Bab 3 : Namanya Rena

1133 Kata
Handphone-ku berdering, mengeluarkan notifikasi SMS terkait transfer dana masuk sebesar dua miliar rupiah. Napasku tertahan. Beberapa kali aku memeriksa layar itu, menghitung kembali jumlah nol yang ada di sana. “Anggap itu sebagai down p*****t atas kontrak di antara kita.” Rena menyilangkan lengan. Kami berdua duduk saling berhadapan. Ini pertama kalinya aku duduk di sebuah kedai kopi mahal. Lampu pencahayaan ruangan ini membuatku nyaman. Belum termasuk kursi sofa dan penyejuk ruangan yang mengampuniku dari udara lembap di perkotaan malam. “Ini bukan uang sedikit.” Aku masih belum bisa percaya. Apa dia anak orang kaya? Pantas saja dengan mudahnya ia mentraktirku kopi seharga ratusan ribu. “Kalau begitu biar kutambahkan,” ucapnya seraya mengukir senyum meremehkan. Detik berikutnya, tambahan sebesar satu miliar rupiah kembali masuk entah dengan cara apa. Mulutku nyaris menyemburkan Cofe Latte yang tengah diseruput. Apa-apaan dia ini. Aku tahu beberapa anggota keluargaku itu kaya raya dengan total asset bisa membuat geleng-geleng kepala. Tapi belum pernah kulihat mereka begitu saja mengirim uang senilai miliaran rupiah pada orang yang baru ditemui. Pun begitu, mungkin baginya aku bukanlah orang asing. Karena di awal pertemuan kami di atas gedung mal perbelanjaan, dia memperkenalkan diri sebagai perwujudan dari aku di masa mendatang. Sekilas terdengar absurd, namun tak ada salahnya untuk ditanyakan. Toh kami berdua seakan kehabisan topik pembicaraan. “Rena, kau mengaku sebagai diriku dari masa depan.” Aku memulai percakapan baru. “Kau masih belum percaya?” s***s itu membatalkan niatnya kala hendak menyeruput tepian cangkir. “Ummm… bukan begitu.” Bagaimana ya cara menjelaskannya? “Kurasa siapa pun akan kesulitan mempercayai hal seabsurd itu.” Kulihat Rena seperti menimang sesuatu, “Apa jumlah transferan itu tidak cukup meyakinkan?” “Akal sehatku masih bersikeras menganggapmu sebagai putri seorang konglomerat,” ucapku seraya menggelengkan kepala. Aku terlalu banyak membaca komik bertipe misteri, jadi batinku memupuk kecurigaan bahwa dia pasti menginginkan sesuatu sampai-sampai rela melempar uang sebanyak tiga miliar seperti halnya membuang bungkus gorengan. “Hey, aku bisa memegang lehermu, lalu mematahkannya dengan satu tangan saja.” Gadis itu mulai tersinggung. Ya, tentu saja aku tidak melupakan bagaimana dia dengan mudah menjebol tembok terbuat dari beton keras. “Kalau begitu kau benar-benar sesosok robot? Cyborg?” Mulutku menyelidik. Itu pengakuan Rena sendiri ketika pertama kali kita bertemu. Kusadari mulut gadis itu mendengus pelan. Aku paham, mungkin dia sendiri tengah merangkai kata yang bisa diterima oleh akal dan logika. “Boleh kutunjukkan sesuatu.” Telunjuknya kemudian mengarah pada televisi LCD di atas meja pemesanan. Di sana ada display menu beserta nomor antrean. Layar TV itu kemudian berubah tampilan. Seketika para pengunjung dibuat gelagapan kala menyadari bahwa sebuah film p***o tengah ditayangkan secara v****r. Tentu saja, pegawai di tempat itu panik bukan kepalang. Rena hanya tertawa. Lengannya kemudian bergerak seperti mengusap layar tak kasat mata sebatas d**a. Seluruh perangkat elektronik di sana kemudian mati hilang daya. Kekacauan itu pun terhenti dan karyawannya bisa kembali bernapas lega. “Aku bisa mengendalikan segala bentuk perangkat elektronik selama terhubung ke internet, atau jaringan lokal dengan ketersediaan nirkabel.” Rena menebar senyum mantap, seakan bangga karena telah membuat repot semua orang. Tanpa sadar aku gagal mengatupkan mulutku. Agak sulit rasanya mencerna kejadian aneh itu. Ketika Rena mengirimku sisa satu miliar, aku bersumpah menyaksikan dia tidak melakukan apa pun di hadapanku. Tidak ada interaksi dengan smartphone, komputer, atau semacam isyarat bagi kolaborator di tempat terpisah. Tiba-tiba saja transferan ini masuk bersamaan di akhir ucapannya. Seakan dia bisa mengendalikan seisi internet hanya lewat sebuah kehendak saja. Harus berapa ratus tahun aku bekerja agar bisa mengumpulkan uang sebanyak ini? “Bagaimana kau melakukannya?” Dari mana dia mendapatkan uang ini? “Pasar saham, forex, cryptocurrency, sebut saja instrumen investasi apa pun yang kau tahu. Modal awalku tadinya hanya sepuluh juta, tapi dalam waktu sebulan berhasil kuputar hingga mencapai miliaran.” “Kau memanipulasi arus keuangan digital seluruh dunia?” ucapku tak percaya. “Tentu tidak.” Rena menyangkal, “Kau tahu trading? Beli di saat murah, jual di saat mahal? Sesimpel itu,” ucapnya meremehkan. “Aku hanya mengikuti ombak pergerakan pasar.” Mudah saja baginya mengucap demikian. Tapi secara praktik, tentu saja orang tidak akan selalu bisa menebak arah naik turun sebuah saham, atau kurs mata uang. Aku sudah pernah mencobanya, lalu menyesal karena kehilangan sebagian tabunganku. “Lagi pula,” tukas Rena menambahkan, “Tak ada yang bisa mengontrol keseimbangan permintaan dan penawaran. Dalam ilmu ekonomi, Adam Smith menyebut itu dengan invisible hands.” Lengan gadis itu kembali mengaduk permukaan cokelat di kopinya, lalu menyeruput dengan gerakan anggun bak seorang bangsawan. Sesuatu terasa ganjil. “Sebentar, kau itu robot tapi kok bisa meminum kopi?” Aku menyelidik. “Apa nggak konslet?” Gerakan tubuh Rena juga terlihat begitu alamiah. Tak sedikit pun aku bisa melihat bagian sintetis dari penampilannya. Orang pasti akan mengira dia gadis normal biasa. Apa di masa depan kemajuan teknologi sudah sedemikian canggihnya? “Tubuhku terbuat dari triliunan nanomachines seukuran sel kecil. Semuanya bersinergi membentuk beragam organ dengan fungsi menyerupai makhluk hidup asli.” Rena menjelaskan, “Anggap saja aku manusia normal, terbuat dari darah dan daging namun bersifat sintetis.” Agak sulit aku membayangkannya. Sungguhkah teknologi sanggup berkembang begitu pesatnya hanya dalam jarak satu dekade saja? “Lima belas tahun dari sekarang, pemanasan global akan kian bertambah parah.” Rena mulai membuka topik pembicaraan serius, seakan sejalan dengan apa yang sedang kupikirkan, “Bencana alam terjadi tiada henti. Banjir, kekeringan, badai tropis, angin topan, sampai dengan gempa. Jeda frekuensi antar tragedi itu kian merapat, hingga suatu saat, semuanya terjadi nyaris di hari bersamaan— di seluruh dunia.” Membayangkan seluruh narasi Rena, membuatku teringat akan beragam film sains fiksi bertema post apocalypse. “Apa umat manusia punah?” “Manusia itu seperti tikus, keras kepala serta menolak untuk dilenyapkan semudah itu.” “Lantas kenapa kau kembali ke masa kini? Apa di masa depan sudah tidak ada harapan sama sekali?” Ekspresi Rena berubah seketika. Sorot matanya kian sendu. Wajah gadis itu tertekuk seraya hilang kata-kata. Sepertinya aku mengingatkannya pada kenangan menyakitkan. “11 miliar manusia— itu jumlah yang sangat banyak,” ucapnya seraya menerawang ke luar. Rintik air mengalir jatuh menelusuri kaca jendela, membiaskan cahaya kendaraan berlalu lalang hingga mencipta warna beraneka rupa. Derau hujan tak terdengar hingga ke sini. Sunyi di antara kami berdua ditengahi oleh obrolan pengunjung serta angin dingin dari penyejuk ruangan. Sepengetahuanku, saat ini manusia masih berjumlah tujuh miliar. Itu berarti, lima belas tahun di masa depan, akan terjadi ledakan populasi nyaris hingga dua kali lipat. Gadis itu kembali melanjutkan cerita. “5 miliar manusia lenyap oleh pandemi mematikan.” Getir di wajahnya mengisyaratkanku bahwa batinnya tengah bergejolak mengupas horor yang pernah ia alami. “Pandemi?” ucapku mengkonfirmasi. Sepengetahuanku, Pandemi adalah sebutan bagi sebuah wabah yang sudah menyebar tak terkendali hingga menginfeksi seluruh dunia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN