Pagi hari, di luar cuaca kembali gerimis. Padahal hari ini, Kamal ada panggilan interview di sebuah kantor ekspedisi yang cukup ternama. Acara wawancara memang jam sembilan, tetapi ia tak mungkin terlambatkan? Jika ingin naik taksi online, sangat sayang dengan uangnya. Jika naik ojek online maka dia kebasahan. Mau naik naik sepeda juga pasti kebasahan. Terus sekarang bagaimana?
Kamal menoleh pada pintu kamar kakak iparnya yang masih saja tertutup. Padahal sudah pukul enam tiga puluh pagi, harusnya wanita itu sudah bangun dan sedang menonton upin dan ipin di ruang tengah.
"Sarapan dulu sebelum berangkat, Mal," ucap Bu Rani membuyarkan lamunan Kamal. Lelaki itu tersenyum, lalu mengekori ibunya berjalan ke ruang makan.
"Bu, Ica belum keluar kamar juga?" tanya Kamal sambil menyendokkan nasi ke dalam piringnya.
"Masih santai-santai kali. Namanya juga baru sembuh," sahut Bu Rani yang ikut menarik kursi makan persis di depan Kamal.
"Kamal takut Teh Ica khilaf Bu."
"Maksudnya?" kening Bu Rani mengerut mencoba mencerna ucapan anak lelakinya.
"Khilaf minum wipol, atau nelen sabun batangan."
Pletaak!
Bu Rani menampar kepala Kamal dengan kotak tisu yang masih penuh isinya.
"Sst ... sakit, Bu." Kamal mengusap sudut kepalanya yang terasa sakit.
"Makanya, bicara yang betul!" Bu Rani mencebik. Lalu melanjutkan makannya kembali, sedangkan Kamal menoleh sekilas pada pintu kamar. Hatinya sungguh tak tenang, maka dari itu, ia memilih bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekat pada kamar Ica.
Tok!
Tok!
"Ca, lu gak papakan?" seru Kamal dari balik pintu. Namun, masih tak ada sahutan.
"Ca, lu gak papa? Buka, Ca!"
Ceklek
Ceklek
Kunci pintu diputar dua kali dari dalam. Kamal mengusap dadanya yang tadi sempat berdetak sangat cepat. Wajah sembab Ica kembali muncul dari balik pintu. Rambutnya juga acak-acakan bagaikan baru diajak berantam ibu-ibu se-RT.
"Baru bangun, Mal," ucap Ica pelan, sambil berjalan meninggalkan Kamal yang tergugu di depan pintu kamarnya. Cepat Kamal menyusul langkah Ica, lalu menarikkan kursi untuk wanita itu, tepat di sampingnya.
"Terima kasih, Mal," ucap Ica pelan.
"Makan dulu. Jangan tidur mulu. Kasian cacing dalam perut lu. Mereka'kan juga butuh asupan gizi," ucap Kamal mencoba membuat lelucon. Benar saja, kalimat Kamal barusan, berhasil membuat kakak iparnya itu tergelak. Ica menatap tegas Kamal yang sudah rapi dengan kemeja putih dengan setelan celana panjang hitam.
"Mau ke mana, Mal?" tanyanya sambil menatap lekat Kamal.
Ica baru sadar, jika Kamal juga memiliki wajah tampan, asal berpakaian rapi seperti ini.
"Mau interview kerjaan, Ca. Doakan keterima ya," jawab Kamal sambil tersenyum.
"Sales panci?" tanya Ica lagi sembari menahan tawa.
"Bukan, tapi sales kartu kredit," balas Kamal dengan wajah masam.
"Dih, Ade Kamal ngambek!" Ica mencubit pipi Kamal dengan gemas. Kamal menyeringai berat. Dirabanya pipi dan detak jantung yang seperti berlompatan, setelah dicubit oleh Ica.
"Kamal jangan dicolek, Ca. Bisa demam dia," celetuk Bu Rani sambil terkekeh.
Benar saja, sesampainya Kamal di kantor ekspedisi. Tiba-tiba saja tubuhnya menggigil hebat. Kepalanya mulai berdenyut sakit. Teman wanita sesama pelamar kerja di tempat yang sama, memperhatikan Kamal dengan seksama. Ia tahu, jika Kamal sepertinya kurang sehat.
"Masnya sakit? Ini minum tolak angin." Wanita itu memberikan satu bungkus tolak angin cair, dan juga satu botol air mineral yang ia ambil dari dalam tasnya. Kamal menoleh, lalu mengangkat tangan tanda terima kasih. Ia tak berani ambil resiko, jika menerima makanan dan minuman dari orang asing. Bisa saja ada racun di dalamnya, maka dari itu harus waspada.
"Terima kasih, Mbak. Saya tidak apa-apa," ucap Kamal sambil tersenyum.
Ada empat orang pelamar yang menunggu, dan Kamal urutan ketiga yang dipanggil. Rasanya menunggu begitu lama, sehingga tubuhnya benar-benar menggigil. Ia mencoba menahannya, paling tidak sampai selesai wawancara.
"Kamal Haris," panggil seorang sekretaris dari depan pintu kepala HRD. Kamal berdiri, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan dengan begitu percaya diri.
"Silakan duduk, Mas," ucap seorang wanita setengah baya.
"Terima kasih, Bu." Kamal tersenyum, lalu meletakkan bokongnya sedikit kasar. Bukannya karena apa? Tubuhnya tiba-tiba saja limbung, untunglah tak jatuh di lantai.
"Kamu baik-baik saja?" tanya wanita itu.
"Baik, Bu, sedikit," jawab Kamal tegas.
"Baiklah. Kita mulai ya. Saya sudah membaca CV yang kamu kirimkan. Jadi, kenapa kamu terlalu cepat pindah pekerjaan? Di data kamu, dalam dua tahun, kamu bisa dua kali pindah tempat bekerja."
"Demam, Bu."
"Hah? Demam? Kamu suka sakit demam?" tanya kepala HRD yang mendadak tak paham.
"Dingin juga," jawab Kamal tak fokus. Karena tubuhnya merasakan dingin sekaligus demam.
"Tempat kerjaan kamu terlalu dingin AC-nya, makanya kamu pindah kerja?" tanya wanita itu lagi semakin tak paham.
"Saya demam dan dingin, Bu," kata Kamal lagi dengan melipat tangan di dadanya.
"Oh, jadi kamu sering sakit demam dan dingin, sehingga pindah-pindah pekerjaan?"
Kamal beristighfar dalam hati. Kenapa wanita lemot seperti ini bisa jadi kepala HRD? Ya Tuhan, cabut saja nyawaku saat ini juga. Bukannya sembuh, malah tambah sakit bicara dengan wanita di depannya ini.
"Bukan, Bu, tapi saat ini, saya yang sedang kurang sehat," balas Kamal sungguh tak tahan.
"Trus, kenapa ke sini kalau kamu sakit? Di sini bukan klinik. Udah sana, di luar dulu! Nanti saya informasuikan kelanjutannya," titah wanita itu pada Kamal. Kamal bangun dari duduknya, lalu keluar ruangan untuk kemudian duduk kembali ke sofa tunggu.
Satu per satu teman pelamar kerja sudah dipanggil, hingga semuanya sudah pulang. Tersisa dirinya yang masih setia menunggu, padahal sudah pukul satu siang. Kamal dengan setia dan penuh totalitas, tetap menunggu, sambil menahan demam.
Pintu ruangan HRD terbuka. Wanita yang mewawancarai Kamal keluar dari sana bersama seorang asistennya. Wanita itu menoleh pada Kamal yang masih memeluk tangan di dadanya dengan bibir mulai pucat.
"Kamu kok masih di sini?" tanya wanita itu menghampiri Kamal.
"Kata Ibu, saya disuruh tunggu. Ya saya tunggu, Bu."
Wanita itu tergelak, sambil memijat keras pelipisnya.
"Maksud saya tunggu di rumah, bukan di sini!" wanita itu dan asistennya kembali tergelak. Meninggalkan Kamal yang tergugu dengan tubuh menggigil.
Kamal mampir ke sebuah warung kecil di pinggir jalan, begitu keluar dari gedung berlantai empat itu. Ia membeli tolak angin, koyo cabe, dan juga air teh tawar untuk membasahi tenggorokannya. Diisinya perut dengan sepotong roti tawar yang juga dijual di kios warung pinggir jalan itu.
Setelah kenyang dan merasa sedikit lebih baik, Kamal memutuskan untuk pulang saja. Namun, pemandangan di depannya membuat ia tak jadi memberhentikan angkutan umum. Lelaki itu menyebrang jalan, lalu masuk ke dalam toko boneka itu. Sepertinya baru buka, karena banyak sekali potongan harga.
Kamal mengambil boneka beruang berwarna coklat, untuk mengecek harganya. Ternyata ada potongan harga lima puluh persen. Harga semula seratus dua puluh ribu, menjadi enam puluh ribu. Kamal tersenyum, ia akan memberikan boneka ini pada Ica, agar wanita itu sedikit terhibur. Dengan senyuman merekah, Kamal membayar di kasir. Tak apalah makan siangnya hanya dengan roti, asal kakak iparnya itu nanti bisa tersenyum senang dengan hadiah yang ia berikan.
Setelah membayar belanjaannya, Kamal pun pulang dengan naik angkutan umum. Jarak yang memang cukup jauh, membuatnya harus dua kali sambung angkutan, baru sampai di area komplek perumahan kakaknya.
Begitu sampai di depan pagar rumah, senyum Kamal yang tadinya begitu lebar, mendadak surut. Mobil Mas Alexnya sudah terparkir di sebelah motor istrinya. Tandanya, kakaknya itu sudah pulang ke rumah.
Plaak!
Plaak!
Mata Kamal terbuka lebar, saat mendengar suara tamparan dari dalam rumah.
"Ya Allah, Ica!"
Bersambung