Hari demi hari berlalu dan pagi ini rumah Alika dan Bimo sudah terpasang tarub, bleketepe dan juga tuwuhan. Tarub tersebut memiliki arti sebagai atap sementara atau peneduh rumah.
Bleketepe juga sudah terpasang yang menandakan pemilik rumah sedang melakukan acara pernikahan. Bleketepe, Tarub dan Tuwuhan ini juga menjadi simbol tolak bala. Bleketepe adalah anyaman yang terbuat dari daun kelapa sedangkan Tarub merupakan rumah-rumahan yang beratapkan daun kelapa. Sementara Tuwuhan atau tumbuh-tumbuhan terdiri dari batang pohon pisang raja yang berbuah, tebu wulung, kelapa muda, daun randu atau batang padi, berbagai jenis daun-daunan dan janur kuning.
Jika Tarub dipasang di pintu gerbang kediaman calon mempelai maka lain hal nya dengan Tuwuhan yang terpasang di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang.
Pemasangan bleketepe, tarub dan tuwuhan berisi harapan pasangan yang akan segera menikah. Diharapkan calon pengantin memperoleh keturunan yang sehat, berbudi baik, berkecukupan dan selalu bahagia.
Setelah semalam tarub, bleketepe dan tuwuhan sudah terpasang, pagi ini sedang dilangsungkan acara siraman. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh pagi, acara siraman sengaja dipilih oleh kedua belah pihak keluarga mulai pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga siang karena pada pukul itu diyakini sebagai saat ketika bidadari turun ke bumi untuk mandi. Pengantin membawa kesan cantik, tentu sangatlah tepat apabila proses ‘mandi’ atau siraman dari pasangan pengantin tersebut dilakukan bersamaan dengan para bidadari.
Siraman berartikan ‘mengguyur’. Siraman memilik makna pembersihan secara fisik maupun mental bagi kedua pengantin yang akan menikah. Hal ini bertujuan untuk membersihkan segala hal negatif yang dianggap menganggu proses pernikahan dan ijab kabul.
Selain penyucian diri, siraman juga memiliki makna memohon petunjuk serta rahmat Tuhan Yang Maha Esa untuk perjalanan kehidupan pernikahan kedua pengantin. Selama proses siraman berlangsung, dilantunkan do’a-do’a guna memohon keselamatan dan anugrah. Siraman juga menjadi tanda bahwa pasangan pengantin telah bertekad bulat dan siap untuk berperilaku bersih, baik perkataan, perbuatan maupun pikiran.
Kembang setaman sudah ditaburkan pada wadah berisi air yang akan digunakan untuk acara siraman. Kemudian dua buah kelapa yang terikat juga sudah dimasukkan ke dalam wadah air untuk siraman.
Saat ini Bimo dan Alika sudah mengganti pakaian adat untuk melakukan siraman di kediaman nya masing-masing. Seseorang utusan dari pihak keluarga Alika membawakan air siraman atau banyu perwitasari untuk dicampur ke dalam air siraman yang dimiliki oleh Bimo.
Bimo dan Alika dijemput oleh orang tua mereka dari kamar pengantin, mereka diantarkan dan digandeng menuju ke tempat siraman sementara para pinisepuh mengiring dari belakang sembari membawa ubarampe (jarik grompol satu lembar, nagasari satu lembar, handuk serta padupan)
Acara dimulai dengan do’a-do’a lalu Mahendra melakukan proses penyiraman pada Alika menggunakan air yang telah disiapkan dikemudian sedangkan Prasetyo dan Lastriana melakukan proses penyiraman pada Bimo lalu terakhir pinisepuh yang akan melanjutkan penyiraman sekaligus memberikan berkah kepada Bimo dan Alika.
Pada akhir acara upacara siraman, juru rias diminta untuk mengeramasi Bimo dan Alika dengan landha merang, santen, kanil serta banyu asem. Kemudian tubuh Bimo dan Alika akan diluluri dengan konyoh lalu dibilas kembali hingga bersih. Setelah itu Bimo dan Alika pun akan berdo’a.
Selanjutnya juru rias mengucurkan air dari dalam kendi yang digunakan Bimo dan Alika untuk berkumur sebanyak tiga kali pada kepala Bimo dan Alika, mereka juga diminta untuk membersihkan wajah, leher, telinga, tangan dan kaki sebanyak tiga kali hingga air kendi habis. Lalu juru rias memecahkan kendi itu di hadapan orang tua mempelai seraya berkata, “Wes pecah pamore. (Sekarang sang pengantin siap untuk menikah)”. Selanjutnya Bimo dan Alika dibawa kembali ke kamar pengantin dengan digandeng oleh orang tua masing-masing.
Setelah acara siraman kini acara dilanjutkan dengan Ngerik. Ngerik adalah menghilangkan rambur-rambut halus di sekitar dahi agar wajah menjadi bercahaya. Prosesi itu mengandung makna membuang berbagai hal buruk yang pernah menimpa calon pengantin supaya pada saat memasuki gerbang pernikahan, pengantin benar-benar bersih lahir batin.
Sejak acara Siraman hingga Ngerik yang dilakukan hingga pukul enam malam, kini tiba saatnya acara Midodareni.
Midodareni sendiri berasal dari kata Widodari atau Bidadari. Prosesi ini merupakan laku prihatin calon mempelai wanita dalam menghadapi pernikahannya esok pagi. Malam ini Alika dirias dengan riasan sederhana. Kini ia tengah ditemani oleh bibi dan saudara perempuannya. Setelah para kerabat Alika memberikan restu kini dilangsungkan juga prosesi tantingan, di mana ayah calon pengantin wanita akan menanyakan kemantapan hati putrinya untuk berumah tangga.
Mahendra memasuki kamar yang digunakan Alika dan para kerabat perempuannya untuk melakukan proses Midodareni. Ketika pintu kamar terbuka ia dapat melihat sosok sang putri yang tengah tersenyum kepada adik dan juga keponakan Mahendra.
“Papa,” panggil Alika kala melihat sang ayah yang berdiri di ambang pintu. Mahendra segera melangkah masuk setelah ia menutup pintu.
“Gimana rasanya mau nikah besok?” tanya Mahendra yang kini sudah duduk di hadapan sang putri.
Alika tersenyum mendengar pertanyaan dari sang ayah. “Um ... gimana ya?” pikir Alika membuat bibinya menggelengkan kepala melihat tingkah keponakannya tersebut.
“Ya ... biasa-biasa aja, Pa,” jawab Alika akhirnya membuat Mahendra menggelengkan kepala seraya tersenyum.
“Papa cuma mau tanya, kamu yakin mau nikah sama Bimo?” tanya Mahendra meskipun ia rasa sudah terlambat menanyakan hal tersebut.
“Yakin ngga yakin, toh pernikahannya bakal berlangsung juga kan, Pa?” tanya Alika tanpa menjawab pertanyaan dari Mahendra membuat pria itu kembali tersenyum.
“Papa nanya, kamu yakin apa ngga? Kenapa malah kasih pertanyaan balik ke Papa?” tanya Mahendra membuat Alika terkekeh.
“Yakin, Pa,” jawab Alika yang membuat Mahendra terkejut sedangkan para keponakan Alika dan bibinya hanya memperhatikan interaksi ayah dan anak tersebut.
“Apa yang buat kamu yakin?”
“Mas Bimo bilang nggak bakal nyelingkuhin aku.”
“Udah? Gitu doang?” tanya Mahendra tidak percaya. Putrinya menerima perjodohan ini hanya karena Bimo tidak akan menduakannya?
“Iya,” jawab Alika seraya tersenyum.
“Alika cari suami yang kayak Papa, yang setia,” ucap Alika kembali membuat hati Mahendra terenyuh, ia tidak menyangka bahwa sang putri mencari calon suami yang seperti dirinya.
“Kalau suatu saat nanti Bimo jatuh miskin atau cacat atau-”
“Papa do’a nya jelek,” ucap Alika dengan cemberut.
“Papa kan cuma bilang seandainya,” ucap Mahendra, ia meragukan kemantapan hati sang putri untuk menikah dengan Bimo yang hanya bermodalkan ‘tidak akan selingkuh atau mendua’
“Asalkan Mas Bimo bisa setia sama aku, aku bakal terima dia apa adanya, Pa,” ucap Alika akhirnya.
“Yakin?” tanya Mahendra menggoda.
“Yakin lah, Pa. Pokoknya setia itu mahal harganya,” jawab Alika dengan mantap yang membuat Mahendra terkekeh. Putrinya benar-benar menuruni sifat mendiang sang istri, tidak peduli dengan dia yang dulunya adalah lelaki miskin namun mendiang istrinya menerima segala kekurangannya asalkan ia setia kepada wanita itu.
“Kamu mirip sama mama kamu,” ucap Mahendra dengan tersenyum.
“Iya dong, kan aku anak mama.”
“Bukan anak Papa?” goda Mahendra membuat Alika cemberut, ia segera memeluk pri ayang selama ini menghujaninya dengan kasih sayang tersebut.
“Ya anak Papa juga, tapi kan sifat aku nurun dari mama semua,” jawab Alika membuat Mahendra lagi-lagi terkekeh.
“Papa sama mama sayang sama kamu,” ucap Mahendra seraya tersenyum. Ia bangga karna telah membesarkan Alika hingga saat ini, menjadikan putrinya tersebut wanita yang begitu cantik dan baik seperti mendiang sang istri.
Hah ... Andaikan istrinya ada di sampingnya saat ini, mungkin kebahagiaannya akan semakin bertambah mengingat besok ia harus melepaskan putrinya kepada pria yang sudah ia percaya sejak awal. Pikir Mahendra.
“Aku juga sayang sama Papa sama mama,” ucap Alika dengan tersenyum.