Di Kamar Evan
Sebelumnya, Lola sudah mengabari Evan bahwa Dinda akan datang menemuinya. Oleh sebab itu, Evan mematikan dua ponselnya yang biasa ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Mayang dan Sela. Setelah itu, Evan memasukan ponselnya ke dalam laci meja kamarnya.
Sesampainya di kamar Evan, Dinda menaruh tasnya di meja. Kemudian ia duduk disebelah Evan yang saat ini sedang beristirahat. Dinda tak tega melihat orang yang dia cintai kesakitan dan terbaring lemah di tempat tidur. Dinda melihat perban membalut kaki kiri, tangan kanan, dan kepala Evan.
“Ya ampun beb. Kamu kenapa bisa kayak gini sih,” ucap Dinda.
“Namanya juga musibah beb,” ucap Evan.
“Kamu kenapa minta pulang sih? Sebaiknya kamu dirawat dulu di rumah sakit,” ucap Dinda.
“Gak apa-apa lah beb. Aku cuma luka ringan aja kok,” ucap Evan.
“Luka ringan gimana? Jelas-jelas ada perban yang membalut tangan, kaki, dan kepala kamu. Harusnya kamu dirawat intensif di rumah sakit,” ucap Dinda.
“Beb, aku beneran gak apa-apa. Tangan dan kakiku gak patah tulang, kepalaku juga gak bocor. Ini diperban karena lecet dan berdarah dikit aja,” ucap Evan.
“Cieeee… kak Dinda kelihatan khawatir banget sama kak Evan,” ucap Lola.
“Gimana aku gak khawatir, kondisi Evan aja kayak gini. Mana mungkin aku bisa tenang dan santai melihat orang yang aku cinta menderita,” ucap Dinda.
Begitulah Dinda, ia bukan wanita gengsian. Dinda tak segan berkata sayang dan cinta pada Evan. Bukan hanya sekedar lewat mulut saja, jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, Dinda juga sangat mencintai Evan. Dinda sangat tulus dengan Evan dan ia tak mau kehilangan Evan.
Evan malah tersenyum melihat raut wajah Dinda yang penuh kekhawatiran. “Beb, beb,”
“Kamu kenapa sih kok malah senyam-senyum? Emang ada yang lucu?” tanya Dinda.
“Yang lucu itu kamu. Aku cuma luka dikit aja kok dan sama sekali gak menderita. Jadi kamu gak perlu sekhawatir itu ya,” ucap Evan.
“Jangan suka menyepelekan sakit beb,” ucap Dinda.
“Iya deh bu dokterku yang cantik,” ucap Evan.
Andre dan Haykal masuk ke dalam kamar Evan untuk berpamitan. Karena sebentar lagi malam, Andre dan Haykal pamit untuk pulang. Mereka berjanji besok akan datang lagi untuk menjenguk Evan.
“Wihh.. Udah ditemenin sama bu dokter nih,” ucap Andre.
“Apa sih lo,” ucap Evan.
“Enak ya kalau punya pacar dokter, kalau sakit bisa dirawat eksklusif. Sekalian bisa berduaan deh,” ucap Haykal.
“Iri aja lo berdua,” canda Evan.
“Oh iya.. Gue sama Andre mau pamit pulang,” ucap Haykal.
“Jangan pulang dong. Nginep aja dirumah gue,” ucap Evan.
“Sorry Van tapi ibu gue udah nelfonin gue nih suruh pulang,” ucap Andre.
“Iya Van. Lagian kita kan punya rumah sendiri masa nginep di rumah lo,” ucap Haykal.
“Biarin aja sih kalau mereka pulang beb,” ucap Dinda.
“Tapi aku butuh bantuan mereka beb,” ucap Evan.
“Kan udah ada Dinda disini, dia pasti bisa bantuin lo. Besok gue sama Haykal pasti balik ke rumah lo,” ucap Andre.
“Iya beb. Meskipun Andre sama Haykal pulang, kan masih ada aku. Malam ini aku bakal nginep dirumah kamu,” ucap Dinda.
“Ide bagus tuh Din. Kamu nginep aja dirumah Evan supaya bisa bantuin Evan,” ucap Andre.
“Ya udah ya Van. Gue sama Andre balik dulu. Get well soon brother,” ucap Haykal.
“Payah! Andre sama Haykal gak peka banget sih maksud gue,” batin Evan ketika melihat kedua sahabatnya itu pulang.
Sesuai dengan apa yang Dinda katakan, ia akan menginap dirumah Evan. Dinda ingin merawat Evan sampai sembuh tetapi Evan tak dapat membiarkan Dinda terus dirumahnya. Hal ini karena Evan khawatir jika salah satu dari dua pacarnya yang lain datang ke rumahnya untuk mengejuknya.
“Beb… Kamu tenang aja, aku bakal selalu ada disamping kamu baik dalam keadaan kamu susah atau senang. Aku akan jadi orang pertama yang selalu ada buat kamu. Pokoknya aku bakal disini untuk merawat kamu sampai sembuh,” ucap Dinda.
Evan membelai rambut Dinda dengan tangan kirinya (karena tangan kanan nya sakit), “Dinda sayang… Makasih ya atas perhatian kamu yang begitu besar buat aku. Tapi kamu kan punya kehidupan sendiri, kamu gak boleh meninggalkan kehidupan kamu hanya demi aku. Kamu gak perlu repot-repot rawat aku, kamu harus mentingin pasien kamu dulu.”
“Di rumah sakit kan udah banyak dokter. Jadi mereka pasti udah ada yang menangani. Sekarang aku mau fokus sama kesembuhan kamu,” ucap Dinda.
“Gak.. enggak.. Aku gak mau kamu ninggalin pekerjaan kamu cuma demi aku. Kamu harus tetep kerja tanpa perlu mengkhawatirkan aku. Aku cuma luka ringan, bukan lumpuh jadi aku pasti sembuh dalam waktu dekat ini. Kalau kamu sayang sama aku, tolong kamu dengerin aku ya. Besok kamu berangkat seperti biasa,” ucap Evan.
“Tapi beb…,” ucap Dinda.
“Tolong ya beb,” ucap Evan sambil tersenyum, yang membuat Dinda tak tega menolak permintaan Evan.
“Ya udah deh kalau kamu maksa,” ucap Dinda.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Lola sudah menawari Dinda untuk tidur dikamar lain tetapi ia menolak. Dinda lebih memilih untuk tidur disamping Evan agar ia bisa selalu dekat dengan Evan.
“KakDin (panggilan akrab Lola pada Dinda) ayo ikut aku ke kamar sebelah,” ucap Lola.
“Gak La. Aku mau tidur disamping Evan,” ucap Dinda.
“Kakak kan pasti capek udah seharian kerja di rumah sakit, sekarang kakak istirahat aja di kamar. Kalau kakak tidur disini nanti kakak gak bisa istirahat dengan nyaman,” ucap Lola.
“Gak apa-apa. Aku tidur disini aja,” ucap Dinda.
“Ya udah kalau itu udah jadi kemauan kakak. Kalau gitu, aku tinggal dulu ya kak. Aku udah ngantuk nih,” ucap Lola.
“Iya… Selamat tidur ya,” ucap Dinda.
“Kakak juga ya,” ucap Lola kemudian ia keluar dari kamar Evan.
****
Keesokan harinya, Evan bangun dari tidurnya dan melihat Dinda masih terlelap disampingnya. Lebih tepatnya bukan tidur dalam satu ranjang yang sama tetapi di dua tempat yang berbeda. Evan tidur di ranjangnya, sedangkan Dinda tidur sambil duduk di kursi yang terletak di samping ranjangnya tempat tidurnya.
“Tidurnya pulas banget.. Pasti dia kecapekan deh,” ucap Evan.
Evan tersenyum sembari membelai rambut Dinda yang halus dan lembut itu. Tak disangka belaian Evan itu membuat Dinda terbangun. Meskipun belum sepenuhnya sadar dari tidurnya, tetapi Dinda tersenyum kearah Evan.
“Kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Evan.
“Aku lagi bayangin kalau kita nikah. Pasti bahagia deh pas akan atau bangun tidur aku lihat kamu dan kamu lihat aku,” ucap Dinda.
Evan berbicara tanpa memikirkan terlebih dahulu, “Iya.. Nanti kalau kita udah siap, kita nikah ya.”
“Dari dulu aku udah siap tapi kamunya yang selalu belum siap. Entah kapan kamu siap,” ucap Dinda.
“Kamu sabar ya, aku kan lagi berjuang demi cinta kita. Menikah itu gak boleh sembarangan, banyak yang harus dipertimbangkan. Kamu sabar ya,” ucap Evan.
Dinda tersenyum lalu berkata, “Iya.. Aku pasti sabar kok.”
Kemudian Dinda pergi ke dapur untuk membuatkan bubur untuk Evan. Dinda ingin membuatkan bubur khusus untuk orang yang sakit seperti Evan.
“Kamu tunggu sebentar ya,” ucap Dinda.
“Kamu mau kemana?” tanya Evan.
“Aku mau bikinin bubur buat kamu,” ucap Dinda.
*****
Dinda berpapasan dengan Lola yang baru keluar dari kamarnya. Lola pun mengikuti Dinda ke dapur untuk masak. Saat mereka berjalan ke dapur, mereka mendengar bell berbunyi. Lola pun membuka pintu sedangkan Dinda tetap pergi ke dapur.
“Mau pulang sekarang kak?” tanya Lola.
“Bukan. Aku mau ke dapur,” ucap Dinda.
“Pasti mau masak bubur buat kak Evan ya?” tanya Lola.
“Iyaa.. Kok kamu tahu?” tanya Dinda.
“Soalnya kalau orang sakit biasanya makannya bubur hehehe.. Aku ikut kakak masak ya,” ucap Lola.
“Boleh.. Yuk,” ucap Dinda.
Ting Tung (suara bel)
“Siapa sih pagi-pagi gini udah bertamu,” ucap Lola.
“Kamu buka pintunya ya La. Aku mau ke dapur,” ucap Dinda.
“Iya kak. Kakak ke dapur duluan ya biar aku buka pintu dulu,” ucap Lola.
Lola berjalan ke arah pintu rumahnya. Betapa terkejutnya Lola saat mengetahui siapa orang yang bertamu pagi-pagi. Ternyata dia adalah Mayang, pacar ketiga Evan. Sebelum berangkat bekerja, Mayang mampir ke rumah Evan terlebih dahulu. Tak datang dengan tangan kosong, Mayang membawa bubur ayam untuk Evan dan nasi goreng untuk Lola.
“Pagi Lola,” ucap Mayang.
“Kak Mayang ngapain ke rumah pagi-pagi gini?” tanya Lola.
“Masa aku gak boleh ke rumah pacar aku sendiri?” tanya Mayang balik pada Lola.
“Boleh dong kak.. Justru kak Evan pasti seneng banget kalau kakak datang. Maksud aku kenapa kakak datengnya pagi-pagi terus kenapa gak ngabarin aku dulu?” tanya Lola.
“Aku sengaja dateng pagi karena nanti malam aku ada patroli. Daripada aku gak ketemu Evan sama sekali, mending aku datang pagi. Meskipun gak lama tapi setidaknya aku udah ketemu dan lihat kondisinya,” ucap Mayang.
“Mari masuk kak,” ucap Lola mengajak Mayang bertemu Evan.
“Kakak masuk duluan ya ke kamar kak Evan. Aku mau ambil minum sebentar,” ucap Lola.
“Beneran gak apa-apa aku langsung ke kamarnya?” tanya Mayang.
“Iya kak.. Gak apa-apa.. Anggap aja rumah sendiri,” ucap Lola.
“Oke. Aku ke kamar Evan dulu ya,” ucap Mayang.
Saat ini, Lola berada di situasi yang menegangkan dan membingungkan. Bagaimana tidak? Kedua pacar Evan berada di rumahnya dalam waktu yang sama. Lola harus memutar otaknya dan mencari cara agar keduanya tidak bertemu. Setelah Mayang ke kamar Evan, Lola kemudian mengunci pintu dapur agar Dinda tidak melihat kedatangan Mayang.
Dinda yang sudah selesai membuat bubur dan ingin keluar pun kebingungan karena pintunya tidak bisa dibuka “Kok pintunya gak bisa dibuka ya.”
“La, Lola… Ini kenapa pintunya gak bisa dibuka,” teriak Dinda dari dalam.
“Pintunya rusak nih kak. Kakak tunggu aja di dapur nanti aku cari cara buat buka pintu ini,” ucap Lola.
“Tapi La.. La.. Lola,” ucap Dinda berulang kali tetapi Lola tak lagi menjawab karena ia sudah menyusul Evan dan Mayang di kamarnya.
******
Setelah mengurus Dinda di dapur yang ada di bawah, Lola naik tangga menuju kamar Evan yang berada di atas. Bukannya langsung masuk ke dalam kamar Evan, Mayang malah berdiri didepan pintu kamar Evan.
“Loh kakMay (panggilan akrab Lola ke Mayang) ngapain malah berdiri didepan pintu kamar kak Evan? Langsung masuk aja kak,” ucap Lola.
“Aku gak enak La kalau main masuk ke kamar orang apalagi ke kamar cowok sekalipun itu pacar aku sendiri. Jadi aku nunggu kamu aja deh biar kita bisa masuk ke kamar Evan bareng,” ucap Mayang.
“Ya udah kalau gitu kita masuk ke kamar Evan sekarang ya kak,” ucap Lola.
Di Kamar Evan
Sesampainya di kamar Evan, Mayang memberikan bubur untuk Evan dan nasi goreng untuk Lola. Sebenarnya, Evan sudah dibuatkan bubur oleh Dinda. Namun, ia juga tidak mungkin menolak bubur yang Mayang berikan.
“Pagi sayang,” ucap Mayang pada Evan.
Evan terkejut melihat kedatangan Mayang disaat Dinda juga sedang ada di rumahnya. “Loh… Kamu kok gak bilang-bilang aku dulu kalau mau ke rumah.”
“Gimana aku bisa ngabarin kamu kalau nomer kamu aja gak aktif dari kemarin sore,” ucap Mayang.
“Oh iya ya aku sampai lupa. Hapeku lagi error kemarin dan belum sempat aku servis,” ucap Evan.
“Pantesan aku hubungi gak bisa-bisa,” ucap Mayang.
Mayang pun duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Evan. “Oh iya. Ini aku bawain bubur buat kamu dan nasi goreng buat Lola.”
“Wah.. makasih ya kak. KakMay tahu aja kalau aku belum sarapan,” ucap Lola.
“Iya sama-sama,” ucap Mayang.
Mayang kemudian membuka wadah berisi bubur tersebut dan mulai menyuapi Evan, “Kamu makan dulu ya. Aku suapin,”
“Aku belum lapar. Buat kamu aja ya buburnya,” ucap Evan.
“Aku bawain bubur ini kan buat kamu jadi kamu yang harus makan. Lagian kamu lagi sakit, kamu perlu makan yang banyak. Sini aku suapin aaa,” ucap Mayang sembari meminta Evan membuka mulut.
Akhirnya, Evan mau disuapi bubur oleh Mayang. Evan makan bubur itu tetapi tidak sampai habis. Sedangkan, Lola makan nasi goreng yang Mayang bawakan tadi.
“Udah.. Aku udah kenyang,” ucap Evan.
“Sayang.. Nanggung nih tinggal dikit lagi. Habisin ya,” ucap Mayang tetapi Evan menolak.
“Enggak.. Aku beneran udah kenyang sayang.. Nanti perutku sakit kalau kebanyakan makan,” ucap Evan.
“Ya udah kalau kamu maunya gitu,” ucap Mayang kemudian menaruh bubur itu di meja.
Evan berterima kasih kepada Mayang, “Makasih ya kamu rela pagi-pagi ke rumah aku, bawain bubur, dan nyuapin aku.”
“Kan udah sewajarnya aku gitu. Coba aja kalau nanti malam aku gak ada tugas patroli, pasti aku udah nemenin kamu. Aku tuh gak tega lihat kamu sakit apalagi sampai diperban-perban kayak gini,” ucap Mayang.
Evan mengatakan, “Mayang sayang, cintaku. Aku cuma luka ringan aja kok, ini diperban karena lecet dikit aja. Kamu gak perlu khawatir ya, sebentar lagi aku juga sembuh kok.”
“Kalau kamu mau kerja, kamu berangkat aja sekarang. Nanti kamu telat lho,” ucap Evan.
“Kamu ngusir aku nih?”
“Enggak dong… Mana mungkin aku ngusir bu polwan yang cantik jelita ini. Aku cuma gak mau kamu telat aja soalnya kalau pagi jalanan macet. Makannya aku suruh kamu berangkat sekarang,” ucap Evan.
Sebelum Mayang berangkat kerja, ia berpesan kepada Evan “Ya udah. Aku berangkat kerja dulu ya. Selama kamu masih sakit, kamu istirahat aja dirumah gak usah kemana-mana.”
“Iya pastinya. Aku pasti istirahat dirumah sampai sembuh,” ucap Evan.
Saat hendak pergi, Mayang melihat ada sebuah tas wanita di sofa kama Evan. “Itu tas siapa? Kok kayak tas cewek,”
Itu adalah tas Dinda tetapi Evan tak mungkin berkata jujur pada Mayang. “Ohh.. Itu tas Lola yang belum sempat dibawa ke kamarnya.”
“Iya kak. Itu tas aku kak,” jawab Lola membantu memperlancar kebohongan Evan.
“Oh tas kamu La. Kirain tas cewek lain tapi gak mungkinlah ya, Evan kan orangnya setia. Mana mungkin dia bawa cewek masuk ke kamarnya apalagi dalam keadaan sakit kayak gini,” ucap Mayang.
“Pastinya dong sayang. Satu-satunya pacar aku kan cuma kamu. Aku itu cowok paling setia di dunia,” ucap Evan.
“Iya aku percaya kok kalau kamu setia,” ucap Mayang.
Karena waktu semakin berjalan, Mayang pun bergegas untuk pergi. Setelah Mayang pergi dari kamarnya, Evan bertanya pada Lola tentang bagaimana caranya dia bisa menyembunyikan Dinda hingga bisa tidak bertemu dengan Mayang. Padahal, Mayang cukup lama berada di kamarnya.
“La, kamu sembunyikan Dinda dimana? Kok dia bisa gak ketemu sama Mayang,” ucap Evan.
“Tadi aku bilang sama kak Dinda kalau pintu dapur rusak padahal aslinya aku kunciin biar kak Dinda gak ketemu sama kak Mayang,” ucap Lola.
“Pinter juga kamu,” ucap Evan.
“Inget ya kak. Di dunia ini gak ada yang gratis. Jadi kakak tahu kan nanti harus ngapain,” ucap Lola.
“Iya-iya. Nanti kakak transfer uang ke rekening kamu tapi kamu harus bantuin kakak ya,” ucap Evan.
“Emangnya selama ini siapa yang bantuin kakak kalau bukan aku? Emang sih kak Haykal dan kak Andre juga berperan dalam membantu menjaga hubungan kakak sama pacar-pacar kakak tapi yang paling banyak kan aku. Apapun yang aku katakan pacar-pacar kakak pasti percaya karena aku adik kakak dan aku gak mungkin bohongin mereka,” ucap Lola.
“Iya deh tapi buruan kamu susul Dinda. Bukain pintunya kasihan kan dia 2 jam di dapur,” ucap Evan.
“Iya ini juga mau aku bukain pintunya,” ucap Lola kemudian menyusul Dinda di dapur.
*****
Lola membuka pintu dapur dan melihat Dinda duduk di kursi dapur, “Maaf ya kak kalau aku lama.”
“Yang bener aja dong La. Kamu biarin aku nunggu di dapur selama 2 jam. Bubur yang aku buatin buat Evan yang tadi panas aja udah berubah jadi dingin,” ucap Dinda.
“Maaf ya kak. Pintu dapurnya tadi rusak dan gak bisa dibuka. Karena itu, aku cari akal dulu biar bisa buka pintunya. Dan baru bisa kebuka sekarang,” ucap Lola.
“Perasaan tadi pas aku masuk pintunya baik-baik aja masa tiba-tiba rusak,” ucap Dinda.
“Namanya barang rusak itu emang sering terjadi secara tiba-tiba kak. Maklumi aja,” ucap Lola.
“Ya udah. Aku bawa bubur ini dulu buat kakak kamu,” ucap Dinda menaruh semangkuk bubur dan segelas air putih di nampan kemudian akan memberikannya pada Evan.
Di Kamar Evan
Dinda membawa makanan dan minuman itu ke kamar Evan. Namun, ada hal yang menarik perhatian Dinda. Saat duduk di kursi yang terdapat di samping tempat tidur Evan, Dinda melihat ada sisa bubur di meja. Evan lupa tidak menyembunyikan atau membuang sisa makanan itu.
“Beb… Buburnya udah jadi nih. Maaf ya kalau lama,” ucap Dinda.
“Gak apa-apa beb. Soalnya kata Lola pintunya tadi rusak,” ucap Evan.
“Kok di meja ada bubur?” tanya Dinda.
“Tadi Andre kesini kak bawain bubur buat aku. Karena aku lapar jadi aku makan deh,” ucap Evan berbohong.
“Yahh.. padahal aku udah masak bubur buat kamu,” ucap Dinda.
“Gak apa-apa. Meskipun aku udah kenyang tapi aku tetep pengen makan bubur buatan kamu,” ucap Evan.
“Aku suapin ya,” ucap Dinda dan Evan menganggukan kepala.
Evan makan bubur buatan Dinda yang lezat itu. Karena rasanya enak, Evan pun memakan bubur itu sampai habis. Menurut Evan, rasa bubur buatan Dinda lebih enak dari bubur yang dibawakan Mayang tadi.
“Bubur buatan kamu enak banget. Aku suka,” ucap Evan.
“Serius kamu suka?” tanya Dinda.
“Iya aku suka. Rasanya lebih enak dari bubur manapun,” ucap Evan memuji masakan Dinda.
“Kalau rasanya enak, habisin ya.” ucap Dinda menyuapi Evan.
“Pasti aku habisin dong,” ucap Evan tersenyum dan senang makan bubur buatan Dinda.
“Setelah nyuapin aku, kamu mandi terus kerja ya. Aku gak mau ngerepotin kamu terus,” ucap Evan.
“Aku gak pernah ngerasa direpotin sama kamu. Malahan aku pengen merawat kamu sampai sembuh tapi kamunya gak mau,” ucap Dinda.
“Bukan aku gak mau beb tapi aku gak enak aja sama kamu. Biar bagaimanapun, pasien kamu nomer satu. Kamu harus berangkat ke rumah sakit dan tangani pasien kamu ya,” ucap Evan.
“Iya.. Aku ikut sama kata kamu kok,” ucap Dinda.