanya kamu di sini?! Pasti mengejar Aric deh!” “Sstt! Jangan kencang-kencang!” Vanya menutup mulut temannya. Satu-satunya yang tahu kalau Vanya menaruh hati pada teman sejak kecilnya, “aku tidak mengejarnya, hm.. itu hanya memberikan titipan Mamah untuk Aric.” Vanya menyangkal meski terlihat jelas, tidak harus berbohong pada temannya. Milly memutar bola mata malas, “mau sampai kapan sih kamu terus seperti ini?” “Apa?” tanya Vanya tidak mengerti. “Kamu menanti cinta itu terwujud, cintamu di balas oleh Aric?!” Vanya segera mengedikan bahu, “ngomong apa sih kamu?! Udah ah kita pergi. Aku lapar!” Ajaknya. Vanya sempat menarik napas dalam, meski terdengar skeptis kalimat sahabatnya, justru terdengar benar. Mau sampai kapan dia menyakiti diri sendiri? Mereka memilih makan di kelas, saat itulah ponsel Milly mendapat satu pesan yang dibagikan di grup kelas. Milly yang tercengang membuat Vanya curiga dan penasaran, “ada apa?” MIlly tersentak, ia menoleh pada Vanya tetapi segera ia sembunyikan, “bukan apa-apa!” Mata Vanya memicing curiga, menyelami sepasang cakrawala sahabatnya. Jika bukan apa-apa mengapa reaksi temannya seperti baru melihat sesuatu yang buruk. “Bohong?! Coba sini lihat!” Vanya mendesak, memaksa. “Bukan apa-apa, Vanya. Hm di mana ponsel kamu? Sini aku pinjam!” Vanya malah semakin penasaran, ia rogoh ponsel dari dalam tas. Ia buka sembari menjauhkan dari Milly. Tangan lincah bergerak membuka ruang chat grup kelasnya. Grup tanpa guru, yang berisi murid-murid saja. Sudah ada ratusan pesan. Vanya memanjat ke sumber utama, lalu genggaman pada ponsel mengendur melihat sebuah foto. “Tuh kan kamu bad mood! Foto sampah gini harusnya jangan dilihat! Sini hapus aja!” Milly hendak mengambil ponsel Vanya, tapi ia eratkan genggaman dan memperbesar foto di mana Aric sedang berciuman dengan kekasihnya, Daisy. Demi Tuhan ia tidak ingin menangis, tapi matanya tiba-tiba perih. Vanya segera meletakan ponselnya di meja, berdiri dari duduknya tepat bel masuk sekolah terdengar. “Vanya, mau ke mana?” Milly coba menghentikannya, tetapi Vanya tak indahkan. Terus berlari meninggalkan kelas. Daripada ia akan lepas kendali, mempermalikan diri saat menangis di kelas. Bugh! Dia hampir terjatuh saat tanpa sengaja menabrak seseorang, “Ma—maaf!” bisiknya dengan gugup. Vanya masih menunduk, menyembunyikan air matanya. “Vanya, kamu menangis?” sebuah suara milik seseorang dari penyebab air matanya, membuat Vanya mendongak. Sepasang mata menatapnya lekat, jenis tatapan yang sulit dipahami. Ketika ia hendak mengulurkan tangan, Vanya melangkah mundur. “Jangan menyentuhku!” bisiknya dan berlalu, tidak hanya disitu, Vanya juga bertemu tatap dengan Daisy—pacar Aric yang ada dalam foto tersebut. Dadanya terasa semakin sakit. Vanya terus berlari, menuju halaman belakang sekolah yang sepi. Vanya berjongkok di sana. Memeluk lututnya, gemetar karena rasa kecewa pada dirinya sendiri karena masih saja mengharapkan seseorang yang jelas tidak memiliki perasaan sama sedikit pun padanya. Dia masih di sana, seseorang tiba-tiba berdiri di depannya. “Pergi!” dari ujung sepatu saja Vanya tahu jika Aric ternyata mengikutinya. “Berdiri—” “Apa pedulimu—” Satu tarikan memaksa dia dapatkan, Vanya berdiri dan tertarik. Vanya membuang pandangannya, tidak ingin menunjukkan tatapannya. “Aku bukan peduli padamu, aku hanya tidak ingin kamu bersikap menyedihkan seperti ini dan menyeretku dalam pembicaraan—” “Aku membencimu, Aric! Kamu dengar… aku sangat membencimu!” teriak Vanya sampai mendorong Aric, dia mengusap pipinya yang basah. Jangankan perasaan cinta, simpati pun tidak pernah ada dalam diri Aric untuknya. Aric mematung mendengar pertama kali Vanya berteriak dan mengatakan kalimat itu. Vanya terus melangkah, Aric mengejar dan meraih tangannya. Begitu erat. “Lepaskan—Aric!” Vanya terkejut saat tubuhnya di tarik, Aric membawanya bersembunyi di sebuah gudang. Posisi tubuh yang begitu dekat. Aric menunduk, membungkam bibirnya dengan telapak tangannya. Sepi menggulung keduanya dalam dimensi yang seolah hanya tercipta untuk mereka, tatapan mata bertaut lekat, “apa yang kamu lakukan? Lepas-” “Ada yang datang,” Aric mengintip ke celah pintu, seorang yang memeriksa tempat dan setelah memastikan langsung pergi. Aric bernapas lega, kembali menatap Vanya dalam, refleks tangannya menyentuh pipinya yang basah. “Bencilah aku sebanyak yang kamu inginkan Vanya, melangkahlah jauh dari hidupku… berhenti bergantung padaku, perasaan yang kamu miliki tercipta hanya karena kita terbiasa bersama sejak kecil. Saat kamu tidak pernah bersamaku lagi, kamu juga akan terbiasa dan melupakanku.” Vanya membalas tatapan matanya mendengar setiap untaian kalimatnya yang tak pernah ia duga akan Aric katakan. Aric perlahan mundur dan meninggalkannya. Membuat luka di hati Vanya kian dalam. “Aku akan sangat membencimu, Aric… sangat…” lirihnya dengan hati yang begitu perih. Itu hanya bagian jadi memori rasa sakit Vanya miliki dengan cinta pertama yang dimilikinya untuk teman kecilnya, Aric. *** Dua minggu setelah kelulusan sekolah.. Vanya mendapat undangan makan malam di rumah Lais. Biasanya ia selalu bersemangat, memilih pakaian terbaik dan berdandan. Tetapi, setelah kejadian hari itu, Vanya ragu untuk ikut acara malam ini. Wajahnya mulai membaik setelah dulu awal menghadapi hormon pasca menstruasi pertama, wajah Vanya berjerawat dan bobot tubuhnya naik. Vanya memiliki tubuh berisi, tertolong dengan tinggi tubuh yang di miliki jadi tidak terlalu terlihat bulat. “Vanya, ayo nak! Kita bisa membuat Kai dan Anna menunggu.” Teriak Valeri. Memanggil anak perempuannya yang dimiliki setelah menikah dengan Dillan. Vanya memiliki kakak laki-laki yang punya selisih usia hampir enam tahun. Yudistira yang sekarang masih di Inggris bersama keluarga dari Valerie yang ada di sana. Yudistira tengah fokus menyelesaikan pendidikan Master degree. “Wait, Mah.. bentar lagi!” Vanya segera menyelesaikan make up, ia meraih flat shoes berwarna abu-abu yang cocok dengan dress manis selutut berwarna senada. Ia meyakini diri, berdandan untuk diri sendiri. Bukan Aric! Setengah jam lebih mereka sampai di kediaman Lais, makan malam minus di hadiri Fay dan suaminya yang sedang di luar negeri. Padahal Fay sedang hamil besar, tapi ia tetap ikut menyaksikan pertandingan suaminya di turnamen MMA. Sejujurnya Vanya sangat malas ikut hadiri makan malam dikediaman Anna-Kaivan Lais. Setelah kejadian beberapa bulan sebelum ujian sekolah, ia dan Aric semakin menjadi asing. Vanya sibuk belajar untuk ujian termasuk masuk perguruan tinggi. Begitu juga Aric. Sekali mereka harus bertemu di satu titik, Vanya berusaha untuk tidak menoleh apalagi menatapnya seperti dulu. Mereka sempat terlibat dalam situasi terpaksa bersama saat Aric diminta Anna dan Valeri pergi bersama ke acara prom night. “Aduh, gadis kecil ini sekarang sudah dewasa. Cantik sekali.” Tante Anna selalu memuji Vanya begitu, bagi Vanya berlebihan. Tapi, sikap hangat yang di tunjukkan buat Vanya merasa sangat bahagia, beruntung. “Tante Anna apa kabar?” “Baik sayang, sekali lagi selamat ya atas kelulusannya.” Vanya mengangguk kecil, lalu membiarkan Anna menariknya duduk di dekatnya. Vanya di tempatkan di kursi tepat di sisi kursi yang akan Aric tempati nanti. Tetapi, Aric belum muncul. Saat di jalan tadi, Vanya menyesali kepedulian terhadap penampilannya. Sekali pun ia berdandan, Aric tidak akan memedulikannya. Tak lama pangeran muda Lais itu muncul, terlihat tidak suka dan bosan dengan acara pertemuan malam ini. Benar saja, sejauh Vanya berusaha terlihat di mata Aric tetap saja ia tidak akan di lirik apalagi Aric tertarik padanya. Aric hanya melirik kesal, membuat Vanya menunduk dan menarik napas dalam-dalam untuk menghilangkan rasa sesaknya. “Duduk di dekat Vanya.” Perintah Anna. Aric tidak hiraukan, ia tetap berjalan dan mengambil tempat di dekat Dillan. Di hadapan Vanya. “Di sini saja, dekat Om Dillan.” “Aric..” “Tidak apa, Anna. Aric pasti mau dekat denganku.” Dillan turut bicara. Makan malam terjadi sambil diiringi percakapan serius didominasi oleh orang tua. Vanya lebih banyak diam. “Jadi Vanya memilih Italia, tidak jadi satu kampus di Inggris bareng Aric?” Kai angkat bicara, menyinggung perguruan tinggi yang Vanya pilih. Sesuatu yang baru Aric dengar sampai ia tertarik menatap Vanya. Vanya meletakan alat makan, mengelap bibir lebih dulu baru bicara setelah tidak ada makanan di mulutnya. “Ya, Om. Vanya sudah memutuskan.” “Kenapa? Padahal kami senang Aric tidak benar-benar kuliah di Inggris sendiri.” Anna turut bicara. Menyesali keputusan Vanya yang berubah belakangan. “Aric pasti bosan lho Tante, Om.. satu sekolah terus sama aku.” Vanya sengaja mengatakan itu. Aric mengangkat satu alisnya mendengar penuturan Vanya. Membuat semua orang terkejut. Lalu detik berikutnya Vanya tersenyum, mengantar lesung pipi dalam di salah satu sisi pipi kirinya. “Vanya cuman bercanda kok, alasan sebenarnya, setelah Vanya cari tahu, Vanya lebih cocok dan yakin untuk mengambil pendidikan arsitek di Italia.” Ungkapnya. “Alasan pertama juga bagus. Memang kita harusnya bosan. Dari preschool sampai SMA kita selalu satu sekolah. Belum lagi tempat les.” Aric ikut bicara. Vanya bisa melihat jika Aric senang sekali Vanya tidak jadi satu universitas dengannya di Inggris. “Aric.” Tegur Anna. “Aku hanya bicara apa adanya.” “Aric benar, Tante.” Vanya membenarkan. Hanya ia yang tahu jika tangan di atas pangkuan sampai bergetar, sebisa mungkin ekspresi wajahnya tenang dan mengulas senyum agar tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di benak para orang tua terhadap situasi pertemanan Vanya-Aric. Vanya lalu berdiri, “Aku ijin ke kamar mandi.” Setelah mendapat anggukan dari para orang tua, Vanya segera pergi menuju kamar mandi. Ia menguncinya lalu tidak bisa menahan air mata, menangis tersedu-sedu lagi. Apa tidak bisa sekali saja, sebentar walau hanya di depan orang tua, Aric tidak menunjukkan kebencian padanya? Vanya menghapus air matanya, cepat. Sebab jika terlalu lama orang tuanya akan khawatir. Vanya membuka kunci dan menarik pintu. Ia tersentak saat mendapati Aric menghalangi jalannya lalu melangkah maju, membuat Vanya mundur. Tatapan mata mereka beradu dalam, Aric mengikis jarak. “Menangis lagi?! Dasar drama!” tanya Aric. Membuat mata Vanya terbelalak. “A-aku tidak—“ Lalu jari Aric terulur menyeka air mata di pipinya. “Kamu tidak bisa berbohong—“ Vanya langsung menyentak tangan Aric, “apa pedulimu?!” kalimat sama terlontar, ia sungguh bingung setiap menangis, Aric akan terlihat seperti peduli lalu kembali menyakiti. Aric mematung dapati reaksi Vanya yang sama seperti beberapa waktu lalu. “Apa pedulimu, mau aku menangis atau tertawa itu tidak akan mengubah kenyataan kalau kamu sangat membenciku, meski aku tidak pernah tahu apa salahku?! Jangan pernah berpura-pura peduli, aku tahu kalau kamu bahagia atas keputusanku, pilih Italia di banding Inggris, satu universitas denganmu—“ “Ya, aku senang! Akhirnya aku benar-benar akan bebas darimu, aku tidak akan selalu melihatmu lagi! Seperti yang pernah aku katakan, pergilah sejauh mungkin dariku dan jika bisa jangan sampai aku melihatmu lagi!” setelah mengatakan kalimat jahatnya, Aric berbalik dan pergi. Lalu lutut Vanya terasa lemas dan ia berpegangan pada gagang pintu. Air matanya kembali terjatuh, pandangannya kabur oleh air mata dan tetap ia tatap punggung Aric yang menjauh. “Sebenci itukah kamu, Aric? Apa salahku..?” bisiknya dengan lirih. Jika jarak mampu membuat Vanya bisa menyingkirkan Aric dari hatinya dan membuat Aric berhenti membencinya, maka Vanya akan teguh memilih untuk menjauh dari Aric. ‘Rasanya sesak saat dibenci seseorang yang aku cintai, tanpa tahu letak salahku…’ Cinta pertamanya tidak berakhir indah, justru Vanya mendapat cinta sekaligus sakit dari cinta pertamanya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
115.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.4K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook