Keesokan paginya berita tentang perceraian Zachary dan Marife menghiasi halaman utama majalah Star di mana Yessika bekerja. Berita itu tentu saja menjadi bahan gosip utama pagi itu. Hampir semua pegawai perusahaan Adhipramana membicarakan hal itu. Mereka terkejut dan sangat menyayangkan perceraian itu. Menurut mereka, Marife dan Zachary adalah pasangan yang sangat serasi.
Sebagian dari mereka tidak mempercayai berita itu, karena Marife tidak mungkin berselingkuh. Tidak butuh waktu para wartawan mulai berdatangan dan para petugas keamanan berusaha mencegah wartawan masuk. Lucia yang baru saja terkejut melihat kerumuman para wartawan di pintu depan.
Lucia segera pergi ke ruangannya di lantai paling atas. Sesampainya di sana ia terkejut melihat Zachary yang sudah datang lebih awal.
"Pagi Lucia!"
"Pa-pagi! Sa-saya kira Anda belum datang."
"Aku datang lebih pagi, karena aku tidak ingin dikejar-kejar wartawan."
"Aku mengerti."
Lucia berbalik pergi , lalu kembali lagi membawa secangkir kopi untuk Zachary. Di depan gedung perusahaan para wartawan pun sudah berkumpul di lobi untuk mencari kesempatan mewawancari Zachary, seorang direktur yang terkenal gila kerja dan dingin. Ia terus mengurung dirinya di kantor dan menenggelamkan dirinya dengan banyak pekerjaan. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengadakan wawancara dengan siapa pun. Lucia dan beberapa pegawai lainnya pun ikut disibukkan. Pekerjaan mereka menjadi dua kali lipat dari biasanya.
Beberapa pegawai banyak yang mengeluh. Mereka berharap bosnya segera berbaikan dengan Marife sehingga mereka tidak harus bekerja rodi.
***
Para wartawan akhirnya menemukan kediaman Ferdian dan berhasil mewancarainya. Ia membenarkan atas pernyataan wartawan kalau wanita yang bersamanya adalah Marissa, kekasihnya, kemudian salah satu wartawan memperlihatkan koran itu padanya. Ferdian sangat terkejut. Ia sama sekali belum melihat atau pun membacanya. Ia juga merasa aneh kenapa ada seseorang yang memfoto acara kencan mereka dan memasangnya di surat kabar dan kenapa juga para wartawan ingin tahu kehidupan pribadi mereka wartawan sangat senang karena berita yang mereka. Ia menyadari ada salah penulisan nama kekasihnya di sana, tapi ia diam saja, karena masih merasa bingung apa yang sudah terjadi. Apa lagi berita itu mengatakan kalau Marissa telah berselingkuh.
"Kapan kalian mulai berhubungan?"tanya salah satu wartawan itu?"
"Sejak satu tahun yang lalu."
Mereka terkejut dan mulai berbisik-bisik.
"Itu sudah lama sekali, tapi kalian hebat pintar menyembunyikan hubungan kalian."
Ferdian mengerutkan dahinya menjadi semakin bingung. "Kami tidak pernah menyembunyikan hubungan kami."
Mereka kembali berbisik-bisik.
"Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kalian begitu peduli pada hubungan kami?"
"Karena Marissa adalah seorang aktris terkenal dan Anda adalah kekasih gelapnya."
"Apa?!"serunya terkejut.
"Apa Anda sudah tahu kalau kekasih Anda itu sudah menikah dengan Pak Zachary?"
Ferdian menjadi semakin terkejut.
"Marissa sudah menikah?"
"Iya."
Perasaan Ferdian menjadi campur aduk. Ia tidak tahu harus mempercayai siapa, tapi Marissa sudah tiba di Indonesia satu Minggu yang lalu dan aku menyusulnya satu Minggu kemudian. Tidak mungkin Marissa tiba-tiba menikah dalam waktu singkat kecuali dia sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.
"Sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Marissa buka aktris, tapi seorang desainer pakaian."
Para wartawan itu terkejut.
"Mungkin Marissa sudah berbohong pada Anda tentang pekerjaannya."
"Dia tidak bohong. Itu benar. Aku sering pergi ke tempat pekerjaannya."
Mereka berbisik-bisik lagi. "Apa mungkin Marissa menjalankan kehidupan ganda?"
"Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Sebaiknya kalian pergi dari sini."
Ferdian menutup pintu rumahnya. Setelah wartawan itu pergi ia langsung menuju apartemen Marissa untuk meminta penjelasan dari kekasihnya.
***
Marissa yang sedang menonton TV dikejutkan bunyi bel berkali-kali. "Siapa sih orang yang sudah memencet bel berkali-kali."
Ia berdiri dengan wajah kesal. "Iya aku datang.Tunggu sebentar."
Marissa terkejut dengan kedatangan Ferdian yang tiba-tiba.
"Ferdian."
Pria itu terlihat muram tidak seperti biasanya. "Masuklah!"
Pintu kaca di lobi apartemen terbuka, Ferdian masuk dan naik lift. Sesampainya tiba di pintu apartemen, Marissa membukakan pintu.
"Apa itu benar?"katanya tiba-tiba.
Marissa terlihat tidak mengerti atas pertanyaan kekasihnya.
"Maksudmu apa?"
"Selama kamu tinggal disini, apakah kamu menjalin hubungan khusus dengan orang yang bernama Zachary?"
Marissa mulai mengerti arah pembicaraan kekasihnya.
"Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya. Kenal juga tidak."
"Apa kamu tidak bohong kan?"
"Aku tidak bohong. Katakan siapa yang sudah mengatakan aku punya hubungan khusus dengan orang yang bernama Zachary?"
"Wartawan."
"Hah? Wartawan jadi mereka mencarimu, karena masalah foto kita yang beredar dikoran hari ini. Mereka bilang apa padamu?"
"Mereka bilang kamu adalah istri Zachary dan aku adalah kekasih gelapmu?"
Marissa membelalakan matanya.
"Menikah yaang benar saja. Dengarkan aku! Kamu harus percaya padaku kalau aku tidak ada hubungan apa-apa dengan orang yang bernama Zachary. Aku tidak tahu kenapa kita berdua jadi bahan gosip seperti ini. Padahal kita datang ke sini baru dua Minggu."
"Itu yang membuatku aneh. Aku datang ke sini lun menengok nenek yang sedang sakit dan anehnya lagi kenapa mereka menyebutmu Marissa Fernanda bukan Marissa Jose."
"Pasti wanita ini wajahnya mirip denganku sehingga mereka salah paham."
"Apa kamu punya saudara kembar?"
"Kamu kan tahu saudara kembarku sudah meninggal satu tahun yang lalu."
"Kamu benar atau jangan-jangan kamu punya tiga saudara kembar?"
"Itu tidak mungkin. Orang tuaku hanya melahirkan dua bayi kembar."
"Tapi kenapa wanita itu bisa mirip denganmu?"
"Mungkin itu hanya suatu kebetulan saja."
Mereka berdua saling pandang.
"Satu-satunya cara adalah menemui wanita itu."
"Di mana kita akan mencarinya? Oh ya aku ingat wartawan itu mengatakan padaku kalau wanita itu seorang aktris. Mungkin dia punya sosial media."
"Kamu benar."
Marissa mengeluarkan ponselnya dan membuka salah satu sosial media miliknya. Ia mencari nama Marissa Fernanda dan ia menemukan banyak foto-fotonya. Mereka berdua sangat terkejut kalau Marissa Fernanda sangat mirip dengan Marissa Jose.
"Ini tidak mungkin. Bagaimana ia begitu mirip denganku seolah dia adalah saudara kembarku."
"Tanya saja pada Bibi Rini mungkin tahu, karena sudah kerja pada keluargamu selama puluhan tahun."
Marissa langsung memanggil bibi Rini dan wanita itu mendatangi Marissa.
"Ada apa Nona memanggilku?"
"Kenapa wanita ini begitu mirip denganku? Apa dia saudara kembarku?"tanyanya sambil menunjukkan foto-foto itu pada bibi Rini.
Bibi Rini sangat terkejut. Ia terlihat syok.
"Ini tidak mungkin."
"Apanya yang tidak mungkin? Apa Bibi tahu sesuatu?"
"Bi-bibi tidak tahu apa-apa. Bibi hanya terkejut sampai mirip dengan Nona Marissa."
Marissa menatap bibi Rini dengan tatapan kecurigaan.
"Apa Bibi benar-benar tidak tahu?"
"Bibi tidak tahu."
"Baiklah."
Bibi Rini kembali ke dapur. Jantungnya masih berdebar kencang. Ia masih belum percaya ada wanita yang mirip dengan Marissa, karena setahunya wanita itu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Ia tidak tahu kenapa dia bisa hidup lagi. Ia memutuskan mencari seseorang yang bisa menjelaskan semua. Orang yang 21 tahun yang lalu berada di sana menyaksikan semuanya pada malam badai itu.
Pintu apartemen terbuka dan bibi Rini melihat Ferdian keluar. Dalam perjalanan pulang, ia melihat sebuah mini market, lalu masuk ke dalamnya. Di sana ia membeli beberapa botol air mineral. Ketika akan menuju ke kasir, matanya melihat sebuah nama yang tertulis jelas di sebuah buku tentang bisnis dan ekonomi. ia mengambil buku itu dan membacanya.
"Zachary Adhipramana,"katanya setengah berbisik.
Ia langsung membeli buku itu, karena rasa penasarannya mengenai Zachary. Ia segera membuka segel plastik buku dan langsung membaca isinya.
"Ternyata dia seorang direktur."
Ferdian menutup bukunya dan mengambil langkah cepat menuju rumah neneknya.
***
Hari sudah hampir gelap, Zachary masih saja menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, karena hanya itulah satu-satunya yang dapat mengalihkan pikirannya dari Marife. Ia beranjak dari kursinya dan berdiri di depan jendela memandang keramaian kota Jakarta di malam hari.
"Bagaimana ini sehari saja kita berpisah aku sudah sangat merindukanmu."
Zachary bermaksud kembali ke kursinya ketika seorang wanita tiba-tiba menerobos masuk ke kantornya. Ia terkejut siapa yang datang.
"Marcelina,"serunya terkejut.
"Halo Zach, apa kabar?"
"Aku baik. Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
"Aku telah sembuh dan sudah keluar dari rumah sakit jiwa."
"Itu bagus. Kapan kamu keluar dari sana?"
"Seminggu yang lalu. Sekarang aku sudah merasa lebih baik."
"Duduklah!"
Marcelina duduk di sofa. Lucia sudah pulang. Akhirnya ia yang membuatkan minuman untuknya.
"Aku datang ke sini untuk meminta maaf padamu atas perbuatanku di masa lalu. Aku sangat menyesal. Rasa cintaku padamu sudah membuatku berbuat jahat. Jika memikirkan itu, aku sangat bodoh. Aku benar-benar sangat menyesal."
"Aku sudah memaafkanmu. Aku tidak ingin mengingat masa lalu."
"Terima kasih. Aku ingin memulainya dari awal. Sekarang aku mengerti seharusnya aku tidak pernah memaksa kamu mencintaiku."
"Aku senang kamu sudah mengerti."
"Aku ingin menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya dan aku sudah mendengar kabar tentang pernikahan kalian."
Wajah Zachary kembali muram.
"Sangat disayangkan kalau kalian akan bercerai."
"Mau bagaimana lagi Marife sudah berselingkuh dariku."
"Aku juga tidak menyangka kalau dia akan berbuat seperti itu."
Marcelina meminum kopinya dan berdiri. "Sebaiknya aku pulang tidak ingin menganggu pekerjaanmu."
"Pekerjaanku sudah selesai. Aku akan mengantarmu pulang."
"Baiklah. Terima kasih."
Marcelina tersenyum lebar.
***
Bibi Rini membaca koran di dapur dan wajahnya terlihat pucat membaca berita hancurnya hubungan Marissa Fernanda dan suaminya. Ia merasa kasihan terhadapnya. Semuanya gara-gara wanita itu mirip dengan anak asuhnya.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengatakan rahasia yang sudah tersimpan selama 21 tahun? Tapi itu belum tentu benar juga sebelum aku bertemu dengan orang itu. Nona Marissa tidak boleh membaca berita ini lagi. Aku harus membuang koran ini."
Koran itu langsung dimasukkan ke dalam plastik sampah dan menyimpannya ditempat pembuangan sampah. Suara bunyi telepon berdering dengan tergesa-gesa diterimanya telepon itu.
"Selamat siang!"
Diseberang terdengar suara seorang wanita.
"Ini aku."
Bibi Rini sedikit terkejut dan menegakkan badannya.
"Nyonya Estefania."
"Marissa ada? Atau dia masih belum pulang?"
"Maaf nyonya. Nona Marissa belum pulang. Tadi dia harus pergi ke pameran secara mendadak. Katanya ada masalah di sana. Ada pesan untuknya? Nanti aku akan sampaikan kalau dia sudah pulang nanti."
"Tidak ada. Aku hanya ingin bicara dengannya saja. Aku merindukannya. Apa ada masalah sejak Marissa tinggal di sana?"
Bib Rini terlihat bingung, apakah dia harus mengatakan mengenai masalah yang berkaitan dengan Marissa Fernanda atau tidak.
"Halo! Halo!"
"Ah, maaf Nyonya. Tidak ada masalah."
"Baiklah."
Sambungan telepon telah putus. Bibi Reni menjadi resah. Ia cepat-cepat pergi ke kamarnya mencari buku catatannya di kotak penyimpannya. Ia menemukan buku catatan kecil itu yang sudah nampak lusuh. Ia membaca sederet nama di sana dan raut wajahnya terlihat cerah menemukan nama yang dicarinya. Edelina Sukmawati. Di samping nama itu ada nomor telepon. Ia tidak tahu apa nomor itu masih aktif atau tidak.
Tidak membuang waktu lagi, ia segera meneleponnya. Seseorang menjawabnya.
"Apa aku bisa bicara dengan Edelina?"
"Ini siapa?"
"A-aku Rini Rahayu."
"Bibi Rini?"
"Iya. Ini aku Silvi cucu Edelina."
"Jadi kamu Silvi?"
"Iya. Bibi apa kabar?"
"Aku baik. Bagaimana kabarmu?"
"Aku juga baik. Syukurlah akhirnya Bibi menelepon ke sini. Sudah lama Nenek mengharapkan Bibi Rini menghubunginya, karena Nenek kehilangan nomor telepon Bibi."
"Aku sekarang ingin bicara dengan Edelina."
"Sebenarnya Nenek sekarang ada di rumah sakit. Seminggu yang lalu terkena serangan jantung."
"Apa?"
"Nenek Edelina sekarang koma."
"Maaf. Aku benar-benar tidak tahu."
"Nenek berkali-kali mengatakan padaku kalau Nenek ingin mengatakan sesuatu pada Bibi Rini."
"Apa dia sempat mengatakan sesuatu padamu?"
"Tidak."
"Bisakah aku minta tolong padamu, jika Edelina sudah sadar maukah kamu memberitahuku?"
"Tentu. Aku akan memberitahu Bibi."
"Terima kasih. Tolong catat nomor teleponku!"
"Baiklah."
Bibi Rini memberitahu nomornya berulang-ulang.
"Aku sudah mencatatnya."
"Kalau ada waktu kan menjenguk Edelina. Sampai jumpa!"
Bibi Rini menghela napas panjang. Ia terpaksa harus menunggu kesembuhan Edelina untuk mengetahui kebenarannya.
***
Lucia terlihat lemas ketika mengetahui foto itu asli. Dipandanginya berkali-kali foto Marife dengan seorang pria, lalu mendesah panjang.
"Marife, tidak mungkin melakukan ini. Pasti semua ini ada alasannya. Aku yakin itu dan yang aku tahu ia sangat mencintai Pak Zachary."
Ia menghabiskan capuccinonya sebelum pulang. Dalam perjalanan pulang secara tidak sengaja ia melihat Zachary dan Marcelina ada di sebuah cafe yang letaknya tidak jauh dari cafe yang ia kunjungi. Mereka duduk di dekat jendela sambil bersenda gurau. Lucia hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya sekarang.
"Marcelina,"gumamnya.
Sekarang ia tidak mungkin pergi ke cafe itu dan mengajukan banyak pertanyaan pada mereka. Ia harus menahannya sampai esok hari. Ia dengan langkah cepat pergi melewati cafe itu.
***
Pak Rudy terkejut Marcelina pulang bersama Zachary. Ia masih tidak menyukainya sejak pria itu lebih memilih wanita lain dari pada cucunya sendiri.
"Kenapa kamu bisa bersamanya?"tanyanya dengan suara ketus.
"Selamat malam!"sapa Zachary.
Pak Rudy mengacuhkannya. Ia menatap Marcelina dengan pandangan kesal.
"Tadi aku pergi menemuinya dan dia mengajakku makan malam, lalu mengantarku pulang."
"Sekarang masuklah!"
Marcelina masuk dan mengajak Zachary untuk masuk, tapi pria itu menolaknya.
"Terima kasih! lain kali saja."
Setelah Marcelina tidak terlihat lagi, Pak Rudy berkata,"Jangan coba-coba dekati cucuku lagi. Aku tahu pernikahanmu sedang ada masalah, jadi jangan pernah kembali mendekatinya. Aku tidak ingin kamu menyakiti cucuku lagi."
Pak Rudy menutup pintu di depan wajah Zachary. Ketika ia akan pergi, seorang pelayan diam-diam mendekatinya dan memberitahu sesuatu yang membuatnya terkejut.