15. Marissa

2074 Kata
Wanita itu terlonjak kaget oleh suara bunyi ponselnya. "Siapa sih yang meneleponku, mengagetkanku saja?" Ia mengambil ponselnya dari dalam tas kecilnya dan melihat nama yang ada di layar ponselnya. "Bibi Rini. Ada apa ya meneleponku?" Wanita itu cepat-cepat menerima panggilannya. "Halo Bibi Rini!" "Nona Marissa, ada di mana? Kenapa masih belum pulang juga? Ini sudah mana ikan tuna dan sayuran pesanan Bibi?" Marissa menutup mulutnya karena terkejut. Ia lupa untuk segera pulang gara-gara baca berita di koran tentang dirinya. "Kalau Nona tidak pulang sekarang, Bibi tidak bisa masak untuk makan malam?"teriaknya. Marissa menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Iya, aku akan segera pulang sekarang." Marissa langsung menutup teleponnya, melipat korannya menjadi lipatan-lipatan yang sangat kecil, dan memasukannya dalam tasnya. Setengah berlari ia menuju tempat pemberhentian bus. Semua mata orang yang sedang menunggu bis melihat ke arahnya. Ia merasa risih mereka terus memandanginya. Tiga menit kemudian bus pun datang dan langsung naik tidak mempedulikan tatapan semua orang padanya. "Ya ampun ada apa dengan mereka dari tadi terus melihatku. Apa orang sini semuanya bersikap seperti ini. Seolah-olah mereka tahu kalau aku adalah pendatang baru di sini atau wajahku terlihat aneh,"katanya dalam hati. Marissa dengan cuek memainkan ponselnya. Sesekali ia melirik kepada para penumpang. Mereka yang tidak tahu kalau ia bukan Marissa Fernanda merasa heran, karena seorang aktris terkenal mau naik bus yang berdesak-desakkan.Tiba-tiba ada seorang anak perempuan yang masih duduk di SMU menghampirinya. "Maaf. Bisakah aku meminta tanda tangan Anda? Aku adalah salah satu penggemar Anda." Gadis itu memberikan kertas dan pulpen kepada Marissa.Tentu saja ia terkejut dan merasa heran. Dua hari yang lalu ia baru tiba di Indonesia, tanah kelahirannya setelah menetap di Luxemburg selama 20 tahun. Ia belum mengerti bagaimana kehidupan di sini dan masih beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Ia datang ke Indonesia, karena ia harus menghadiri pameran fashion dari berbagai negara yang diadakan selama satu bulan. Ia mewakili perusahaan keluarganya, Glamour Clothing Company. "Kamu meminta tanda tanganku?"tanyanya keheranan dan tidak percaya. Gadis SMU itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Marissa tidak mengerti apa yang terjadi, akhirnya dia membubuhkan tanda tangannya yang besar di selembar kertas. Gadis itu tersenyum senang dan kemudian memintanya untuk berfoto bersama. Ia pun menyetujuinya. "Terima kasih." Gadis itu kembali ke tempat duduknya semula. Semua mata masih melihat ke arahnya. Ia berpikir sudah seperti seorang aktris saja dimintai tanda tangan dan berfoto bersama. Senyuman merekah di wajahnya. Marrisa turun dari bus berdesak-desakkan dengan penumpang lain dan hampir saja terjatuh. Ia mendesah lega sudah turun dengan selamat. Dalam perjalanan menuju apartemennya ia dihadang oleh seorang wanita cantik yang sejak dari tadi terus mengikutinya. Wanita itu memasang wajah dingin dan tidak ramah. "Ada apa lagi ini?"pikirnya. "Kamu Marissa, bukan?" "Iya. Anda siapa?" "Aku Yessika." Marissa mengulurkan tangannya pada Yessika, tapi dia menolaknya. Wanita itu memperhatikannya dan membuatnya menjadi gugup. Yessika masih terus memandangi Marrissa mencari-cari apa yang membuatnya menarik bagi seorang Zachary Adhipramana. Ia terkejut saat dalam perjalanan pulang ke rumahnya bertemu dengan Marissa di dalam bus. Seorang aktris terkenal yang sudah membuat berita besar karena perselingkuhannya. "Sebenarnya apa yang dia lihat pada dirimu? Kamu wanita biasa saja dan juga tidak begitu cantik, tapi dia bisa menyukaimu." Yessika memutari tubuh Marrisa dan meneliti setiap bagian tubuhnya. Hal itu membuat Marissa tampak lebih gugup dan tidak nyaman ketika orang asing menatapnya seperti itu. "Siapa sebenarnya Anda?" "Aku sudah memberitahukan namaku padamu." "Ya aku tahu itu. Maksudku kenapa Anda bisa mengenalku, sedangkan aku tidak mengenal Anda." Hari ini Marissa banyak bertemu dengan orang-orang aneh di jalan. Ini semua berawal dari foto dirinya dengan kekasihnya, Ferdi yang terpampang jelas di koran. "Sebaiknya kamu menjauhi Zachary. Kamu tidak pantas menjadi istrinya." Marissa sama sekali tidak mengerti apa yang telah dikatakan wanita itu. Zachary? Istri? Apa maksud wanita itu pikirnya. "Sepertinya kamu lebih pantas dengan pria asing itu." "Maksud Anda, Ferdian." "Oh jadi namanya Ferdian. Ternyata berita itu benar kalau kamu selingkuh dengan pria asing bernama Ferdian. "Apa?! Tunggu! Aku selingkuh?’’tanyanya terkejut. "Iya. Kamu sudah selingkuh dan mengkhianati suamimu,"katanya dengan nada cemburu. Marissa terlihat menjadi semakin bingung dan tidak mengerti dan beberapa kali mengerutkan dahinya. ’’Aku sudah punya suami?"katanya dalam hati, bahkan ia belum pernah menikah. Marissa akhirnya berpikir kalau wanita itu telah salah mengenali orang. "Aku tidak tahu apa yang Anda bicarakan Saat ini aku tidak sedang ingin berdebat dan membuat keributan di sini. Permisi aku mau pulang dulu." Marissa pun pergi, tapi tangan Yessika menahannya. "Ada apa lagi?"tanyanya kesal. Yessika menatap Marissa dengan tatapan tidak suka. "Jangan pernah kamu kembali kepada Zachary. Apa kamu mengerti?" "Hei Nona, sejak dari tadi selalu mengatakan Zachary, suami. Aku sama sekali tidak mengerti. Bahkan aku tidak kenal siapa itu Zachary dan yang perlu kamu tahu, aku sama sekali belum menikah,"ujarnya dengan kesal. "Jadi sekarang kamu berpura-pura tidak kenal Zachary dan tidak mengakui kalau dia suamimu? Bagus sekali dasar wanita tidak tahu malu. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan selingkuh dan akan menjaga suamiku baik-baik." "Aku memang tidak mengenalnya. Terserah mau percaya atau tidak. Ah tunggu, jangan-jangan Anda suka dengan Zachary." Yessika menjadi gugup dengan perkataan Marissa. "Kalau Anda suka dengannya, kenapa tidak katakan langsung saja padanya? Kalau dilihat sepertinya Anda tidak ada keberanian untuk mengatakannya. Benarkan apa yang aku katakan?" Yessika melepaskan tangan Marissa. "Lihat saja besok akan ada berita besar lagi tentang dirimu." Yessika pergi meninggalkan Marissa. "Dasar wanita aneh." Marissa menghela napas panjang, lalu kembali berjalan sambil memikirkan kejadian hari ini yang membuatnya menjadi semakin bingung. Ia kembali mengeluarkan koran dari dalam tasnya dan melihat fotonya sekali lagi. "Gara-gara ini aku jadi bertemu dengan orang-orang aneh. Sampai-sampai aku dituduh selingkuh dengan kekasihku sendiri. Siapa Zachary yang dimaksud wanita tadi ya? Diberita ini tidak disebut-sebut namanya. Aneh." Marissa kembali melipat korannya kemudian memasukannya kembali ke dalam tas, kemudian dia berbelok dan di depan sudah terlihat apartemennya. "Aku pulang!" "Selamat datang! Nona dari mana saja?" "Maaf. Aku tadi sedikit mengalami gangguan di jalan. Aku bertemu dengan orang-orang aneh." "Apa orang-orang itu mengganggu dan menyakiti Nona?"tanyanya cemas. "Jangan khawatir mereka tidak menyakitiku kalau menganggu sih iya. Oh ya, ini ikan tuna dan sayurannya." Bibi Rini mengambil kantung plastik dari tangan Marissa. "Bi, aku akan pergi ke kamar dulu, kalau makan malamnya sudah siap beritahu aku ya? Aku mandi dulu." "Baik." Tiba-tiba Marissa membalikkan badannya. "Apa bibi tahu tentang seorang wanita yang bernama Marissa Fernanda?" "Bibi tidak tahu. Ada apa?" "Tidak apa-apa hanya saja tadi beberapa orang menyangka aku adalah Marissa Fernanda, tapi sudahlah itu mungkin karena wajah wanita itu mirip denganku." Bibi Rini mendadak wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menegang. "Bibi baik-baik saja?" "Bibi baik-baik saja." Marissa pergi ke kamarnya. Bibi Rini terduduk lemas di sofa. "Ini tidak mungkin. Anak itu seharusnya sudah meninggal. Aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri saat dia baru saja dilahirkan,"gumamnya. *** Edward berjalan mondar-mandir gelisah dengan tongkatnya di ruang keluarga sesekali ia melongokkan kepalanya ke luar jendela menanti kedatangan Zachary, putra kesayangannya dan juga merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Sejak Zachary memutuskan untuk bercerai, ia sudah tidak sabar menanti kedatangannya untuk menuntut penjelasan darinya. "Tuan Edward mohon duduklah!"kata Pak Rian. "Aku tidak bisa tenang sebelum Zachary pulang ke rumah.'' "Anda tidak perlu menunggunya seperti ini. Mungkin saja dia pulangnya nanti malam, jadi duduklah dengan tenang!" Edward tetap berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Wajahnya berubah cerah saat melihat mobil yang dikemudikan oleh putranya memasuki halaman rumah. "Itu Zachary,"seru Edward senang. Mereka langsung menuju pintu depan dengan tergesa-gesa. Zachary terkejut melihat ayahnya menyambut kedatangannya. Edward menarik lengan putranya, membawanya ke ruang keluarga dan menyuruhnya untuk duduk. "Sekarang jelaskan kepadaku apa yang terjadi saat Marife menemuimu di kantor?" "Kami bertengkar. Marife mengatakan kepadaku kalau ia tidak berselingkuh dan aku tahu ia sedang berbohong." "Jadi kamu sudah yakin Marife berselingkuh?" "Iya Ayah." Zachary kemudian menceritakan apa yang terjadi hotel. Edward dan Pak Rian tidak percaya. "Marife tidak mungkin melakukan itu." "Tapi dia melakukannya sepertinya dia juga sudah tidak mencintaiku lagi." "Apa tidak ada cara lain selain kamu memutuskan bercerai dengannya?" "Tidak ada." "Ayah mohon kamu dan Marife harus bicara lagi." "Tidak ada yang perlu kami bicarakan lagi. Semuanya sudah jelas, bahkan Marife tidak mau berkata jujur padaku setelah perselingkuhannya terbongkar." Susan yang mendengar itu merasa tidak terima dengan tuduhan Zachary. Ia sangat mengenal Marife dan ia tahu betul bagaimana Marife begitu mencintai Zachary. Ia kembali ke dapur. Ia merasa ada sesuatu yang aneh tentang kemiripan wanita itu dengan Marissa dan ia juga yakin wanita itu bukan Marife. "Ayolah Zach! Jangan memutuskannya terburu-buru sebelum kamu menyesalinya." "Aku sudah memikirkan ini sejak kemarin dan aku yakin dengan keputusanku ini. Maaf Ayah." "Bagaimana dengan putrimu yang hilang itu?" "Sampai sekarang aku tidak tahu di mana dia dan siapa yang sudah mengambilnya. Jika aku menemukannya aku yang akan mengasuhnya." "Seandainya kamera CCTV di lorong lantai dua, kamar bayi, dan di ruang keluarga tidak rusak mungkin kita sudah tahu siapa pelakunya,"ujar Pak Rian. "Itu benar. Pelakunya tidak terlihat di kamera lain sayangnya. Aku juga tidak mengerti kenapa ketiga kamera itu rusak secara bersamaan." "Apa Marife sudah mengingat tentang Danica?" "Belum ingatannya belum kembali." "Apa kamu tahu kabar Marcelina?"tanya Edward. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mencari kabar tentang dia lagi." "Apa mungkin dia sudah keluar dari rumah sakit jiwa?"tanya ayahnya penasaran. "Entahlah. Kenapa Ayah tidak mencoba menghubungi keluarga Marcelina untuk menanyakan kabar mereka?" "Apa kamu sudah lupa hubungan keluarga kita dengan mereka tidak baik. Terakhir aku dengar orang tua dan kakeknya pergi ke Inggris dan menetap di sana. Ayah tidak tahu apa mereka sudah kembali atau belum." Pandangan mata Zachary menyapu ke segala penjuru rumah. "Apa Marife tidak ada di sini?" "Tidak ada. Ayah sudah mengatakannya padamu." Zachary beranjak dari kursi. "Aku mau berganti pakaian dan beristirahat sebentar, jika Ayah tidak ada lagi yang ingin bicarakan denganku." "Kamu boleh pergi." *** Marife bangun dengan mata sembab, karena semalaman menangis. Pak Septian dan istrinya sudah menyiapkan makan pagi untuknya. Kedatangan Marife ke sini tentu saja membuatnya sangat senang. Sudah lama mereka tidak menerima kedatangan tamu. "Pagi!"seru Marife seriang mungkin. Akhir-akhir ini ia sulit untuk tersenyum, karena dia masih merasa sakit hati dan sedih atas perlakuan Zachary kepadanya. "Pagi Nona Marife!" Pak Septian dan Bu Marin tersenyum hangat. Marife melihat hidangan makan pagi yang sudah tersedia untuknya di atas meja. "Kelihatannya sangat enak." Marife segera memakannya dengan lahap. Kemarin ia hanya makan sedikit, karena ia kehilangan nafsu makannya dan membuat Pak Septian dan istrinya cemas, tapi kecemasan mereka hilang ketika melihat Marife pagi ini makan banyak. Selesai makan, Marife memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar villa. Ia merindukan tempat ini. Matanya melihat ke sekeliling. Semilir angin bertiup mengerakkan semua bunga-bunga dan pohon. Ia memejamkan matanya merasakan belaian angin di seluruh tubuhnya. Udara yang segar dihirupnya dalam-dalam. Ia kembali menyusuri hutan. Suara bunyi ranting yang terinjak mengeluarkan suara yang nyaring dikeheningan hutan. Sinar matahari yang tidak seluruhnya menerobos masuk hanya menyisakan titik-titik putih di tanah. Ia kembali berjalan diantara pepohonan dan memetik setangkai bunga. Air matanya kembali menetes. "Zach, kenapa kamu tidak percaya akan cintaku padamu?" Marife menatap setangkai bunga daisy dengan wajah sendu dan pilu. Tetesan- tetesan air matanya membasahi bunga yang sedang dipegangnya. Ia terus berjalan sampai pada akhirnya dia tiba di kuburan orang tuanya. Ia meletakan setangkai bunga mawar di atas nisannya. Ia memejamkan matanya kemudian mengucapkan doa untuk mereka. Marife menangis. Air matanya seakan tidak mau berhenti mengalir. Ia sangat merindukan orang tuanya, lalu ia mengeluarkan seluruh kesedihannya dan semua permasalahan yang sedang dihadapinya. "Ayah, Ibu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia sudah tidak percaya lagi akan kesungguhan cintaku padanya. Dia lebih mempercayai orang lain daripada mempercayaiku. Dia ingin berpisah denganku dan aku ternyata tidak sanggup untuk berpisah dengannya." Marife memegang dadanya sambil menangis. "Di sini rasanya sakit sekali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku nanti tanpa ada dia di sisiku. Apa masih ada kesempatan suatu saat nanti cinta kami dapat bersatu? Apakah kisah cintaku akan berakhir? Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya aku membuatnya percaya kembali padaku? Setidaknya aku ingin dia tahu kalau aku tidak pernah mengkhianati cintanya." Marife menangis tersedu-sedu di makam orang tuanya. Hatinya sekarang terasa lebih tenang setelah menumpahkan segala kesedihannya. "Apakah aku akan kehilangan dia untuk selamanya. Sepertinya aku sekarang harus kembali. Mereka pasti mengkhawatirkanku, karena aku sudah terlalu lama pergi. Sampai jumpa Ayah, Ibu!" Marife berdiri dan pergi dengan wajah yang masih bersimbah air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN