RENCANA PERNIKAHAN

1155 Kata
“Ibuk tadi bilang mau ketemu Alika,” ucap Bimo mengalihkan pembicaraan, bukannya apa, ia hanya tidak ingin sang ibu kembali marah-marah jika sudah membicarakan tentang Maria. “O iya, habis dari sini Ibuk mau nyamperin mantu Ibuk yang cantik itu,” ucap Lastriana dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Setelah beberapa menit mengobrol, pintu ruangan Bimo diketuk oleh seseorang. “Masuk!” titah Bimo lalu pintu ruangan terbuka, menampilkan Maria dengan keringat yang bercucuran di wajahnya, wanita itu sedikit tersenyum ke arah Bimo sedangkan Bimo hanya menampilkan wajah datar nya seperti biasa. “Ini, Pak. Es campurnya,” ucap Maria menyodorkan es campur tersebut ke arah Bimo. “Loh! Kan saya yang mesen es campur itu, kenapa kamu kasih ke anak saya?!” tanya Lastriana yang saat ini sudah bangkit dari duduk nya lalu menghampiri Maria. “Terus kenapa nggak ditaruh di mangkok?! Saya harus ngokop, gitu?!" tanya Lastriana dengan galak, nyali Maria dibuat ciut saat mendengar pertanyaan tersebut. ----- NB : NGOKOP adalah minum langsung dari tempatnya. ----- “Baik, saya taruh di mangkuk dulu, Bu,” ucap Maria dengan sopan meskipun hatinya sudah sangat dongkol dengan perkataan Lastriana. “Ya harusnya emang begitu! Satu lagi, yang naruh di mangkok OG aja! Jangan kamu, kamu kan lagi keringetan gitu, nanti keringet kamu netes ke es campur saya gimana?!” ketus Lastriana kembali membuat Prasetyo menggelengkan kepala sedangkan Bimo menahan tawa melihat sikap sang ibu. “Baik, Bu,” ucap Maria seraya membungkukkan tubuhnya lalu berlalu meninggalkan ruangan tersebut. “Ibuk ki galak banget. (Ibuk ini galak banget)” ucap Prasetyo yang dihadiahi pelototan tajam dari sang istri. “Ngopo? Bapak ra terimo?! (Kenapa? Bapak nggak terima?!)” tanya Lastriana lalu duduk kembali di samping sang suami. “Yo bukane ngono, Buk ... (Ya bukannya begitu, Buk ... )” ucap Prasetyo. “Alah wes lah. O iyo, le. Kowe karo Alika wes feeting klambi pengantine, to? (Halah ya udah lah. O iya. Kamu sama Alika udah feeting baju pengantinnya, kan?)” tanya Lastriana. “Dereng, Buk. (Belum, Buk)” jawab Bimo yang saat ini sedang menandatangani sebuah laporan. “Loh, kok urung, to? (Lah, kok belum, sih?)” tanya Alika denga sewot. “Ndak keburu, Buk. Tapi Bimo pastikan baju pengantine muat buat calon istri Bimo,” jawab Bimo dengan kalem, setelahnya pintu ruangan kembali diketuk dan masuklah seorang office girl membawakan es campur yang dipesan oleh Lastriana dengan penuh drama, setelah es campur itu tersaji di depan nya, Lastriana kembali berbincang dengan sang putra. “Awas lho ya kalau nggak muat, ibuk pengen mantune ibuk jadi mempelai wanita yang paling cantik di acara pernikahannya nanti” “Nggih, Buk. (Iya, Buk)” jawab Bimo seadanya. “Ibuk ket mau ngegas teros. (Ibuk dari tadi ketus terus)” protes Prasetyo yang membuat Lastriana mendelik tajam ke arah suaminya tersebut. “Biar Alika nggak kaya ibuk dulu, nggak sempet feeting baju, ujung-ujung nya kekecilan,” protes Lastriana saat ia kembali teringat dengan pernikahannya dulu dengan sang suami, baju pengantin yang ia kenakan dulu terlalu kecil hingga membuat payudaranya hampir tumpah dan terasa engap di mana-mana. “Iyo, bapak juga nyesel waktu itu,” ucap Prasetyo mendengus, ia tidak akan lupa dengan hari itu, hari di mana ia begitu posesiv terhadap sang istri ketika para tamu pria menatap penuh minat ke arah p******a sang istri. Bimo terkekeh mendengar perdebatan sang ibu dan juga ayahnya. “Ibuk ndak diet?” tanya Bimo yang membuat pandangan Lastriana teralih. “Orang ibuk nggak tahu kalau bajunya kekecilan, salahin bapakmu itu yang kebelet nikah sampe nggak sempet feeting baju,” omel Lastriana yang membuat Prasetyo menggelengkan kepalanya. “Yo wes to, Buk. Kui yo wes mbiyen. (Ya udah sih, Buk. Itu juga udah berlalu)” ucap Prasetyo seraya merangkul bahu sang istri lalu mengecup pipi Lastriana dengan lembut yang sontak saja membuat wajah Lastriana merona. “Ihh ... Bapak” ucap Lastriana yang malu lalu menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Prasetyo dan Bimo hanya bisa tertawa melihat wajah malu sang nyonya besar keluarga Rahardjo. *** Come a little closer causee you looking thristy. ? Smartphone Alika berdering dan tertampang nama Bimo di layar smartphone tersebut, Alika segera mengangkat panggilan telephone tersebut seraya mengeringkan rambutnya yang basah sehabis mandi. “Hallo?” sapa Alika. “Tadi kamu sudah bertemu dengan ibu saya?” tanya Bimo di seberang sana. “Udah, Mas,” jawab Alika. “Ya sudah kalau begitu,” ucap Bimo lalu mematikan sambungan telephone tersebut yang sukses membuat Alika melongo. “Lah, cuma gitu doang?” tanya Alika bermonolog seraya menatap smartphone miliknya. “Dari dulu nggak pernah berubah,” omel Alika sendiri kala mengingat kelakuan Bimo yang selalu saja kaku dan datar. “Kirain bakal ngajak ngobrol, apa gimana gitu. Sama calon istri cuek banget, gimana besok kalau udah nikah?” “Kamu kenapa?” tanya Mahendra yang sudah berdiri di amabang pintu kamar sang putri. “Itu, Pa. Mas Bimo nelpon cuma nanyain aku udah ketemu sama Tante Lastriana apa belum,” ujar Alika dengan sewot seraya menyisir rambutnya sedangkan Mahendra hanya terkekeh mendengar pernyataan sang putri. “Kamu kaya nggak tahu aja sifat Bimo,” ucap Mahendra. “Udah buruan nyisirnya, papa tunggu di meja makan,” lanjut Mahendra yang diangguki oleh Alika. Setelah selesai dengan urusan rambutnya kini Alika sedang makan malam bersama dengan sang ayah. “Pa?” panggil Alika seraya mengunyah makanannya. “Hm?” jaawab Mahendra yang masih fokus dengan sendok dan garpu. “Besok acara nikah aku cuma ijab kabul doang kan?” tanya Alika yang sukses membuat Mahendra tersedak. “Uhuk uhuk.” “Aduh, Papa pelan-pelan dong makan ya” tegur Alika seraya menyodorkan air putih kepada sang ayah sedangkan Mahendra melotot tajam ke arah sang putri lalu meminum air putih tersebut. “Lagian kamu nanyanya nggak kira-kira!” sewot Mahendra setelah mentandaskan air putih nya. “Ha? Nggak kira-kira gimana sih, Pa? Orang aku nanyanya juga biasa aja!” sewot Alika tidak ingin disalahkan. “Gimana ceritanya kamu mikir kalo besok nikah cuma ijab kabul doang?” Mahendra sudah gemes dengan jalan pikir Alika. “Di sinetron-sinetron kan begitu,” jawab Alika sekenanya lalu melanjutkan menyantap makanan nya. “Korban sinetron kamu!” dengus Mahendra. “Besok tu acaranya Sungkeman, Siraman, Dodol Dawet, Midodareni, Srah-srahan, Ijab Kobul, Balang Gantal, Ngindak Endhog, Sindur, Kacar Kucur, Dulangan, Bubak Kawah." “What?!” pekik Alika membuat Mahendra mengelus d**a. “Kok banyak banget sih acaranya?” Alika tidak menyangka jika acaraa pernikahannya besok akan sepajang itu karena yang ia tahu hanyalah ijab kabul. “Calon mertua kamu kan orang jawa asli, nggak kaya kita yang campuran, jadinya acara nikahan masih ngikut budaya jawa yang asli,” jawab Mahendra sekenanya. “Iya juga ya?” pikir Alika. “Terus besok pas sungkeman, aku cuma sungkem sama Papa doang?” tanya Alika kembali. “Iya,” jawab Mahendra, ia tahu maksud dari pertanyaan sang putri. “Pa,” panggil Alika yang melihat kemurungan sang ayah. “Papa kenapa nggak cari istri baru? Mama buat aku.” Pertanyaan dari sang putri membuat ia terdiam, ia kembali mengingat tentang masa lalu jika Alika sudah membahas tentang seseorang yang dipanggil ‘Mama’ “Papa nggak ada pemikiran buat cari pengganti mama kamu.” “Kenapa, Pa?” tanya Alika ingin tahu, Mahendra menghembuskan nafasnya sebelu menjawab pertanyaan dari sang putri. “Karena Papa terlalu mencintai mama kamu dan Papa nggak bisa menemukan sosok seperti mama kamu di wanita lain.” Alika terdiam mendengar pernyataan dari sang ayah, begitu beruntungnya sang ibu yang memiliki suami setia seperti sang ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN