Segala sesuatu bisa dilakukan hanya dengan bermodalkan uang. Tadinya kukira itu hanya sebatas omong kosong saja. Tak kusangka, harga diri kedua orang tua Aruni bisa luntur hanya dengan sebuah tamparan segepok uang.
Mereka tega menjual anaknya sendiri.
Tapi tahu apa yang lebih gila? Ternyata Aruni sendiri tampak tak begitu keberatan secara tiba-tiba disunting seperti itu.
Niatku untuk mengajaknya kawin lari pupus begitu saja. Mana mau dia menghabiskan hidupnya dalam kemelaratan bersamaku? Mau mencari jalan seperti apa pun, segalanya berakhir dengan kebuntuan.
Jas hujan yang kukenakan sudah tak layak pakai. Air masih saja merembes masuk hingga membuat Sebagian bajuku basah.
Motor bebek tungganganku juga retak di body sebelah kirinya. Belum termasuk lampu penerangan yang terkadang mati di tengah perjalanan.
Pandanganku sendu menatap kontrakan reot dengan harga murah.
Murah untuk standar orang lain, tapi bagiku, nilainya adalah setengah dari gaji bulanan.
Sampai kapan aku akan terjebak dalam kondisi seperti ini? Perempuan mana yang mau dibawa hidup sulit tanpa ada kejelasan tentang masa depan?
Dunia memang tak adil.
Mungkin semua ini memang salahku. Aku terlalu lemah, tak sanggup melawan kekejaman semesta beserta isinya.
Untuk apa aku berjuang?
Sekadar bangkit di pagi hari pun aku merasa kesulitan. Langit-langit terlihat menyempit. Masa depan adalah sebuah ketidakpastian. Lorong gelap menantiku seakan bersiap menyambut dengan sejuta penderitaan.
Aku Lelah.
“Kau lemah,” seseorang mengucap entah dari mana.
Pandanganku tak menoleh ke mana pun. Aku sadar, ucapan itu datang dari isi kepalaku sendiri.
Mungkin benar apa kata Paman Wildan. Iya betul, aku lemah.
“Cengeng.”
Aku tahu. Tidak seharusnya aku menangis seperti ini.
Nah, baru sekarang aku menyadarinya. Kenapa aku sesenggukan begini?
Kenapa aku harus bersedih? Dunia ini kan bukan berisi Aruni semata. Masih ada miliaran perempuan lain di permukaan Bumi. Hilang satu Aruni bukan sebuah hal yang harus disesali.
Tapi tetap saja. Kenapa aku sedih? Kenapa hatiku sakit sekali? Aku seharusnya tidak merasa seperti ini.
Air mataku terus menerus mengalir. Lenganku terkepal erat menahan kesal.
“Kenapa?” Kau tak boleh sedih, Anggi. Kenapa kau itu lemah sekali?
Iya, aku memang lemah.
Aku tak pantas hidup.
Aku sudah Lelah.
Bangun di pagi hari, beranjak bangkit dari kasur saja merupakan sebuah perjuangan. Semangat untuk menjalani hari adalah sebuah kenangan jauh.
Aku hanya ingin tidur.
Tidur selamanya mungkin terdengar menyenangkan.
Tapi sanggupkah aku mengakhiri ini semua?
Kakiku gontai melangkah tanpa arah di bawah guyuran hujan. Aku meninggalkan kendaraanku untuk kemudian berputar-putar seperti orang linglung di pusat perbelanjaan.
Lanskap kota ini terlihat begitu indah. Sorot lampu kendaraan berkilauan sepanjang jalan. Tiap sudut bangunan pencakar langit memantulkan terangnya jalanan. Siapa sangka aku bisa naik ke atas sebuah bangunan apartemen meski bukan bagian dari penghuinya.
Hujan deras kini hanya menyisakan rintik kecil. Orang-orang di bawah sana terlihat kecil sekali.
Aku tinggal melompat.
Semuanya akan selesai. Aku tak perlu lagi disiksa oleh kesedihan ini.
Tiada hal lain yang perlu kusesali.
Cukup yakinkan aku menghantam beton dengan kepala terlebih dahulu. Dengan itu, maka tidak akan ada rasa sakit. Segalanya akan berakhir tanpa kusadari.
Kakiku berada di tepian pagar pembatas. Napasku kian tak beraturan. Adrenalin serasa memuncak.
—Aku takut?
Wajar saja, makhluk hidup mana pun pasti akan gentar kala dihadapkan pada kematian.
Namun ini adalah pintu menuju ketenangan. Suara-suara menyakitkan itu akan hilang untuk selamanya. Mau dilanjut pun rasanya percuma. Masa depanku terpampang jelas begitu nyata. Seumur hidup aku akan tetap menderita.
Maka memang sebaiknya diakhiri saja.
Aku harus melakukan ini.
Aku bukan seorang pengecut.
Aku— akan mati.
“Kau bukan pengecut.” Sesosok gadis mengucap di belakangku. Jelas sekali, kalimat barusan tidak berasal dari isi kepalaku.
Maka seketika itu aku berbalik. Mataku menangkap sosok perempuan dengan syal di lehernya. Dia berkacak pinggang seraya menghakimiku dengan sorot tajam mengiris. Rambut berwarna perak miliknya terlihat kontras dengan latar gelap di malam hari.
Bingung aku harus merespons apa. Ekspresiku mungkin terlihat melongo seperti orang b**o. Badanku hanya mematung memandanginya melangkahkan kaki memperpendek jarak di antara kami.
Pada situasi seperti ini, biasanya orang yang hendak bunuh diri pasti akan melakukan semacam perlawanan kan? Aku yakin gadis ini pasti akan membujukku agar mengurungkan niat ini. Beragam motivasi busuk serta keindahan dunia niscaya terlontar dari mulutnya.
“Dunia ini tidak adil,” ucapnya memulai pembicaraan.
Ini kedua kalinya aku dibuat terperangah. Ucapannya persis seperti perulangan yang terus menerus terngiang di kepalaku. Suara-suara menyebalkan itu sampai detik ini masih saja terdengar di antara derau suara perkotaan disertai angin malam.
Pandangan mata kami berdua bertemu. Ada semacam jeda hingga akhirnya dia kembali mengucap,
“Kau tak akan mati meski meloncat dari sini.”
“Maaf?” Aku memintanya mengulangi kalimat barusan. Tapi jemarinya malah menunjuk ke bawah.
“Lihat kolam renang itu? Badan kamu akan tergeser sejauh lima belas meter ke arah utara, lalu tercebur ke permukaan air. Kamu tidak akan mati, tapi jelas beberapa tulang rusuk patah, ulu hati pecah, lalu telinga kananmu mengalami ketulian akibat hantaman keras.”
Analisisnya terlalu mendetail. “Kau pasti pintar dalam perhitungan kalkulus.” Prediksinya itu mungkin saja masuk akal. Karena udara malam ini memang terasa berembus cukup kencang.
Eh tunggu dulu, apa itu artinya dia berusaha membantuku agar sukses dalam membunuh diriku sendiri?
Perempuan dengan iris mata berwarna biru itu menatapku dengan sorot dingin. “Kau masuk rumah sakit, lalu ketika sadarkan diri, Aruni sudah menjadi istri sepupumu itu.”
Kalimat gadis ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Dia tahu tentang Aruni, juga permasalahan dengan Glen Typoli. Maka kupicingkan mataku, menaruh rasa penuh curiga,
“Siapa kau?”
“Hidupmu akan terus menyedihkan.” Ia memilih untuk mengabaikan pertanyaanku, “Trauma atas bunuh diri gagal ini akan membuatmu ciut dalam usaha lanjutan untuk mengakhiri hidup. Karier berubah stagnan sampai kau menginjak umur 40 tahun.”
“Kau cenayang?” ucapku setengah bercanda.
“Aku adalah dirimu dari masa depan. Kau bisa memanggilku dengan sebutan Rena.”
Dia bilang apa? Barusan rasanya aku mendengar informasi luar biasa.
Rena hanya menatapku dengan ekspresi wajah sedingin es. Mulutnya terkunci rapat tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Tentu saja aku tak bisa menganggap serius ocehan gadis delusional seperti itu. Sejenak aku tertawa kecil, “Maaf, kurasa omonganmu terlalu absurd untuk bisa dipercaya.” Mungkin dia terlalu banyak mengonsumsi anime atau literatur fiksi.
Rena tak memberiku respons lanjutan. Jujur saja, aku kagum akan betapa sempurna paras gadis itu. Sekilas dia terlihat seperti boneka.
Sorot wajah Rena kemudian berubah sendu. Tatapan itu menerawang jauh menuju batas cakrawala.
Jadi, kapan aku harus loncat? Pada saat ini, kurasa kehadiran gadis ini telah membuat segalanya terasa canggung.
Namun detik berikutnya, pagar pembatas tempatku berdiri tiba-tiba saja hancur.
Gadis itu mengayunkan lengannya keras, menjebol beton hanya dengan sebuah tinju.
Mohon maaf, tapi bukannya beton itu keras ya?
Eh tapi bukan itu fokusku. Badanku sekarang mulai oleng hilang keseimbangan.
Aaaaaaaaaa..! Kali ini aku benar-benar akan terjatuh. Mataku terpejam erat. Semoga saja aku tidak menghantam permukaan air di kolam renang. Kematianku haruslah cepat tanpa rasa sakit.
Tapi tidak. Badanku tidak melayang jatuh. Lenganku tertahan oleh sebuah genggaman erat.
Gadis itu menahan seluruh bobot tubuhku hanya dengan satu lengan saja. Dia bahkan menarik kembali diriku seperti orang mengangkat segelas air saja. Kemampuan fisik macam apa ini? Diameter tangannya tidak sedikit pun menyiratkan letak otot kekar. Mustahil bagi seorang gadis untuk bisa melakukan ini semua.
“Siapa… kau?” ucapku dengan suara bergetar. Wajar saja. Siapa yang tak gentar ketika berhadapan dengan manusia berkekampuan fisik abnormal sepertinya?
Dia bilang dia dari masa depan. Apa tujuannya datang ke sini adalah untuk membunuhku? “Apa aku akan menjadi pemimpin dari pemberontak melawan Skynet?” Mulutku mengucap meski dirundung takut.
“Kau terlalu banyak menonton film.” Gadis itu menurunkanku di tempat aman.
Sepatuku kembali bertumpu pada lantai.
“Jadi bagaimana?” Ia menyeringai.
Tanpa sadar kakiku melangkah mundur, buru-buru mengambil jarak aman. “Bagaimana apanya?" balasku dipenuhi kewaspadaan.
“Apa sekarang kau percaya padaku?”
“…mungkin?” jawabku sekenanya. “Apa di masa depan aku menjalani operasi kelamin dan menjadi seorang perempuan?”
Soalnya tadi dia bilang dirinya adalah aku.
Tapi wajahnya sama sekali tidak mirip denganku. Sosok Rena ini terlihat seperti blasteran orang Jepang dan Rusia. Putih kulitnya terlihat pucat sekali. Pun begitu, bentuk wajah yang oriental ini jauh berbeda dari ras kaukasian seperti orang-orang di Eropa.
“Tentu saja tidak, bodoh.” Rena sedikit menahan tawa. Ekspresi sedingin es itu mencair entah sejak kapan. “Ini adalah tubuh yang kupinjam dari—,” ucapannya terhenti.
“Dari..?” Mulutku menanti kelanjutan.
Wajah Rena kembali berubah serius. Gadis itu terdiam seraya bertopang dagu. “Ini aneh, ingatanku akan masa depan terasa memburam. Aku tak bisa mengingat beberapa hal.”
“Tapi kau ingat tujuanmu kemari?”
“Tentu saja,” jawabnya mantap.
“Untuk?” Aku kembali memancing. Setidaknya aku tahu, dia tidak berniat untuk mencelakaiku.
Rena menjawabnya dengan seringai di wajah. Mulutnya mencipta senyum tak simetris,
“Untuk menyelamatkan dunia.”