Bab 1 : Keluarga Konglomerat

1207 Kata
“Lemah kamu Gi. Ngaku-ngaku depresi, padahal kerjanya cuma malas-malasan.” Ucapan pamanku itu jelas membuatku tertunduk. Acara kumpul-kumpul ‘keluarga besar’ merupakan neraka yang harus dijalani setiap tahun. Menolak datang sama saja dengan memutus tali silaturahmi. Jika sudah begitu, maka orang tuaku yang akan mendapat malu. Aku tahu niat paman Wildan mengucap itu tak lebih dari sebatas candaan. Tapi bagiku, itu adalah sebuah tusukan pedang tak terlihat, menancap langsung menuju sanubari hingga mencipta nyeri di ulu hati. Mulutku hanya tersenyum kering seraya mengucap, “Iya-iya-iya,” seperti orang bodoh saja. Beragam pertanyaan lain datang mengepung. “Kapan kawin? Kapan punya rumah?” dan segudang pertanyaan meremehkan. Semua terasa seperti peluru menerjang tiada henti. Ingin rasanya aku balas bertanya, “Kapan kalian mati?” Orang-orang seperti mereka; Kaya raya dan kian sejahtera, aset melimpah dengan segudang perusahaan bertindak bagai mesin pencetak uang. Tentunya jauh berbeda dengan kehidupanku sebagai b***k korporat tertindas dalam kemelaratan. Gaji sebagai guru honorer sangat jauh dari kelayakan. Kemiskinan yang kualami adalah suatu hal terstruktur dan sistematis. Para tante, paman, kakek nenek serta kedua orang tuaku, semuanya berasal dari keluarga berada. Pun begitu, tiada seorang pun yang mau membantuku. Lewat koneksi mereka, seharusnya tidak sulit membuka kesempatan bagiku untuk berkarir dan bekerja. Meminjam modal tiga juta untuk membuka usaha saja aku berakhir dengan sejuta alasan. “Anggi masih betah bekerja sebagai guru honorer di sekolah negeri?” Bibiku mengucap sinis seraya menegak segelas anggur di tangan. Rambutnya disanggul seperti sarang lebah. “Hehe, iya bi,” jawabku kikuk. “Itu Glen baru buka cabang kampus di Karawang. Kalau mau nanti bibi suruh dia buat jadiin kamu pegawai di sana.” “Euh.. gak usah bi.” Aku menolak. Terakhir kali aku menerima tawaran semacam ini, kehidupan kerjaku berubah menjadi sebuah penindasan. Sanak saudara mana pun yang mempekerjakanku di perusahaan mereka, pasti satu atau lain hal akan berusaha untuk menjebakku dengan beragam fitnah dan tipu muslihat. Terakhir kali aku bekerja di industri perikanan milik Paman Wildan, kupikir aku akan berpetualang mengarungi ganasnya lautan sebagai a*k. Namun yang kukerjakan hanyalah menjadi petugas administrasi di pelabuhan. Satu dua bulan kemudian, seseorang menjebakku seakan aku telah melakukan tindakan wanprestasi— aku dituduh melakukan penggelapan dana. “Kamu coba usaha Gi. Apa kek, gak bosan kamu bekerja jadi babu terus?” Ucapan menyakitkan lainnya datang dari sanak keluarga yang lain. “Maunya begitu om Rizky, tapi bagaimana ya? Semua pengajuan saya ke bank entah kenapa selalu ditolak.” Wajahku menebar senyum seperti orang bodoh. Tentu aku tahu, orang-orang ini bermain di belakang layar sengaja untuk mempersulitku dalam mengajukan kredit. Seriusan, apa sih yang mereka dapatkan dengan memperlakukanku seperti ini? Seakan keberadaanku di dalam keluarga ini adalah aib tersendiri. “Oh iya, pacarmu cantik sekali. Dia lulusan mana?” Kurasakan lenganku sedikit dicengkeram. Gadis di sampingku terlihat sedikit mundur, seakan meminta perlindungan. Aruni memang pemalu. Sedari tadi dia tak banyak bicara. “A-aku masih sekolah SMA. Sebentar lagi lulus.” Dia berbicara dengan nada suara nyaris tak terdengar. Sempat kupergoki perubahan di sorot mata om Rizky. Aku paham betul tatapan itu. Sebuah cibiran dalam ekspresi merendahkan, “Oh, Ada rencana untuk kuliah? Coba hubungi dik Glen, dia pasti bisa bantu kamu kuliah di sana.” Pandangannya kemudian tertuju padaku. “Termasuk kamu Gi, lanjut kuliah sana, biar bisa pinteran dikit.” “Mohon maaf, saya tidak punya dana. Kecuali Glen mau menggratiskan biaya kuliah untuk sepupunya yang satu ini, tentu akan sangat diapresiasi.” Lama-lama aku muak dibanding-bandingkan dengan lelaki tajir itu. Dia memang dia seumuran denganku. Tapi hasratku untuk menyamainya bagaikan punduk merindukan bulan. Glen sukses membuka banyak usaha di bidang Pendidikan. Tentu saja, meski orang tuanya berkoar mereka tak sedikit pun memberikan bantuan. Sejatinya, Glen mendapat banyak privilege untuk dikenalkan pada beragam koneksi, serta kemudahan dalam melakukan kredit pinjaman. Maksudku, bank macam apa sih yang mau meminjamkan tiga miliar rupiah pada orang acak tanpa background jelas maupun pengalaman apa pun? “Tadi ada ngomongin aku pah?” Oh lihat, sang pangeran pemeran utama telah datang. Glen menatapku seraya menebar senyum ramah. Tidak—, senyum itu ditunjukkan pada Aruni di sampingku. “Tumben sekali tahun ini Anggi membawa seorang gadis. Cantik pula.” Glen mengucap tanpa sedikit pun melepaskan pandangannya dari Aruni. Perasaanku mulai gundah. Pacarku ini terlihat menahan bibir melengkung, seakan berusaha agar tidak tersenyum. “Mohon maaf, saya izin pamit,” ucapku seraya menarik lengan Aruni. Aku sudah tak tahan lagi. Bagiku, perkumpulan ‘keluarga besar’ ini tak lebih dari ajang untuk saling menyombongkan diri. Tak heran mereka memandangku sebagai kegagalan di luar ekspektasi. Wajar saja, gaji sebagai b***k korporat sepertiku amat tak bisa diandalkan. Tak sanggup aku lebih lama menerima beragam hinaan di pesta ini. Maka tanpa membuang lebih banyak waktu, kakiku melangkah keluar dari pesta malam di kompleks perumahan elite milik kakekku ini. Orang pasti mengira hidup sebagai bagian dari keluarga tajir adalah sebuah anugerah. Setidaknya aku akan menerima semacam bantuan finansial, atau ‘kecipratan’ seperti orang-orang bilang. Mereka salah. Paman bibiku itu, semuanya sebenarnya sedang berperang demi merebut hak sebagai ahli waris utama dari kakek. Orang tua dengan rambut bihun itu sejatinya hanya mau menyerahkan Mega korporasi miliknya kepada keturunan yang dianggap mampu. Itu sebabnya dia mengukur standar layak atau tidak sebagai calon ahli waris murni berdasarkan kekayaan bersih saja. Semakin sukses perusahaanmu, maka kian tinggi kesempatanmu untuk mewarisi Novice. Corp. Sebuah Yayasan yang membawahi ratusan perusahaan multinasional. “Kau pasti senang dipuji Glen,” ucapku menahan kesal. Aruni tak menjawab. Wajahnya hanya tertunduk malu. Keseharian gadis ini terlihat seperti sesosok boneka. Dia jarang berinteraksi, canggung, serta sering kali gagal menguasai diri ketika menjadi sorot perhatian. Adalah sebuah keajaiban bagiku bisa menjalin hubungan romansa dengannya. Meski secara hukum ini bisa disebut ilegal. Tapi sejatinya umur kami tak terlalu jauh bertautan. Usia Aruni sudah mencapai 17 tahun. Beberapa bulan lagi dia lulus dari SMA tempatku bekerja. Aku sudah mendapat restu dari kedua orang tuanya. Kami berencana untuk mengukuhkan hubungan ini dalam bentuk cincin pertunangan. Puji tuhan mereka sama-sama dari kalangan pas-pasan. Mereka tidak meminta aneh-aneh seperti mahar bernilai puluhan juta. Lenganku membuka pintu mobil SUV kecil. Sebuah mobil sewaan. Tentu saja, agar aku tak kehilangan muka di hadapan orang-orang elite ini. Tak ingin aku mengulang kembali rasa malu di tahun kemarin. Aku datang hanya dengan bermodalkan motor bebek yang kupakai sehari-hari. Hidup di sebuah kontrakan dengan biaya sewa separuh dari gaji bulanan tentu sebuah perjuangan berat bagiku. Pun begitu, aku yakin akan selalu ada jalan asal kami berdua tulus dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Kemudian Glen muncul dengan mobil sport miliknya. Sengaja sekali dia menginjak rem seraya menghampiri lokasiku. “Aruni mau saya antar pulang?” Wajahku tentu saja berubah berang, “Tolong jangan kurang ajar.” Pria itu terkekeh, “Oh maaf, masih ada pacar kamu di sini.” Mobil yang ia kendarai berjalan perlahan. Knalpotnya bising sekali. Pandangannya itu masih saja terkunci pada Aruni. Hatiku resmi merasa tak tenang. Sejuta prasangka muncul ke permukaan. Jangan bilang Glen berniat yang tidak-tidak. Seperti merebut Aruni misalnya? Mana mau dia dengan gadis dari kalangan menengah ke bawah? Kukira orang kaya hanya mau bergaul dengan sesama levelnya saja. Namun sayangnya, prasangka itu berbuah menjadi kenyataan. Tak sampai sebulan berselang, aku mendapat kabar bahwa Glen melamar Aruni dengan mendatangi kedua orang tuanya. Skenario sinetron macam apa ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN