Pagi harinya saat sarapan pagi, Marinela langsung menanyakan perihal soal selimut bayi yang ia oerlihatkan pada Pak dan Bu Septian. Saat mereka melihat selimut itu, mereka terkejut.
"Dari mana Nyonya dapatkan ini?"tanya Bu Septian.
"Aku menemukannya di loteng."
Mereka berdua saling pandang.
"Apa kalian tahu siapa bayi Danica?"
"Ah itu...."
Bu Septian tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi. Satu tahun yang lalu, Zachary datang ke villa ini untuk menyimpan semua perlengkapan bayinya yang telah hilang untuk disembunyikan di sini agar Marife tidak merasa sedih Danica telah hilang. Mereka memutuskan menyimpannya di loteng.
"Oh itu milik ponakan kami,"lanjut Pak Septian.
"Keponakan kalian?"
"Itu benar. Selimut itu sudah tidak terpakai lagi, jadi adikku memberikannya padaku untuk aku berikan pada orang lain, tapi sepertinya kami lupa,"jawab Bu Septian.
"Seingatku kalian tidak punya adik."
"Maksud kami adik sepupu jauh kami."
"Oh begitu."
Marife mengambil kembali selimut itu dari tangan Bu Septian. Selama sejenak ia memperhatikan selimut itu dan ia merasa mengenali selimut itu dan nama Danica tidak asing baginya, lalu ia memberikannya lagi pada mereka. Marife memakan sarapan paginya masih dengan perasaan aneh yang tidak bisa dijelaskan tentang selimut bayi itu.
Setelah sarapan pagi, Marife memutuskan untuk kembali pergi jalan-jalan berharap bisa kembali menenangkan pikiran dan perasaannya. Sebelum pergi, ia meminta izin pada Pak dan Bu Septian.
"Hati-hati di jalan! Dan jangan pulang terlalu sore,"kata Pak Septian.
"Aku akan cepat pulang. Aku pergi dulu ".
Marife tersenyum pada mereka. Hari demi hari berlalu tidak terasa sudah dua Minggu berlalu. Ia menikmati kesendiriannya tanpa ada seorang pun yang menganggunya. Jauh dari kebisingan kota dan kepenatan hidup. Di sini ia dapat bergerak bebas di alam dan dapat menenangkan hati dan pikirannya. Lambat laun alam sekarang sudah menjadi sahabatnya. Selama ada di sini, ia senang. Setidaknya ia bisa melupakan masalahnya walaupun hanya sejenak. Ia juga tidak dapat membohongi dirinya sendiri untuk tidak merindukan suaminya. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali bertemu dengannya, ingin melihat wajahnya, suaranya, dan kehangatan pelukannya yang sudah tidak ia rasakan selama dua hari ini. Biasanya ia dan Zachary selalu bersama-sama Ia berjalan menyusuri sungai ditemani oleh semilir angin yang menyejukkan dan duduk di pinggir sungai sambil memperhatikan ikan-ikan yang berenang dengan lincah.
Di kejauhan terlihat orang-orang yang sedang memancing dan suara tertawa anak yang sedang bermain. Marife merasa senang tinggal di sini. Ia ingin sekali tinggal di sini untuk selamanya dan tidak ingin kembali ke Jakarta, karena di sana ada Zachary. Ia tidak tahu apakah dirinya akan sanggup melupakan Zachary, jika di sana ia harus bertemu dengannya setiap waktu, tapi di sisi lain ia ingin sekali bertemu dengannya dan ternyata tidak sanggup membuang pria itu dari kehidupannya seberapa pun ia berusaha keras untuk melupakannya ternyata Zachary selalu memenuhi pikiran dan hatinya.
Marife juga merasa setiap hari jadi semakin mencintainya. Rasa rindunya yang selama ini ia tahan telah mencapai batasnya. Ia sudah tidak tahan ingin bertemu dengan kekasihnya meskipun Ia belum bisa memaafkannya. Selain itu ia harus melakukan syuting iklan besok. Sebenarnya ia malas untuk kembali kalau tidak ada jadwal syuting menantinya. Ia juga tidak ingin terus-terusan melarikan diri dan selalu menghindari pria itu.
Di villa, Bu Septian berinisiatif menghubungi Zachary tentang penemuan selimut bayi. Zachary yang sedang ada di kantornya terkejut dengan suara ponselnya.
"Ada apa?"
"Nyonya Marife menemukan selimut bayi Danica."
"Lalu apa reaksinya?"
"Ia merasa heran dan bingung dan kami mengarang cerita kalau selimut bayi itu milik keponakan kami."
"Bagus. Apa Marife percaya dengan perkataan kalian?"
"Saya tidak tahu, tapi sepertinya Nyonya percaya."
"Baiklah jangan dia sampai tahu."
"Baiklah."
Bu Septian menutup telepon dan menghela napas panjang bertepatan dengan kedatangan Marife.
"Cepat sekali pulangnya?"tanya Bu Septian.
"Aku memutuskan untuk kembali dan menyelesaikan masalahku dan aku akan kembali lagi ke sini."
Marife masuk kamar dan langsung membereskan barang-barangnya bersiap-siap untuk pulang nanti siang. Ponselnya kemudian dinyalakan kembali setelah dua Minggu dimatikan. Banyak pesan masuk yang diterimanya terutama dari Susan dan Lucia. Ia membacanya satu persatu pesannya. Ia terlebih dahulu membaca pesan dari Lucia.
Marife, kamu di mana sekarang?
Cepat hubungi aku!
Marife, aku ingin bertemu denganmu, tolong hubungi aku secepat mungkin!
Pesan terakhir dari Susan.
Marife, aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu.
Marife keluar dari kamar dan mencari Pak Septian untuk membantunya membawa koper dari kamarnya. Tidak sengaja tubuhnya menyenggol tumpukan koran dan majalah di atas meja makan yang letaknya dipinggir meja. Cepat-cepat dibereskannya dan tanpa sengaja di koran melihat dengan seorang wanita cantik. Seketika wajahnya berubah pucat. Dengan tangan gemetar membuka koran itu dan membacanya. Berita itu menyebutkan kalau sekarang Zachary sedang dekat dengan seorang wanita cantik bernama Yessika yang berprofesi sebagai wartawan sebuah majalah terkenal. Hatinya berdenyut dengan sakit melihat kekasihnya bersama dengan seorang wanita selain dirinya.
"Zachary, kenapa kamu lakukan ini padaku? Apa kamu ingin membalas perbuatanku walaupun aku tidak pernah mengkhianatimu. Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Aku tidak akan mempedulikannya lagi,"katanya kesal.
Marife berdiri menghapus air matanya yang sudah membasahi seluruh wajahnya dan juga membasahi koran yang sedang dipegangnya.
Sementara itu Pak Septian terlihat sedang berjalan sambil membawa bunga segar. Ia bersenandung ceria. Tiba-tiba matanya menangkap Marife sedang menangis sesegukan di depan koran. Ia dengan perasaan khawatir mendekati Marife dan ia terkejut melihat Marife telah membaca koran itu. Pak Septian lupa menyembunyikan koran itu.
"Sudah jangan menangis lagi."
Pak Septian berusaha menenangkannya. Marife menghapus air matanya.
"Maaf sudah membuat cemas. Sekarang aku tidak apa-apa."
Marife berusaha untuk tersenyum meskipun hatinya tidak bisa ikut tersenyum.
"Sebaiknya Nyonya segera makan siang."
Marife menganggukkan kepalanya. Ia menikmati makan siangnya dan makanannya terasa sangat enak walaupun hatinya kini sedang resah dan sedih, tapi tidak mengurangi nafsu makannya yang besar.
Pak dan Bu septian membawa koper dan tas ransel dari atas. Waktu Marife datang, ia tidak membawa koper dan tas ransel. Ia pulang membawa koper kecil yang isinya bukan baju, tapi oleh-oleh untuk Ayah mertua dan teman-temannya. Isi tas ransel pun sama dipenuhi oleh makanan dan beberapa sayuran hasil dari kebun.
Setelah selesai makan, Marife membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan mencucinya. Pak Septian memanggilkan taxi untuk mengantar Marife ke stasiun kereta api. Marife berpamitan pada mereka.
"Jaga diri Nyonya baik-baik!"
"Kalian juga."
Marife masuk ke dalam taxi.
***
Lucia sekali lagi melihat berita tentang atasannya dan membuat dirinya kesal. Ia sangat tidak setuju atas sikap dan perilaku Zachary saat ini, kemudian ingatannya berputar ke masa lalu saat tragedi itu terjadi. Ia tidak ingin kejadian itu terulang kembali karena Yessika ada kemungkinan sama dengan Marcelina. Lucia telah kembali ke kantor dengan wajah kesal dan langsung masuk ke kantor tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Zachary menatap galak Lucia dan Lucia sudah tidak peduli lagi dengan kemarahan pria itu. Ia juga tidak peduli kalau seandainya Zachary akan memecatnya.
"Bisakah Anda berhenti bermain-main?"
"Apa maksudmu?"
"Berhenti mengencani Yessika."
"Apa kamu cemburu?"
"Pak Zachary," serunya kesal.
"Aku Cuma bercanda. Itu bukan urusanmu dan itu juga terserah aku mau kencan dengan siapa?"
"Anda melakukan ini karena Anda merasa sakit hati, karena Marife mengkhianatimu. Tapi sebenarnya Anda masih mencintainya bukan?"
"Sudah cukup Lucia jangan campuri urusan pribadiku lagi. Urusi saja dirimu sendiri. Sekarang keluarlah!"teriaknya.
Zachary kembali memeriksa dokumennya lagi.
"Sebaiknya Anda segera hentikan saja permainan Anda ini, karena pada akhirnya Andalah yang akan tersakiti dan tentu saja Marife juga. Sebelum Masalah ini bertambah kacau Anda harus segera menghentikannya dan saya tidak ingin masa lalu terulang lagi."
Zachary nampak pucat mengingat masa lalunya dengan Marcelina Masa lalu yang ingin ia lupakan untuk selamanya dan masa lalu itu kembali hadir setelah sekian lama ditutup rapat.
"Yang dikatakan oleh Lucia benar,"kata seseorang dari arah pintu.
Mereka berdua terkejut.
"Ayah."
"Pak Edward."
"Lucia aku suka tadi kamu memarahi putraku yang nakal ini."
Lucia nampak malu-malu.
"Apa yang Ayah lakukan di sini?"
"Untuk memarahimu."
"Hah?"
"Kelakukanmu akhir-akhir ini sudah membuat Ayah kesal. Kamu belum resmi bercerai dari Marife, tapi kamu sudah berani kencan dengan wanita lain dan sampai masuk media massa."
"Bukankah Marife juga melakukan hal yang sama?"
"Jadi kamu iri padanya karena Marife bisa berselingkuh? Kamu bukan anak kecil lagi, Zachary. Marife belum tentu berselingkuh darimu."
"Ayah masih saja tidak percaya."
"Kalian belum pernah bicara dari hati ke hati sejak kalian bertengkar. Jadi Ayah harap kalian nanti bicara setelah Marife kembali."
"Itu percuma saja, karena aku sudah mengajukan gugatan cerai padanya."
"Apa?!"seru Edward dan Lucia bersamaan.
"Ini sudah keputusanku."
"Kamu benar-benar keras kepala. Kamu jangan menyesali keputusanmu suatu hari nanti. Sekarang terserah padamu saja."
Lucia dan Edward keluar ruangan. Lucia kembali ke belakang meja kerjanya.
"Tadi aku sangat suka kamu memarahinya."
Lucia tersenyum lebar.
"Anak keras kepala itu biarkan saja nanti juga dia merengek-rengek menyesali keputusannya."
"Aku rasa begitu."
Lucia menghela napas panjang setelah Edward pergi Ia sendiri tidak tahu dari mana dia mendapatkan keberanian memarahi atasannya seperti tadi. Ia mengipasi dirinya dengan tangannya.
***
Marife telah sampai ke rumahnya ketika hari sudah sore. Susan sangat senang Marife telah kembali. Ia langsung memeluk Marife.
"Aku sangat merindukanmu."
"Aku juga."
Susan menatap Marife. "Bagaimana di sana? Apa perasaanmu sudah menjadi lebih baik?"
"Di sana semuanya baik dan selama aku di sana sudah membuat perasaanku menjadi tenang."
"Itu bagus."
"Bagaimana keadaan di sini setelah aku tinggal selama dua Minggu?"
"Semuanya baik-baik saja hanya saja Pak Zachary tidak pernah pulang ke sini sejak kalian bertengkar."
Marife nampak muram. "Tidak apa-apa. Sepertinya pernikahan kami tidak bisa diselamatkan lagi."
"Jangan bicara seperti itu! Masih ada waktu dan kesempatan."
"Entahlah aku tidak yakin dengan hal itu."
"Percayalah! Semuanya akan baik-baik saja nanti."
"Aku ingin masalah ini cepat selesai."
"Sebaiknya kamu pergi ke kamar dan beristirahat. Pasti kamu masih lelah."
Marife mengangguk. Ia berdiri dan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Aku akan menyiapkan makan malam untukmu."
"Terima kasih."
Susan kembali ke dapur.
***
Hampir tengah malam, Zachary pulang ke rumah. Suasana rumah sudah gelap dan sepi yang terdengar hanya suara jarum jam dinding. Dikejauhan Edward melihat kedatangan Zachary dengan tatapan sedih. Zachary duduk di pinggir tempat tidurnya sambil memandangi foto Marife dan mengelusnya dengan tatapan pilu.
"Kamu tahu betapa aku sangat merindukanmu. Setiap hari rasa rinduku padamu semakin bertambah sampai-sampai dadaku terasa sesak."
Raut wajahnya kembali berubah menjadi marah ketika teringat Marife bersama pria lain. Kedua tangannya terkepal dengan kuat. Sejak Marife meninggalkannya, ia mulai merasakan kesepian dan kekosongan hatinya. Hidupnya setiap hari terasa semakin hampa dan untuk menghilangkan rasa sepinya ia mengencani Yessika hanya sekedar mengisi kesepiannya dan juga melupakan cintanya pada Marife.
Zachary masih saja memandangi foto wanita yang dicintainya dan tetesan air matanya sudah mulai membasahi figura foto itu.
"Marife, aku masih belum bisa memaafkanmu. Kamu sudah melukai perasaanku begitu dalam. Aku akan memulai kehidupanku yang baru dan aku sudah mengambil suatu keputusan. Kuharap kamu bahagia dengan pria itu."
Untuk terakhir kalinya Zachary mencium foto itu dengan mesra dan memasukkan segala benda yang menyimpan kenangannya dengan Marife termasuk fotonya ke dalam kardus dan menutupnya rapat-rapat.
"Selamat tinggal Marife!"
Di kamar, Edward sedang memandangi jendela kamarnya.
"Pak Rian apa menurutmu ia sudah menyerah?"
"Kalau itu saya tidak tahu, tapi kemungkinan besar bisa saja Tuan muda sudah menyerah."
Edward merasa kecewa, jika Zachary harus menyerah begitu saja. Ia tidak ingin cinta anaknya pada Marife berakhir begitu saja.