17. Pembicaraan di Cafe

1955 Kata
Marissa ada di depan gedung perusahaan Adhipramana dengan menggunakan wig dan kacamata hitam. Di sana terlihat banyak sekali orang terutama para wartawan. Sesaat ia merasa ragu-ragu untuk masuk lewat pintu utama. Dengan berbagai macam pertimbangan dia akhirnya masuk lewat pintu belakang. Ia masu dengan cara mengendap-ngendap seperti seorang pencuri. Setiap kali terdengar suara, ia akan segera bersembunyi. Ia menutupi sebagian wajah dengan rambutnya. Jantungnya berdebar-debar takut ada orang yang mengenalinya. Sebenarnya ia tidak tahu di mana kantor Zachary berada. Ia terus berputar-putar mencarinya selama beberapa menit sampai akhirnya ia bertemu dengan petugas kebersihan dan bertanya di mana kantor Zachary. Ia kemudian memasuki lobi yang dipenuhi oleh wartawan dan hanya memperhatikannya di balik tanaman hias yang cukup tinggi. Marissa memberanikan diri keluar dari tempat persembunyiannya dengan berjalan menunduk dan dengan langkah cepat. Ia menekan tombol lift dan tidak perlu waktu menunggu lama pintu lift terbuka. Ia mendesah lega ketika telah memasuki lift. Berkali-kali dia mengelus-elus dadanya. Lift terbuka. Marissa menyembulkan kepalanya dari dalam lift melihat kiri kanan. Setelah menurutnya aman, perlahan-lahan ia keluar dan berjalan dengan mengendap-endap. Suasananya sangat sepi tidak terlihat seorang pun, tapi ia tetap waspada. Akhirnya ia menemukan di depan pintu kantornya berada. Di depan pintu terdapat papan nama. Direktur Zachary Adhipramana. Ia mengetuk pintu dan tidak ada jawaban. Ia memberanikan diri membuka pintu. "Apa ada orang?" Dilihatnya ke sekeliling suasananya sangat sepi. Meja sekretaris pun kosong. Di depan terlihat sebuah pintu lagi dan ia mengetuknya lagi, tetapi tidak ada jawaban. Perlahan-lahan ia membukanya. "Permisi!" Ternyata di dalam pun tidak ada orang. Marissa terlihat kecewa. Di sana dia melihat-lihat sebentar dan matanya tertuju pada foto yang terpajang di atas meja. Selama beberapa detik dia terus memperhatikan foto itu. "Wanita ini memang sangat mirip denganku. Pantas saja jika mereka salah paham,"gumamnya. Disimpannya kembali foto itu. Di wajahnya masih terlihat kebingungan . Berbagai pertanyaannya belum ada yang terjawab satu pun. Maya berjalan-jalan di kantor Zachary sambil melihat ke sekeliling kantor itu. "Kantor yang sangat bagus dan juga mewah." Marissa terkejut ketika melihat jam dinding. "Bagaimana ini aku sudah hampir terlambat pergi ke pameran sebentar lagi jam istirahat ajan segera berakhir, tapi aku belum bertemu dengan Zachary. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi dan akan kembali lagi untuk menemui Zachary di lain waktu Ia segera keluar dari kantor. Pintu lift terbuka dan ia masuk. Ketika pintu lift terbuka ia segera. Di lobi, Marissa berjalan sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang menatapnya curiga, tapi ia langsung melesat pergi. Perasaannya menjadi lega. Ia berjalan dengan cepat sehingga menimbulkan bunyi suara sepatu di lorong gedung yang sepi. "Hei tunggu!." Marissa terus saja berjalan sampai seseorang menyentuh bahunya. Ia sangat terkejut. Seketika ia berhenti berjalan. Jantungnya berdetak semakin keras. Kedua kakinya gemetar. "Siapa yang telah mengenaliku?"katanya dalam hati. Perlahan-lahan Marissa menoleh ke belakang. "Siapa wanita yang ada di depanku sekarang?" **** Zachary dengan wajah sendu menikmati makan siangnya bersama Alba, temannya. Alba memperhatikan sahabatnya sejak dari tadi hanya mengaduk-aduk makanan saja tanpa satu sendok pun masuk ke mulutnya. Alba tahu saat ini Zachary sedang benar-benar patah hati dan dia merasa iba apa yang telah terjadi pada sahabatnya. "Sebaiknya kamu makan kalau tidak ingin sakit. Kamu masih memikirkan Marife? Lupakan saja dia. Mungkin dia memang tidak pernah mencintaimu. Dia lebih memilih pria asing itu dari pada kamu. Sebenarnya aku juga merasa kesal dengannya yang sudah mengkhianati ketulusan cintamu kepadanya." Zachary mendongakkan kepalanya, menatap Alba, lalu kembali mengaduk-aduk makanannya lagi. "Seandainya aku bisa melupakan dia dengan mudah sudah aku lakukan sejak dulu, tapi Marife sudah terlanjur tertanam di hatiku dengan sangat kuat sehingga aku tidak mudah melupakannya." Alba mengeluarkan rokoknya dari dalam saku jasnya dan menyulutnya. Asap rokok yang tebal segera menyelimuti mereka berdua. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Alba menghisap rokoknya dalam-dalam. "Aku belum memikirkannya. Sepertinya hidupku tidak akan sama seperti dulu ketika aku masih bersama dengan Marife." "Kamu memang sangat mencintainya." "Aku memang sangat mencintainya. Hidupku sudah tidak berarti lagi tanpa dirinya. Hatiku masih sakit melihat pengkhianatan istriku." Sebenarnya ia tidak hanya memikirkan Marife, tapi juga perkataan seorang pelayan wanita dari keluarga Marcelina kemarin malam. Ketika itu ia hendak masuk ke dalam mobilnya. Pelayan itu memberitahunya sesuatu bahwa Marcelina pernah kabur dari rumah sakit jiwa. "Benarkah?" "Iya Tuan. Tidak hanya itu saja, Nona marcelina di tubuhnya banyak darah dan dia juga membawa seorang bayi,"bisiknya. Tubuh Zachary menegang. "Apa?!"serunya terkejut. "Saya tidak tahu bayi siapa itu dan dikemanakan bayi itu." "Kenapa kamu memberitahuku hal ini?" "Karena Anda harus tahu. Anda adalah mantan calon suaminya. Saya lihat Anda kembali bersama." "Kami tidak kembali bersama. Terima kasih sudah memberitahuku." Pelayan wanita itu mengangguk. Zachary menegak segelas wine. Ia merasa Marcelina ada hubungannya dengan peristiwa percobaan pembunuhan terhadap dirinya dan Marife. Mungkin juga Marcelina sudah membawa putrinya, tapi ia tidak punya bukti dan setelah dipikir berkali-kali rasanya tidak mungkin Marcelina melakukannya, jika seandainya itu benar mungkin dia melakukannya, karena jiwanya terganggu. Ia melihat jam tangannya. "Aku harus kembali ke kantor. Terima kasih sudah mau menemaniku makan siang. Maaf sudah merepotkanmu untuk datang ke sini" Mereka berdua berdiri dan Alba menepuk bahu Zachary. "Sampai jumpa!" "Sampai jumpa!" *** Marissa berdiri terpaku di tempat tidak bergerak sama sekali. Jantungnya berdebar semakin cepat dan merasakan tangannya mulai dingin. Wanita itu tersenyum ramah dan berjalan mendekatinya.Ia sama sekali tidak mengenal wanita itu. Ia nampak gugup, akhirnya tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Siapa kamu?" "A-aku...." Wanita itu terus menatap Marissa. "Marife?" Marissa tidak bisa berkata apa pun ia pasrah ketahuan. "Jadi itu kamu? Senang bisa bertemu denganmu lagi.Tadi aku hampir tidak mengenalimu. Bagaimana kabarmu?" "Ba-baik.Terima kasih." Wanita itu menatap Marissa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia semakin gugup ketika wanita itu terus memperhatikannya. "Aku yakin wanita ini salah satu kenalan wanita yang mirip denganku. Kenapa aku harus memiliki wajah yang sama dengannya? Ini membuatku banyak masalah saja dan rupanya dia memiliki nama panggilan Marife,"pikirnya. "Kenapa kamu memakai wig dan kacamata hitam?" "Oh ini aku takut ada yang mengenaliku. Para wartawan banyak sekali di depan." "Oh ya ya. Aku mengerti." "Sebaiknya aku pulang saja." "Kamu ke sini untuk bertemu dengan Pak Zachary, kan?" "I-iya." "Pak Zachary sedang makan siang sebentar lagi kembali." "Sebaiknya aku bertemu dengannya di rumah saja. "Aku harus segera pulang." Marissa mengatakan itu dengan wajah panik. "Permisi!" Marissa langsung pergi dengan langkah yang sangat cepat. "Tunggu!" Wanita itu terus mengejarnya. "Aduh, kenapa dia terus mengikutiku. Maunya dia apa?" Marissa terus saja berlari. Di depan, ia melihat sebuah ruangan terbuka dan tanpa pikir panjang ia masuk untuk bersembunyi. Wanita itu terus memanggil-manggil namanya. Marissa melihat ke sekeliling ruangan ternyata ruangan ini adalah ruangan alat-alat kebersihan. Ia mengintip di balik pintu. Wanita itu berhenti dan mencari-carinya. Tiba-tiba saja ponsel wanita itu berbunyi. "Baik aku akan segera ke sana,"katanya. Marissa mendesah lega, keluar dari tempat persembunyiannya dan perlahan-lahan ia membuka pintu. Kepalanya menyembul keluar untuk memastikan wanita itu sudah tidak ada. Dengan langkah cepat ia segera berlari meninggalkan perusahaan dan melepas wig dan kaca mata hitamnya. *** Zachary mengemudikan mobil dengan wajah muram. Saat ini pikirannya tidak pernah lepas pada Marife. Rasa rindunya pada gadis itu membuatnya sakit dan juga telah membuatnya gila, meskipun ia tahu Marife sudah tidak mencintainya lagi. Zachary terus melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi berusaha untuk membuang Marife dalam pikiran dan juga hatinya. Ia membelokkan jalannya ke sebuah jalan kecil untuk cepat sampai ke kantornya.Tiba-tiba... Zachary melakukan rem mendadak dan ia sangat terkejut ketika seorang gadis tiba-tiba menyebrang. Dilihatnya gadis itu menutupi wajahnya. Perlahan-lahan gadis itu melepaskan kedua tangan dari wajahnya. "Marife,"seru Zachary terkejut. Zachary langsung keluar dari mobilnya. "Marife, kamu tidak apa-apa?"tanyanya cemas. "Siapa dia? Kenapa dia kenal padaku? Pasti pria ini salah satu kenalan wanita itu lagi. Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya aku cepat pergi dari sini,"katanya dalam hati. "Aku tidak apa-apa. Permisi Tuan!" Marife langsung pergi. Zachary masih berdiri di tempat dengan wajah bingung bercampur heran. "Tadi Marife memanggilku Tuan. Apa aku tidak salah dengar? Dan dia juga bersikap sangat sopan padaku. Sebenarnya apa yang telah terjadi padanya?" Zachary kemudian tersadar dari keterkejutannya dan langsung mengejar Marissa, tapi Marissa sudah menghilang dengan cepat. "Larinya cepat sekali." Zachary kembali ke mobilnya dengan perasaan kecewa. Marissa berhenti berlari dan napasnya tersengal-sengal. Ia berusaha untuk mengatur nafasnya kembali. Ia mengambil napas panjang berkali-kali. "Ternyata banyak juga yang mengenal Marife. Tentu saja, karena dia seorang aktris terkenal. Kenapa aku bisa memiliki wajah yang sama dengannya?"keluhnya. Marissa melewati sebuah taman bermain dan memutuskan untuk duduk dan beristirahat sebentar di sana. Seharusnya ia tidak pernah datang ke perusahaan itu menemui Zachary untuk menjelaskan kesalahpahaman. Dilihatnya jam tangan "Aku harus segera pergi ke pameran. Marissa segera bergegas pergi." *** Zachary kembali ke kantor dengan wajah muram. Pertemuannya dengan Marife di jalan tidak pernah ia kira. Setelah dua hari tidak melihatnya akhirnya bertemu lagi ,meskipun di tempat dan pada waktu yang tidak tepat, tapi setidaknya dia dapat kembali melihatnya. Rasa rindunya sedikit terobati, walaupun dia ingin sekali menariknya dalam pelukannya dan mendekapnya dengan erat. Ia akan bertemu lagi dengannya di rumah. Lucia masuk dengan membawa sebuah map berwarna kuning dan menyimpannya di atas meja. Dilihatnya Zachary sedang bersandar di kursi setengah melamun memikirkan pertemuannya dengan Marife. Kejadian di jalan tadi terulang-ulang di pikirannya seperti sebuah film. Ekspresi wajahnya terlihat bingung. "Apa telah terjadi masalah?" "Tidak ada. Hanya saja tadi aku bertemu dengan Marife dan dia terlihat aneh. Seperti tidak mengenaliku." "Tidak mengenali Anda? Itu memang aneh.Tadi dia datang ke sini." Zachary langsung duduk tegak. "Benarkah?" "Dia datang mengenakan wig dan kaca mata hitam. Dia berjalan-jalan di sini seperti mengendap-endap dan terlihat mencurigakan, lalu aku memanggilnya dan ternyata wanita itu adalah Marife." "Hari ini Marife sudah bertindak aneh." "Benar. Kemarin sore, saya melihat Anda di sebuah cafe bersama Marcelina." "Itu benar. Marcelina telah keluar dari rumah sakit jiwa. Sepertinya dia sudah sembuh dan dia menjadi lebih baik. Dia datang ke sini untuk menemuiku dan meminta maaf, jadi sekalian aku mengajaknya ke cafe untuk makan malam." "Apa Anda memaafkannya?" "Aku memaafkannya. Sepertinya dia juga menyesali perbuatannya. Aku ingin memberikan kesempatan sekali lagi kepadanya untuk menjadi pribadi yang baik." "Apa Anda yakin dia sudah benar-benar berubah?" "Iya. Sepertinya kamu tidak percaya dia sudah berubah?" "Entahlah. Semoga saja dia sudah berubah tidak jahat lagi. Kalau Anda sudah tidak membutuhkan saya, saya akan pergi. Permisi!" Lucia menutup pintu dan duduk kembali di mejanya. Perkataan Zachary kembali terngiang dalam kepalanya. ’’Seperti tidak mengenaliku." Itu memang aneh. Kenapa bisa seperti itu?" *** Zachary memutuskan pulang ke rumah orang tuanya ketika semua orang sudah terlelap tidur. Ia masuk ke kamarnya. Edward secara diam-diam memperhatikannya dan hanya menatapnya dengan wajah kasihan. Setelah mandi dan berpakaian lengkap, Zachary berbaring di tempat tidur. Bayangan wajah Marife kembali terbayang di langit-langit kamarnya. tadinya ia akan pulang ke rumahnya bersama Marife, tapi ia memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya. Ia harus belajar untuk bisa melupakan Marife dan hidup tanpanya. Ditempat lain Marife sedang berada di gudang penyimpan di loteng villa, karena ia tidak bisa tidur dan memutuskan untuk beres-beres di sana. Selama beres-beres, ia menemukan barang-barang lamanya saat ia masih kecil. Ia juga menemukan beberapa foto bersama orang tuanya. Ia mengambil foto itu untuk dibersihkan dari debu. Di sudut loteng ada tumpukan kardus dan ia mengambilnya dan membereskannya. Di dalamnya banyak barang-barang yang tak berguna. Di kardus terakhir ia menemukan selimut dan pakaian bayi. Marife tersenyum. Ia berpikir itu pakaiannya sewaktu masih bayi. Saat ia melipat selimut bayi ada tulisan Danica. "Siapa Danica?"gumamnya. Setahu Marife di keluarganya tidak ada yang bernama Danica. Ia mengambil selimut bayi dan foto yang ia temukan dan akan menanyakannya pada pengurus villa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN