Alika keluar rumah mewah tersebut, ia berlari menghampiri mobil Aston Martin miliknya yang terparkir di garasi rumah kediaman Soetedjo. Nafasnya memburu kala mengingat perkataan sang ayah bahwa pria yang akan dijodohkan dengannya telah mencetak undangan pernikahan mereka.
Alika mengenal dengan baik pria tersebut. Bimo Satrio Rahardjo, seorang putra semata wayang dari pasangan Prasetyo Adi Rahardjo dan Lastriana Kusuma Rahardjo, pasangan yang memiliki perusahaan rokok terbesar di negaranya.
Ia dan Bimo sudah mengenal sejak lama, bahkan sejak ia berumur lima tahun, satu hal yang membuat Alika menolak perjodohan tersebut karena ia sudah enggan mengenal cinta dan hal-hal yang berbau tentang cinta. Pengkhianatan yang dilakukan oleh semua mantan pacarnya selama ia berpacaran membuat ia enggan untuk berhubungan dengan sesuatu yang bernama cinta.
Alika mengendarai Aston Martin nya menuju gedung kantor tempat Bimo bekerja, gedung pencakar langit berlantai dua puluh lima tersebut terletak di pusat kota Yogyakarta. Setibanya ia di gedung tersebut ia memarkirkan Aston Martin nya dengan asal lalu berjalan menuju lift dengan emosi yang sudah memuncak, namun langkah kakinya dihalang oleh seorang satpam yang berjaga di loby gedung kantor itu.
“Maaf, Mba. Mba harus mengisi form tamu terlebih dahulu,” ucap satpam tersebut seraya mencekal lengan Alika, Alika menyentak lengannya dengan kasar seraya menatap tajam satpam tersebut.
“Panggilkan Bimo Satrio Rahardjo!” teriak Alika yang mengundang perhatian semua orang di loby kantor. Panggilan ‘MAS’ yang selama ini selalu ia ucapkan ketika memanggil Bimo sudah hilang entah kemana setelah mendengar kabar bahwa pria itu sudah mencetak undangan pernikahan mereka sedangkan ia sendiri belum menyetujui perjodohan tersebut.
“Maaf, Mba. Ada keperluan ap-”
"Panggilkan!” teriak Alika kembali memotong perkataan seorang resepsionis yang menghampirinya. Mendengar teriakan Alika dan kegaduhan yang dibuat oleh wanita itu membuat sang resepsionis menatap satpam yang berdiri di antara mereka lalu menganggukkan kepalanya, satpam yang mengerti kode tersebut segera menyeret Alika untuk keluar dari gedung perusahaan milik Bimo.
“Lepasin!!!” teriak Alika kembali seraya terseok-seok mengikuti langkah satpam yang menyeretnya namun perkataan Alika tidak dihiraukan oleh satpam tersebut hingga suara bariton seorang pria terdengar menggema di loby kantor tersebut.
"LEPASKAN CALON ISTRIKU!!!” Suara bariton seorang pria menggelegar di loby kantor, membuat semua orang mematung seketika, bahkan Alika begitu terkejut mendengar suara yang menggelegar tersebut, ia segera menoleh ke arah sumber suara dan mendapati seorang pria yang menjadi tujuan utamanya menginjakkan kaki di gedung tersebut.
Bimo, pria yang meneriakkan bawahannya beberapa detik yang lalu itu segera berjalan menghampiri Alika, semua karyawan yang berada di loby tersebut segera menundukkan pandangan dan membungkukkan tubuhnya ketika Bimo berjalan melewati mereka.
“Ada apa?” tanya Bimo dengan ekspersi datar di wajahnya ketika ia sudah berdiri di antara satpam dan resepsionis yang menahan calon istrinya.
Alika bergeming mendengar pertanyaan Bimo, ia mengedarkan pandangannya karena saat ini ia dan Bimo menjadi pusat perhatian. Bimo mengikuti arah pandangan Alika.
“BUBAR!” teriak Bimo membuat semua orang berlarian kembali ke pekerjaan mereka sedangkan Alika masih berdiri di hadapannya, rasa amarah dan emosi yang beberapa menit lalu menguasai dirinya menguap entah kemana setelah mendengar Bimo yang menyebutkan bahwa ia adalah calon istri dari pria itu.
Bimo kembali memandangi Alika dan kembali bertanya. “Ada apa?” tanya Bimo yang kini membuyarkan lamunan Alika. Wanita itu mengumpulkan nafas sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Papa bilang kalau Mas Bimo udah cetak undangan pernikahan kita,” ucap Alika yang membuat Bimo mengerti maksud dan tujuan wanita itu mencarinya di kantor.
“Sebaiknya kita bicarakan hal ini di ruang kerja saya,” ucap Bimo lalu pergi dari hadapan Alika, Alika kembali mengatur nafasnya, ia tidak ingin emosi menguasai dirinya seperti beberapa menit yang lalu hingga menjadikannya pusat perhatian, sebenarnya Alika benci ketika ia menjadi pusat perhatian.
Alika berjalan mengikuti Bimo yang memasuki lift. Di dalam lift ia hanya terdiam di belakang pria yang memiliki tubuh tegap tersebut sedangkan Bimo tengah sibuk mengecek beberapa laporan yang masuk ke dalam email di tab nya.
Ting.
Pintu lift terbuka, Bimo berjalan keluar menyusuri lorong lantai gedung tersebut lalu berbelok ke kanan, memasuki sebuah ruangan yang begitu luas dan terlihat sangat elegan, Alika hanya bisa terkesima melihat design ruangan tersebut, bahkan pemandangan kota Yogyakarta dapat ia lihat dari ruangan itu dengan begitu jelas.
Bimo berjalan menghampiri sofa yang terletak di sudut ruangan sebelah kiri sedangkan sudut ruangan sebelah kanan adalah meja kerjanya, Alika masih bergeming di depan pintu hingga Bimo mendudukkan diri di sofa tersebut.
“Duduklah,” ucap Bimo seraya menatap lurus ke arah putri semata wayang dari sahabat kedua orang tuanya.
Alika berjalan menghampiri Bimo lalu meletakkan Louis Vuitton Bag miliknya di atas meja kaca yang terletak di depan sofa tersebut.
“Langsung aja,” ucap Alika yang telah meletakkan Louis Vuitton Bag nya lalu beralih menatap ke arah Bimo, pria yang digadang-gadang oleh sang ayah untuk menjadi suaminya.
“Papa bilang sama aku kalau kita mau dijodohin,” ucap Alika yang diangguki oleh Bimo, pria itu duduk begitu gagahnya di mata Alika dengan satu lengan yang ia letakkan di atas lutut sebelah kiri dan hal itu sukses membuat Alika sedikit gugup, ia memang tidak ingin mengenal cinta kembali, namun ia bisa apa jika dihadapkan dengan sosok Bimo Satrio Rahardjo yang begitu tampan, kaya, terkenal dan memiliki tubuh begitu atletis.
“Terus atas dasar apa Mas Bimo udah cetak undangan pernikahan kita kalau aku sendiri belum menyetujui perjodohan itu?” tanya Alika dengan kesal.
“Belum?” tanya Bimo dengan sudut alis yang terangkat.
“Belum bukan berarti tidak. Berarti kamu bersedia menerima perjodohan ini, bukan?”
Skakmat.
Pertanyaan Bimo membuat Alika gelagapan.
“Ng-nggak mak-maksud aku-”
“Saya tahu kamu tidak akan bisa menolak perjodohan ini. Lagipula apa yang membuat mu menolak perjodohan ini?” tanya Bimo kembali membuat Alika menatap tajam ke arah pria tersebut. Pria itu terlalu percaya diri jika Alika tidak bisa menerima perjodohan itu.
“Aku sama sekali nggak berminat sama semua hal yang berbau tentang cinta, pacaran, menikah terus berumah tangga apalagi punya anak!” ucap Alika dengan menekan penuh setiap perkataannya. Bimo menegakkan tubuhnya mendengar pernyataan dari Alika, menatap ke arah meja kerjanya lalu kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
“Apa yang membuat mu tidak berminat?” tanya Bimo lalu kembali memusatkan pandangannya pada Alika.
Alika kembali gelagapan, entah mengapa ia tidak sanggup berlama-lama menatap sepasang mata tajam milik Bimo meskipun ia sudah mengenal pria itu selama dua puluh tahun ia hidup.
Alika menundukkan wajahnya sedangkan Bimo menunggu jawaban dari wanita itu. Beberapa menit telah berlalu di antara mereka hingga Bimo berdehem keras yang membuat Alika mendongak lalu kembali menundukkan wajahnya.
“A-aku takut dikhianatin lagi ... ,” ucap Alika dengan lirih yang masih dapat didengar oleh Bimo.
Bimo dapat mengerti ketakutan dari wanita yang sedang duduk di hadapannya saat ini, ia mengetahui tentang sepak terjang percintaan Alika selama ini, dua tahun yang lalu wanita itu dikhianati oleh seorang pria yang berstatus sebagai kekasihnya.
Alika menghembuskan nafasnya dengan perlahan lalu mendongakkan wajahnya menatap Bimo yang masih setia memandanginya.
“Apa yang Mas tawarin buat jadi suami aku?” tanya Alika, sejujurnya ia masih begitu membutuhkan sosok seorang pria dalam hidupnya namun ia takut jika kembali tersakiti, maka dari itu ia enggan berurusan dengan semua hal yang berbau tentang cinta jika lagi-lagi di akhir cerita ia harus merasakan sakit hati akibat pengkhianatan.
Bimo memandang Alika begitu lekat hingga sebuah pertanyaan terlontar dari bibirnya. “Apa yang kamu inginkan?”
“Kesetiaan,” jawab Alika dengan yakin, persetan dengan cinta dan segala hal, yang ia butuhkan hanya kesetiaan, karena dengan kesetiaan maka Bimo tidak akan mengkhianatinya jika pria itu dapat memberikan kesetiaan untuknya.
“Baiklah,” jawab Bimo dengan tegas yang membuat Alika sedikit terkejut dan terperangah dengan sanggupan pria itu, namun beberapa detik kemudian sepasang matanya menyipit menatap pria yang ada di hadapannya saat ini.
“Dengar, Mas. Jangan harap aku akan mencintai Mas Bimo meskipun pernikahan ini tetap terjadi.”
Ya, Alika akan membatasi hatinya, ia lelah untuk berjuang kembali, ia lelah berjuang sendiri, bolehkah untuk saat ini ia menjadi egois dengan tidak memikirkan perasaan orang lain?
“Saya tidak mengharapkan cinta dari kamu. Saya hanya ingin kamu menjadi istri saya dan selalu di samping saya. Saya juga akan berperan selayaknya seorang suami,” ucap Bimo, ia memang tidak membutuhkan hal bernama cinta tersebut, yang ada di pikirannya saat ini hanya menyanggupi keinginan sang ibu, menjalani hidup seperti manusia pada umumnya yang memiliki pasangan dan menikah.
“Baiklah, asalkan Mas setia dengan ku, aku akan menemani Mas bagaimanapun keadaan Mas nanti.” Alika mengatakan hal tersebut seolah kalimat itu adalah sumpah dan janjinya kepada sang calon suami, jika dipikirkan kembali ia tidak akan menyesali sumpahnya itu jika Bimo dapat memberikan kestiaan kepadanya, karna baginya kesetiaan mahal harganya.
Perkataan yang diucapkan oleh Alika membuat Bimo sedikit tersenyum tipis dan senyuman itu tidak dapat ditangkap oleh indera penglihatan Alika, hanya Bimo yang dapat mengetahuinya.
“Ya udah, Mas janji dulu,” ucap Alika membuat sudut alis Bimo terangkat.
“Janji buat setia sama aku,” lanjut Alika.
“Saya berjanji,” ucap Bimo begitu tulus namun Alika tidak puas mendengar perkataan tersebut.
“Masa cuma ‘Saya berjanji’ doang? Harusnya Mas bilang begini ‘Mas janji akan setia dan nggak akan khianatin kamu’ gitu,” ujar Alika lalu melipat kedua tangannya di depan d**a, pertanda bahwa wanita itu sedang kesal.
Bimo hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang calon istri meskipun hal seperti ini sudah biasa baginya mengingat mereka yang berteman sejak kecil meskipun tidak terlalu akrab.
“Kita akan menikah minggu depan,” ujar Bimo lalu bangkit dari duduk nya tanpa menghiraukan permintaan Alika, baginya ia sudah berjanji kepada wanita itu, just it.
“HA?!” Alika terpekik di tempat ia duduk sedangkan Bimo berjalan menghampiri meja kerjanya, pria itu segera menekan interkom yang menghubungkan nya kepada sekretaris yang bekerja selama dua tahun di kantor tersebut.
“Apa saja jadwal saya hari ini?” tanya Bimo melalui interkom tersebut.
Alika masih mematung di tempat seraya menatap punggung Bimo dari belakang. Setelah beberapa menit berbincang dengan Maria membahas tentang jadwal nya hari ini, Bimo membalikkan tubuh dan hendak beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut namun ia terhenti ketika menatap Alika yang masih duduk di sofa.
“Kamu belum pulang?” tanya Bimo dengan heran membuat Alika mengerjapkan matanya lalu bangkit berdiri.
“Mas bilang pernikahan kita minggu depan?” tanya Alika yang sudah berdiri di hadapan Bimo sedangkan pria itu mengangguk menjawab pertanyaan dari Alika.
“Persiapannya gimana?”
“Kamu tenang saja, saya sudah mengurus semuanya bersama ibu saya, kamu hanya perlu duduk manis,” ucap Bimo lalu berjalan keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan Alika yang masih berpikir hingga senyum wanita itu terbit.
“Aku harus ngundang cowok b******k itu!”