8. Antara Hidup dan Mati

982 Kata
Plak! "Alex, hentikan! Istrimu baru kehilangan bayinya, tetapi sudah Kau kasari lagi. Suami macam apa Kau?!" Kemarahan Bu Rani memuncak, saat melihat Ica kembali ditampar di ruang makan. Di depan mata kepalanya sendiri. Alex begitu kasar. Sangat mirip dengan almarhum suaminya. Persis, tak ada bedanya sama sekali. Untuk itu, ia tak sanggup lama untuk menjadi istri kedua;papa Alex. Braak! "Ya Allah, Ibu. Teh Ica!" Kamal datang tepat waktu. Mata lelaki itu terbelalak, saat mendapati Ica tengah duduk di lantai dengan pipi sangat merah. "Ada apa ini, Mas?" Kamal memandang Alex dengan tak suka. "Bukan urusanmu dan ibumu! Cepat kalian angkat kaki dari sini!" Alex menekan suaranya. "Jangan, Mas. Kalau gak ada ibu dan Kamal, saya sepi," ujar Ica dengan derai air mata. Tangannya memegang kuat celana panjang yang tengah dikenakan suaminya. Wanita itu memohon dengan iba, belas kasihan suaminya. "Oh, jadi kamu mau ikut mereka? Hm? Pergi sana, kalau kamu mau pergi! Tapi ingat, kamu takkan pernah mendapatkan surat cerai dari saya!" Alex menarik kakinya kasar dari tangan Ica. Hingga wanita itu kembali tersungkur. Lelaki dengan amarah menggunung di kepalanya, yang tadi melangkah masuk ke kamar, tak lama kemudian kembali lagi, dan menarik Ica begitu kasarnya untuk masuk ke dalam kamar. "Kalian jangan ada yang mengganggu! Ayo, sayang. Puaskan suamimu ini sebentar," ujar Alex dengan suara lantang. Brak! Ceklek Ceklek Kamal mangepalkan tangannya. Wajahnya memerah menahan amarah. Namun, ia bisa apa? Alex masih memegang tanggung jawab penuh pada Ica. Bu Rani terduduk lemas di kursi makan, kakinya bagai tak bertulang saat mendengar ucapan terakhir Alex pada istrinya. "Bukannya Ica masih nifas, Bu?" tanya Kamal pada ibunya yang masih saja berlinangan air mata. "Makanya gak boleh, Mal. Ya Allah, Alex kejam sekali," jawab Bu Rani sedih. Wanita itu mengumpulkan tenaganya untuk berjalan ke kamar belakang. Ia harus bersiap, karena telah diusir oleh Alex. "Ibu mau ke mana? Kita gak bisa tinggalkan Ica di sini, Bu. Nanti kalau dia celaka bagaimana?" tanya Kamal dengan perasaan begitu khawatir. Lelaki itu mengekori langkah ibunya, sambil menahan lengan wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu dengan cukup kuat. Namun, tenaga Bu Rani lebih kuat, ia menepis tangan Kamal, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Tangannya mengeluarkan tas jinjing yang ia bawa dari Tangerang. Lalu ia mulai memasukkan semua pakaiannya dan juga pakaian Kamal. "Bu, kita gak boleh pergi! Kasian Ica, Bu," rengek Kamal lagi. Lelaki itu malah kembali mengeluarkan pakaian dari dalam tas, lalu memasukkannya kembali ke dalam lemari. "Kita sudah diusir Kamal. Kita gak bisa tinggal di sini." "Tapi Ica, Bu ...." Bu Rani menutup mulut anaknya dengan kuat. Telinganya menangkap suara gaduh di dalam kamar Alex. "Cepat layani aku! Telingamu dengar tidak!" bentak Alex dengan begitu kasarnya. Tubuh sang istri dihempaskan di atas ranjang dengan begitu kuat. Mata Ica terbelalak, menahan sakit di luka bekas cesarnya. Untuk bernapas pun sepertinya ia tak mampu. Namun, suaminya telah telanjang bulat memaksanya melayaninya padahal dirinya tengah nifas. Ica menggeser tubuhnya mundur dengan wajah pucat menahan sakit. "Mas, tolong jangan!" wanita itu menggelengkan kepala dengan kuat. Namun apa daya, tenaga suaminya lebih kuat. Wajah, bibir, dan leher sudah dicecap Alex bagaikan orang kelaparan. Ica blingsatan, saat tubuh suaminya menekan perutnya. "Aaaaarrgggh ... sakiiiit! Toloooong!" ucapan itu hilang di tenggorokan. Pandangannya menggelap dan dia pun tak sadarkan diri. Alex yang kesal karena lagi-lagi istrinya pingsan. Malah nekat membuka kedua kaki istrinya. Perbuatan keji tak berprikemanusiaan ia lakukan pada tubuh lemas istrinya. Namun, seketika ia terlonjak kaget, saat darah mengucur deras dari perut Ica. Alex menepuk keningnya kuat. Ia baru sadar, saat teringat istrinya yang baru saja dicesar. Lekas Alex turun dari ranjang, lalu memakai semua pakaiannya dengan asal. Kakinya melangkah mondar-mandir di dalam kamar, sambil menggigit kuku ibu jarinya. Darah segar semakin banyak yang keluar, ia semakin panik. Hingga kakinya terasa begitu lemas. Kunci mobil, surat-surat berharga, dan juga beberapa helai pakaian, ia masukkan ke dalam ransel. "Maaf ya, Ca," ujarnya singkat tanpa rasa kasihan sama sekali. Kakinya melangkah lebar keluar dari kamar, langsung masuk ke dalam mobil. Kamal dan ibunya keluar dari kamar. Pintu kamar Ica tertutup rapat dan suara mobil Alex sudah menderu meninggalkan pekarangan rumah. Kamal berlari membuka pintu kamar, tetapi terkunci. "Ca, buka! Lu baik-baik aja'kan?!" Kamal berteriak memanggil Ica. "Dobrak aja, Mal. Firasat Ibu gak enak, cepat!" rengek Bu Rani dengan kaki dan tangan gemetar. Kamal mengangguk. Lalu memasang kuda-kuda untuk mendobrak pintu kamar. Brugh Belum berhasil. "Lebih kuat, Mal. Cepat!" rengek Bu Rani tak sabar. "Kamal baru makan roti sepotong, Bu. Jadi tenaganya gak ada," jawab Kamal sembari mencoba terua mendobrak. Brugh "Duh, Kamaaal! Dobrak pintu begitu aja gak bisa. Pantesan belum kawin," ujar Bu Rani gemas. Kamal memutar bola mata malasnya. Selalu saja dikaitkan dengan dirinya yang jomblo puluhan tahun ini. Brugh! Braak! Pintu terbuka lebar. Kamal dan Bu Rani berlari masuk dan mendapati Ica setengah telanjang. Cepat Kamal memalingkan wajahnya. "Ya Allah, Ica berdarah Mal!" pekik Bu Rani histeris. Kamal segera berbalik, dan melihat darah segar berada di atas kasur besar milik Ica. Ada juga celana dalam Ica dan suaminya yang tergeletak mengenaskan di lantai. "Bang**t!" maki Kamal sambil meninju angin. "Sudah, Mal. Marahnya nanti saja. Cepat kita bawa Ica ke rumah sakit!" Kamal mengangguk, lalu mendekat pada tubuh Ica yang sudah dirapikan pakaiannya oleh ibunya. Dengan hati-hati Kamal menggendong tubuh wanita tak sadarkan diri itu ke jalan raya. Bu Rani memberhentikan angkutan umum kosong yang kebetulan lewat di depan mereka. "Tolong mantu saya, Bang," mohon Bu Rani dengan gemetar, begitu angkutan itu berhenti. "A-ayo, Bu. Bawa masuk!" sopir angkutan mengangguk iba. Dengan sangat hati-hati, Kamal membawa masuk Ica ke dalam angkutan umum. Kepala wanita itu rebah di pangkuannya, sedangkan kaki Ica berada di pangkuan ibunya. Kamal tak sanggup menahan air mata yang turun dengan bebas membasahi kedua pipinya. Ia sangat kasihan pada wanita yang berjuang hidup dan mati di pangkuannya, karena suami b***t yang begitu tega menyiksanya. "Jika sesuatu terjadi padamu, aku akan habisi suamimu. Aku benar-benar dengan perkataanku, Ca!" Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN