Pagi ini Alika mulai dipingit untuk tidak bertemu dengan Bimo, meskipun tanpa pingitan ia tidak akan menemui pria yang menjadi calon suaminya tersebut.
Alika merogoh samrtphone miliknya yang berada di saku celana, ia berniat untuk menelpon Bimo untuk menanyakan suatu hal terkait undangan.
“Ada apa?” tanya Bimo di sebrang sana ketika panggilan telah tersambung.
“Mas udah nyebar undangan?” tanya Alika seraya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur berukuran queen yang terletak di kamar mewah nya.
“Sudah,” jawab Bimo seadanya membuat Alika sedikit berdecak kesal dengan sikap cuek yang dimiliki oleh pria itu namun decakan dari mulutnya berganti dengan senyuman ketika ingatannya kembali pada hal yang membuatnya menelfon calon suaminya tersebut.
“Siapa aja yang Mas undang?” tanya Alika membuat Bimo sedikit mengernyit di sebrang sana.
“Semua kerabat dari keluarga saya dan juga keluargamu,” jawab Bimo.
“Undangannya masih ada nggak, Mas?”
“Masih,” jawab Bimo yang kembali mengingat bahwa undangan yang ia cetak melebihi jumlah tamu yang akan ia undang, ia sengaja melalakukan hal itu untuk berjaga-jaga.
“Aku minta satu ya, Mas. Aku mau ngundang seseorang,” ucap Alika begitu antusias membuat Bimo lagi-lagi mengernyit.
“Aku mau ngundang mantanku, Mas. Biar dia nyesel udah nyelingkuhin aku dulu, liat sekarang, aku dapet Mas Bimo yang jauh kemana-mana dibanding dia,” ucap Alika dengan bangga menyombongkan sosok calon suaminya saat ini, sedangkan Bimo hanya menggelengkan kepalanya mendengar perkataan calon istrinya tersebut, ia sudah tidak heran dengan sifat Alika yang selalu membanggakan semua hal yang dimiliki wanita itu dan Bimo sedikit merasa senang karena ia menjadi salah satu hal yang dapat dibanggakan oleh wanita itu.
“Nanti kirim undangannya ke alamat yang aku kirim lewat w******p ya, Mas. Itu alamat mantanku.”
“Ya.” Lagi-lagi Bimo menjawab seadanya.
“Ya udah bye-bye mas suami,” ucap Alika dengan riang lalu mematikan sambungan telepon tersebut.
Ia sudah berdamai dengan perjodohan itu ketika Bimo menjanjikan kesetiaan padanya, bahkan ia begitu bersemangat melepas masa lajangnya saat ini dan bersiap untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Yang ada di pikirannya saat ini adalah ia tidak perlu ketakutan menghadapi pengkhianatan dari pria yang menjadi pendamping hidupnya ketika pria itu sudah menjanjikan kesetiaan padanya di awal pernikahan dan ia tidak meragukan lagi dengan perkataan pria itu karna baginya Bimo Satrio Rahardjo adalah pria kedua yang dapat memegang janjinya setelah sang ayah.
***
Di kantor, setelah pembicaraannya dengan Alika, Bimo dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tuanya.
“Le,” panggil Lastriana ketika memasuki ruang kerja milik putranya.
“Bapak, ibuk,” sapa Bimo lalu berjalan menghampiri pasangan paruh baya tersebut. Bimo mencium punggung tangan kedua orang tuanya lalu tersenyum lembut.
“Kadingaren Bapak kaleh Ibuk ten mriki? Enten menopo Buk, Pak? (Tumben bapak sama Ibuk ke sini? Ada apa Buk, Pak?)” tanya Bimo yang menggiring Prasetyo dan Lastriana untuk duduk di sofa.
“Ini, Bapakmu ini, bilangnya mau ngajak Ibuk ke tempatnya Alika lha kok malah belok ke kantormu,” ucap nyonya besar Rahardjo dengan kesal membuat Bimo dan Prasetyo terkekeh.
“Sekalian ngecek kerjaane Bimo, Buk ... (Sekalian mengecek pekerjaannya Bimo, Buk ...)” ucap Prasetyo dengan lembut.
“Ibuk kaleh Bapak badhe ngunjuk menopo? (Ibu sama Bapak mau minum apa?
)” tanya Bimo yang bersiap menekan interkom untuk meminta office girl membuatkan minuman.
“Es campur!” jawab Lastriana dengan lantang dan cepat membuat Prasetyo terkejut sedangkan Bimo segera membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sang ibu.
“Yo ra eneng to, Buk ... (Ya nggak ada lah, buk)” ucap Prasetyo karena di kantor yang ia wariskan untuk putranya tersebut hanya menyediakan air putih, kopi, soda, teh hangat atau dingin dan lemon tea untuk sebuah minuman.
“Pokoknya Ibuk mau es campur!” jawab Lastriana.
“Suruh sekretaris ganjen mu itu cariin Ibuk es campur di pasar!” titah nyonya besar.
“Kok sekretarise Bimo to, Buk?” lagi-lagi Prasetyo terkejut dengan permintaan sang istri.
“Sekretaris ganjen mu itu nggak bisa cariin es campur buat Ibuk, le?” tanya Lastriana menuntut kepada Bimo tanpa menghiraukan pertanyaan dari sang suami yang duduk di sebelahnya.
“Saget, buk ... (Bisa, buk ... )” jawab Bimo dengan lembut.
“Bapak badhe ngunjuk menopo? (Bapak mau minum apa?)” tanya Bimo kepada ayahnya.
“Wedang puteh wae, le (Air putih aja, le)” jawab Prasetyo yang masih memperhatikan istrinya sedangkan wanita yang ia perhatikan tengah membolak-balikkan halaman majalah bisnis yang terdapat di ruangan tersebut.
Setelah mendapat jawaban dari Prasetyo. Bimo segera menghubungi office girl lalu Maria melalui interkom dan meminta wanita itu untuk mencarikan es campur.
“Tolong carikan es campur untuk Ibu saya,” ucap Bimo melalui interkom tersebut.
“Inget, harus kamu lho ya yang nyari, jangan nyuruh OG atau OB, kasian mereka,” ucap Lastriana yang sudah berdiri di samping Bimo hingga membuat pria itu sedikit terkejut sedangkan Maria yang berada di sebrang sana dapat mendengar dengan jelas perintah dari nyonya besar keluarga Rahardjo tersebut.
“Ba-baik, Pak,” jawab Maria dengan gugup meskipun ia terpaksa menuruti permintaan Lastriana.
“Sekretaris mu kae mbok diganti wae to, le. (Sekretaris mu itu mending diganti aja, le)” ucap Lastriana yang masih berdiri di samping Bimo.
“Buk, nggak bisa mecat orang sak enak-e wae. (Buk, nggak bisa mecat orang seenaknya aja). Kerja Maria bagus sebelum Bimo gantiin bapak,” Prasetyo mencoba memperingati sang istri.
“Ibuk ngopo to kok ndak seneng karo Maria? (Ibu kenapa sih kok nggak suka sama Maria?)” tanya Prasetyo kali ini.
“Dek'e ki ganjen Pak, opo meneh neng ngarep anak'e Ibuk iki. (Dia itu ganjen Pak, apalagi di depan anaknya Ibuk ini)” ucap Lastriana seraya mengusap kedua lengan sang putra namun sedetik kemudian ia berbalik menatap sang suami.
“Eh eh, kok Bapak malah mbelani sekretaris ganjen kae to? (Eh eh, kok Bapak malah belain sekretaris ganjen itu sih?)”
“Bukane Bapak mbelani, Buk. Tapi- (Bukannya Bapak ngebelain, Buk, tapi-)”
“Ojo-ojo bapak seneng yo karo bocah kae?! (Jangan-jangan Bapak suka ya sama anak itu?!)”
“Astagfirullah,” ucap Prasetyo dan Bimo bersamaan, jika sudah seperti ini maka Bimo harus turun tangan untuk melerai perdebatan kedua orang tuanya.
“Mengkeh Maria kulo gantos nggih, Buk. (Nanti Maria aku ganti ya, Buk)” ucap Bimo mencoba menenangkan sang ibu yang melototi Prasetyo.
“Tenan yo? Awas wae nek koe gur ngapusi Ibuk. (Benar ya? Awas aja kalau kamu hanya membohongi Ibu)”
“Nggih, Buk. (Iya, Buk)”
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar di antara perdebatan kecil keluarga tersebut.
“Masuk!” titah Bimo dengan tegas, pintu ruangan terbuka menampilkan sosok office girl yang membawa sebuah air putih di atas nampan.
“Permisi, Pak,” ucap office girl tersebut kepada Bimo setelah meletakkan minuman untuk Prasetyo.
“Kapan kamu mau ganti sekretaris mu itu, le?”