6. Tertangkap m***m di Parkiran

1139 Kata
Malam itu juga, Alex membawa Susan ke rumah sakit untuk melakukan operasi pengangkatan kutil sebesar telur ayam negeri. Lelaki itu begitu jengah dengan tampilan daging melambai di paha istri keduanya. Sehingga ia memutuskan untuk segera mengoperasinya. Pantas saja Susan tidak pernah mengenakan celana jeans. Wanita itu selalu memakai rok tutu yang kembang, untuk menutupi benjolan di pahanya. "Mas marah ya?" tanya Susan takut-takut. Wanita itu tak berani menatap wajah suaminya yang nampak garang. "Harusnya hal seperti ini jangan ditutupi. Sebelum menikah jadi bisa dioperasi terlebih dahulu. Gak repot kayak sekarang," jawab Alex dengan suara datar. Lelaki itu harus melemparkan jauh hasrat yang sudah naik ke ubun-ubun, saat melihat kutil istri mudanya. Bayangkan betapa kecewa dan kagetnya ia. Namun, ini bagian dari konsekuensi. Dia sudah terlanjur mencintai Susan. Lalu bagaimana dengan Annisa? Alex meremas rambutnya kasar. Ia benar-benar bingung. "Maaf, Mas." Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Susan. Ada air mata membasahi pipinya saat mengetahui betapa kecewa dan marahnya suaminya. Mobil melaju bagai sedang mengejar maling. Pukul dua belas malam, jalananan memang sudah lengang, dan arah menuju rumah sakit terdekat dari apartemennya, sepi. Alex memarkirkan mobilnya di lobi parkir utama. Masih berusaha meredam emosinya, Alex membukakan pintu untuk Susan, lalu menggenggam tangannya untuk masuk ke ruang IGD. "Maaf Pak, tidak ada tindakan operasi malam seperti ini, jika keadaan pasien tidak darurat," ujar perawat jaga yang berada di ruangan itu. "Tapi buat saya ini darurat," balas Alex masih bersikeras mengoperasi Susan malam ini juga. "Apa istrinya ada demam?" tanya perawat lagi. "Tidak ada. Hanya saya aneh saja ada kutil sebesar itu di paha," timpal Alex dengan ekor mata melirik Susan sedikit. Perawat nampak menghela napas dalam, lalu ikut menatap Susan. "Begini saja, besok konsul dokter bedah ya. Praktek jam sembilan. Jika beliau setuju, maka baru bisa diambil tindakan operasi," ujar perawat memberi usul. Alex kembali menoleh pada istri mudanya yang nampak murung. Padahal ini adalah malam pengantin mereka. Suasana menjadi kacau hanya gara-gara telur sebesar kutil, eh ... kutil sebesar telur. "Ya sudah, besok saja kalau begitu." Alex keluar dari rumah sakit dengan wajah datar. Di sampingnya Susan berjalan dengan wajah menunduk, dan air mata yang hampir saja tumpah. "Kita makan dulu," ucap Alex begitu mereka masuk ke dalam mobil. "Gak mau makan saya dulu aja, Mas?" Susan menyentuh anggota tubuh paling keramat milik suaminya. Wanita itu harus berhasil membuat Alex mabuk kepayang padanya, agar Alex tak kembali bersama istrinya sahnya. "Nanti saja," jawab Alex sedikit gamang. Hatinya menjerit saat Susan melepas sentuhannya. Namun, ia juga harus sedikit jual mahal, agar wanita itu tahu kalau dia marah. "Nanti saja, tapi kok bangun?" Susan kembali menggoda suaminya. Alex menyerah, ia tak mau membuka mata sama sekali, antara menikmati sama menahan jijik. Jangan sampai ia melihat telur bergelantungan di paha istrinya. Mobil bergoyang cukup lama. Security yang kebetulan sedang berpatroli, memperhatikan mobil dengan kaca reyban yang terus saja bergerak. Petugas keamanan itu berlari memanggil rekannya, ia sangat ketakutan. "Ada apa, Im?" tanya temannya pada Imron yang berwajah pucat, dengan kaki gemetar. "A-a-a ... a ...." Imron tak kuasa melanjutkan ucapannya karena rasa takut yang luar biasa. "Apa?" Nurdin menggerakkan kepalanya. "A-ada setan lagi ... lagi ... goyangin mobil mahal di parkiran," terang Imron dengan terbata. Ia memegang dengkulnya yang masih saja bergerak hebat di bawah sana. "Ish, kaki gue ngeselin banget!" umpatnya pada kedua kakinya yang tak juga berhenti gemetar. Sedangkan Nurdin tergelak melihat kelakuan Imron yang konyol. "Maksud lo, setan maen sama mobil, makanya mobil bergerak?" tanya Nurdin memastikan. "Masukinnya lewat mana?" tanya Nurdin sedikit bingung. "Mana gue tahu, gue gak pernah maenan sama mobil," jawab Imron lagi dengan polosnya. "Ya udah ayo, kita lihat!" Nurdin menarik tangan Imron untuk mengikutinya dan menunjukkan di mana mobil dan setan itu berada. Betapa kagetnya mereka, saat melihat sudah ada lima orang pengunjung pasien, dan dua orang petugas IGD mengelilingi mobil yang masih saja bergerak secara ajaib. "Ini ada orang di dalamnya, Pak," ucap salah seorang bapak berbadan tinggi tegap, pada Nurdin dan juga Imron. "Loh, ada orang ya? Saya kirain hantu yang goyangin mobil." Imron menggaruk kepalanya. "Berbuat m***m di parkiran rumah sakit. Duh, gak punya otak nih orang!" hardik salah satu petugas IGD. Nurdin dan Imron mendekat, lalu meletakkan pinggir tangannya, untuk memantau siapa yang ada di dalam mobil. Namun, karena kaca mobil tidak nampak dari luar, mereka akhirnya memutuskan untuk menggedor mobil Alex. Padahal lelaki itu hampir tenggelam di ujung sumur. "Eh, kok banyak orang?" Alex segera turun dari atas tubuh Susan, lalu dengan susah payah memakai baju dan celananya asal. Susan yang kelelahan karena hampir enam kali sampai Terminal Pulogadung, tetapi suaminya tak sampai juga, memilih pasrah. Ia tak bertenaga untuk memakai pakaian. "Pake baju kamu, San. Banyak orang di luar!" Alex menekan suaranya. Keringat membanjiri kening dan juga lehernya. Susan dan Alex di giring ke kantor keamanan rumah sakit, untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mesumnya di lobi parkir utama rumah sakit. Walau mereka mengaku suami istri, tetapi karena tidak bisa menunjukkan buku nikah, maka petugas keamanan menggiring kedua tersangka untuk dibawa ke kantor polisi. Sementara itu, Ica yang sudah kembali ke rumah tidak bisa tidur. Ia merindukan suaminya. Ke mana suaminya? Hingga sampai saat ini belum juga pulang ke rumah. Wanita itu menyibak gorden kamar, berharap ada suaminya di depan gerbang sana. Namun, yang ia lihat malah Kamal yang sedang latihan karate di halaman rumahnya. Ica tersenyum tipis, lalu kembali menutup gorden kamarnya. "Mereka berbeda sekali," gumamnya sambil melangkah keluar kamar. Ica lupa membawa seteko air ke dalam kamarnya sebelum tidur. Kondisinya yang boleh banyak bergerak, membuat Ica cukup kesulitan mengambil teko yang ada di lemari bagian atas kitchen set. Semua lampu sudah padam, dan suasana sangat sepi. Pasti Bu Rani sudah tidur. Sedangkan Kamal masih latihan di depan. Tak mungkin ia meminta Kamal membantunya untuk hal sepele seperti ini. Ica berjalan ke meja makan, untuk menarik kursi dan dibawanya ke arah lemari makan. Ia naik dengan pelan, tetapi dengan rasa takut. Dibukanya lemari itu, lalu sedikit berjinjit untuk mengambil teko air. Tiba-tiba saja pijakannya limbung dan ... Buugh "Aauu ...." "Duh, lu ngapain malam-malam ngoprek dapur? Untung gue tangkep, kalau nggak." Kamal memijat pelipisnya. Ica tergugu, karena masih syok dengan yang baru saja terjadi. Ia hampir saja jatuh duduk, jika tidak ada Kamal yang menangkap tubuhnya. Ada sedikit rasa berdebar di sana. Kenapa harus seperti di w*****d sih, adegannya? "Eh, mau ke mana, Mal?" Ica kebingungan saat Kamal menggendongnya ala bridal masuk ke dalam kamarnya. "Maaf ya, gue bukan lancang. Lu yang baru sembuh gini pecicilan banget. Gue dah gak mau tidur di rumah sakit lagi, Ca. Biar gue yang ambil air, lu di sini aja." Kamal meletakkan iparnya dengan sangat hati-hati di atas ranjang. Lalu ia bergegas keluar kamar, dengan kaki gemetar. Telapak tangannya naik ke d**a, meraba sesuatu yang berdetak kencang di sana. "Ya Allah, jangan sampai gue naksir ipar sendiri," gumam Kamal sambil melangkah ke dapur. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN