Episode 11 : Ancaman Gress Dan Masuk Angin

1547 Kata
“Apa yang kita lakukan ke orang lain, juga akan kembali ke kita, meski enggak langsung dari orang yang sama?” Episode 11 : Ancaman Gress Dan Masuk Angin ***  Keandra : Aku rasa, Gress memiliki maksud tidak baik pada hubunganmu dan Daniel. Pesan dari Keandra langsung membuat Rina terjaga. Rina yang sudah duduk selonjor di tengah-tengah tidur, menjadi gelisah. Padahal, awalnya, Rina yang bersiap untuk tidur, sedang berkirim pesan juga dengan Daniel. Kenyataan tersebut pula yang membuat Rina langsung membaca pesan dari Keandra. Karena meski Keandra tak semenyebalkan dulu, pria itu tak lagi memaksanya menerima cinta Keandra lagi, dan Keandra hanya mengharapkan Rina sebagai keluarga, tapi menjaga jarak dengan pria lain khususnya pria yang pernah mengejarnya, merupakan salah satu cara Rina dalam menjaga hubungannya dan Daniel. Setelah sempat merasa resah bahkan gelisah, Rina yang sampai menggigit kuat-kuat bibir bawahnya, meneruskan pesan tersebut kepada Daniel. Dan ketika pesan tersebut sudah langsung mendapat keterangan dibaca atas adanya tanda dua centang biru, rasa takut Rina menjadi kian menggebu. Napas Rina sampai memburu saking takutnya Gress merusak hubungannya dengan Daniel. Apalagi sejauh ini, segesit apa pun menghindari wanita itu, Gress tipikal yang sangat nekat. Bisa-bisa, Gress menjebak Daniel maupun Rina, Gress akan melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuannya yaitu menghancurkan hubungan Rina dan Daniel. Keandra : Maafkan aku. Tapi aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menahannya. Namun, kita sama-sama tahu, Gress seperti apa? Pesan lanjutan dari Keandra, sukses menghancurkan perasaan Rina. Rina bahkan tak kuasa mengendalikan air matanya untuk tidak mengalir atas kesedihan yang langsung menerpa. Sungguh, Rina tidak mau kehilangan Daniel, apalagi semua orang khususnya keluarga, sudah mengetahui hubungan mereka. Keluarga besar mereka sudah dekat, sedangkan sejauh ini, hubungan Rina dan Daniel juga ibarat amplop dan perangko yang tidak bisa dipisahkan. Sekitar tiga menit kemudian, panggilan video dari Daniel, sukses mengusik Rina. Awalnya, Rina menolak panggilan tersebut. Namun, karena Daniel kembali melakukannya, menghubunginya melalui panggilan video, Rina terpaksa menjawabnya. “Aku ingin melihat wajahmu. Jangan diarahkan ke langit-langit.” Suara Daniel terdengar lirih. Ada kesedihan berikut kecemasan yang Rina dapati dari suara Daniel kali ini. “Beb?” “Kamu lagi nangis, ya?” “Sudah biarin saja.” “Nanti kalau dia sudah capek, dia juga akan pergi sendiri.” “Tapi kan kamu tahu sendiri, gimana dia? Gress orang yang seperti apa?” balas Rina telanjur merajuk. Rina belum mau meraih ponselnya apalagi membiarkan Daniel melihat wajahnya yang sedang menangis. Sebab, Rina memang tidak mau itu sampai terjadi. Antara malu, dan bisa semakin sedih, jika ia membiarkan Daniel melihatnya ketika sedang menangis. “Terus aku harus bagaimana? Kamu maunya aku bagaimana? Masa iya, aku harus marah-marah enggak jelas ke dia, terus layangin somasi apa bagaimana? Orang macam dia, kalau ditanggepin malah makin melunjak, Beb!” lanjut Daniel masih sarat pengertian. “Sudah, biarin saja. Aku tahu ini bikin kamu sangat enggak nyaman. Namun, membiarkan dia memang satu-satunya cara, agar dia lelah. Biarin pokoknya!” lanjut Daniel lagi. “Ya sudah. Sekarang, aku mau lihat kamu tidur.” Rina yang belum merasa puas dengan tanggapan mereka, buru-buru menambahi. “Kalau Gress benar-benar berulah?” “Bia-rin!” tegas Daniel dari seberang yang sampai seperti belajar mengeja. Rina masih belum bisa semangat apalagi yakin. Kenyataan tersebut pula yang membuat Daniel kembali bersuara. “Beb, ayolah ….” “Belum. Aku belum yakin. Aku masih takut.” Rina bahkan tidak berani menatap ponselnya. Ia dapati, wajah Daniel yang memenuhi layar ponselnya, tampak sangat gelisah. Daniel bahkan berulang kali menghela napas sambil sesekali mengacak asal kepalanya. Sampai-sampai, rambut Daniel yang sudah kembali dipotong rapi, menjadi berantakan dan cukup awut-awutan. “Kalau aku enggak boleh lihat wajah kamu,” ujar Daniel dari seberang. “Bukan enggak boleh, tapi belum boleh,” ucap Rina buru-buru mengoreksi, di tengah air matanya yang masih sibuk berlinang. “Iya. Maksudku itu. Kalau aku belum boleh lihat wajah kamu, kamu nangisnya udahan, ya? Atau, aku ke sana?” lanjut Daniel masih berusaha membujuk Rina. “J-jangan!” Rina langsung panik kebingungan. Namun, ia masih enggan untuk meraih ponselnya dan memuat Daniel melihat wajahnya. “Kok, jangan?” balas Daniel dengan nada bingung. “Kalau Kakak sampai ketemu Gress, gimana?!” balas Rina cepat. “Memangnya kenapa?” “Iiih, aku cemburu!” “Kok cemburu? Kan aku enggak ngapa-ngapain? Aku cuek ke Gress bahkan wanita lain, lho ... Beb? Kamu bahkan tahu sendiri, kan?” “Tapi aku tetap cemburu, Beb! Pokoknya, aku cemburu, apalagi sekarang aku tahu, Gress rese ke kita!” Meski Daniel masih bertutur sabar, tapi Rina langsung membalasnya dengan nada suara yang masih meledak-ledak. Bahkan kali ini, Daniel yang tidak langsung menjawab, terdengar pasrah dan mengalah. “Oke. Aku salah. Terus, kamu maunya, aku gimana?” “Masukin oven apa gimana itu si Gress!” “Bisa diatur Beb. Sudah, ya. Kamu jangan nangis lagi. Jangan sampai, keadaan ini bikin kamu stres, dan justru bikin hubungan kita jadi kurang harmonis. Mengenai Gress atau pun semua yang berusaha merusak hubungan kita, biarin. Kita lakukan yang terbaik buat kita. Kamu tahu sendiri, kan, apa yang kita lakukan ke orang lain, juga akan kembali ke kita, meski enggak langsung dari orang yang sama?” Rina masih menjadi penyimak yang baik. “Jalani saja. Memang enggak mudah. Tapi percaya, pasti selalu ada jalan. Yang namanya pohon, semakin tinggi pohon itu, semakin kencang pula, terpaan angin yang harus dihadapi.” “Tapi, rasanya aku tetap emosi. Rasanya aku ingin ngamuk ke Gress!” Rina masih belum bisa mengontrol emosinya. Daniel tak lantas membalas. Pria itu menghela napas dalam, sebelum akhirnya berkata, “ya sudah. Bunuh saja Gress. Kamu bikin tulisan, atau gambar, terus jadikan Gress tokoh teraniaya, yang meninggal secara tragis. Seenggaknya, itu bisa bikin kamu merasa lebih lega.” Balasan Daniel barusan, cukup menjadi penawar kemarahan Rina. Rina setuju dengan solusi yang Daniel berikan. Dan Rina, benar-benar akan melakukannya, membuat Gress mati tragis di tulisan sekaligus gambar yang ia buat. Memang terkesan konyol bahkan naif, tapi sungguh, orang semacam Gress talanjur membuat Rina gondok. Nyatanya, pria menjengkelkan seperti Keandra saja sampai pasrah dan memang kalah menghadapi Gress. Apalagi Rina dan Daniel yang tipikal ‘manusia lurus’ tanpa banyak ulah? ****  Di tempat berbeda, Ipul tak hentinya muntah-muntah. Sampai-sampai, Rena yang kebingungan, memutuskan untuk meminta bantuan tim yang mengurus preweddingnya. “Kamu kenapa, Pul?” tanya fotografer yang langsung menghampiri Ipul lebih dulu. “Masuk angin, kayaknya. Aku kan belum pernah main ke pantai atau laut, dan sampai berenang, apalagi anginnya kenceng banget!” balas Ipul yang sudah lemas tak berdaya seperti orang teler. Ipul tengkurap di tengah-tengah kasur kamar tempatnya menginap. “Oalah, masuk angin, Ren!” ujar semuanya sambil megangguk-angguk mengerti. Rena yang duduk di tepi tempat tidur Ipul, persis di sebelah pria itu, berangsur beranjak meninggalkan Ipul. “Ya sudah, aku carikan obat dulu!” “Wedang jahe, Ren. Atau, tolak angin kan banyak. Obat-obat herbal gitu,” ujar si fotografer. Kedua asisten fotografer yang berdiri di sebelah sang fotografer, memutuskan untuk mengambil alih tujuan Rena. Keduanya melarang Rena pergi, karena merekalah yang akan mencarikan obat masuk angin untuk Ipul. Apalagi, selain Ipul langsung melarang Rena pergi, suasana malam di sana cukup tidak aman jika Rena pergi sendirian. “Aku enggak perlu obat. Cukup kerokin saja. Tuh di tas ada minyak angin, Beb. Tolong, Beb! Oleng aku! Mumet, muter-muter semua ini!” keluh Ipul yang terus saja bersendawa, sambil memegangi kepalanya. Rena tetap kebingungan. Ia yang hanya tinggal ditemani sang fotografer, menanyakan banyak mana caranya kerokan seperti yang diminta Ipul. “Kerok pakai golok, Ren, biar cepat!” ujar si fotografer dan membuatnya mendapati ekspresi ngeri di wajah Rina yang masih menyimaknya. “Matilah aku kalau pakai golok! Kamu pikir, aku ini hewan qurban! Pakai koin, Beb. Diolesin pakai minyak angin dulu, punggungku. Atau, kalau kamu masih ragu coba lihat di youtube, cara kerokan. Pasti ada.” Meski sudah menggunakan jaket tebal, bahkan Ipul sampai menutup sekujur tubuhnya menggunakan selimut tak ubahnya bungkusan nangka, tapi tubuh Ipul masih saja menggigil hebat.  Rena yang masih kebingungan, memutuskan untuk segera menunaikan titah Ipul. Ia segera berlari menuju ransel Ipul dan menemukan minyak angin dari sana. “Buka bajumu, Beb!” ucap Rena sambil melangkah tergesa mendekati Ipul. Sang fotografer yang ada di sana, tidak tinggal dia. Ia membantu Ipul membuka baju. Namun, baru juga membuka selimutnya, aroma busuk tercium dari sana, disusul rentetan kentut yang tak hentinya terdengar dari p****t Ipul. Tak hanya sang fotografer bernama Dio, yang langsung mundur menghindari Ipul sambil menekap hidung. Sebab hal yang sama juga Rena lakukan. “Jorok kamu, Pul! Itu p****t, apa granat!” omel Dio sambil menatap tak habis pikir Ipul yang masih saja tengkurap dan kali ini nungging ke arahnya dan Rena. “Tutup … tutup lagi saja!” ujar Rena kepada Dio. Dio menatap enggan Rena. “Kamu sajalah. Dia kan calon suamimu! Kalau cinta, kentut busuk pun jadi wangi, kan?” ujarnya sengaja menggoda Rena. “Wangi kepalamu! Aku saja sudah pengin muntah!” omel Rena. Di tengah kenyataanya yang sudah ingin muntah, Dio menjadi tertawa lepas hanya karena balasan Rena. “Aku kentut begini karena masuk anginku sudah parah. Perutku sudah kembung parah. Dan kalau dibiarkan, aku bisa sampai muntahber. Ayo dong, tolong kerokin.” Ipul tak hentinya merengek. Masalah tak hanya dari kentut Ipul yang terus berentet dan membuat udara di sana tercemar dengan aroma busuk, sampai-sampai, Dio sibuk membuka jendela bahkan pintu kamar hotel Ipul. Sebab, Rena yang baru pertama kalinya membantu orang kerokan juga sampai membuat punggung Ipul lecet. “Pedes, Beb! Kayaknya sudah sampai lecet, itu! Pindah-pindah!” keluh Ipul. Dio yag penasaran dan awalnya sengaja menunggu di luar pintu di mana ia hanya mengamati dari kejauhan demi menghindari bau busuk kentut Ipul, bergegas masuk untuk memastikan. Tentunya, ia melakukannya sambil menekap kuat hidungnya. “Tapi kata kamu, harus sampai merah, Beb?” ujar Rena yang lagi-lagi bingung. Dio telah berdiri di sebelah Rena. “Astaga, Ren. Itu beneran sudah lecet parah. Itu bukannya belum merah. Tapi karena kulit Ipul yang kelewat gelap, jadinya susah dibedakan.” Rena langsung syok. “Astaga … sori, Beb! Aku lupa, kalau aku juga enggak pakai softlens! Maaf maaf.” “Ya ampun … pantesan perih banget!” rengek Ipul. Meski iba, tapi baik Rena maupun Dio, sama-sama menahan tawa atas kecerobohan yang telah Rena lakukan, berikut keapesan yang tak kunjung meninggalkan Ipul dalam kondisi apa pun! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN