Bab 11 : Server Data

1448 Kata
“Penjualan mobil listrik Tesla akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan.” Aku berusaha menelan sepotong burger di tangan. Ruang tunggu kelas bisnis ini tidak terlalu berisik, jadi Rena tak perlu lagi mengulang ucapannya barusan. “Jadi, karena kau memiliki 51% saham dari Tesla, apa itu berarti kau akan mendapatkan banyak uang?” “Banyak sekali,” jawab Rena. “Jauh lebih banyak dari 400 miliar rupiah yang aku dapatkan dari hasil berjudi semalam kemarin.” Ia bertopang dagu, berusaha memutar otak memikirkan permasalahan yang belum aku mengerti. “Sepertinya akan jadi masalah jika kita kembali ke Indonesia membawa uang sebanyak ini.” Setengah triliun rupiah itu bukan uang yang sedikit. Aku belum begitu paham bagaimana alur birokrasi atas pemindahan kepemilikan saham Tesla, tapi jika proses itu selesai, artinya Rena akan menjadi salah satu Miliarder baru di jajaran kaum elit di Indonesia. Ditambah uang dari kemenangan di kasino, maka jumlahnya akan sangat menjadi fantastis. “Masalahnya ada pada pajak.” Rena mengeluh. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri seakan merasa dilematis akan sebuah pemikiran di kepalanya. “Aku tidak ingin nyaris setengah kekayaan kita dirampas oleh negara atas nama pajak.” Aku sempat tertegun kala mendengar kalimat terakhir barusan. Dia menggunakan kata ‘kita’ atas semua uang itu. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, atau merasa ke’Ge-er’an akan itu. Tapi ucapannya itu seolah-olah kita sepasang suami istri saja. “Terus gimana?” ucapku bingung, masih berusaha mengikuti alur pikirnya yang canggih itu. “Kita akan membutuhkan semua dana itu untuk operasional di tanah air.” “Jika dibawa langsung lewat transfer ke rekening pribadi, akan kena pajak?” “Tidak jika kita memasukkan dana tersebut ke dalam bentuk investasi. Kita harus membuat perusahaan untuk mengalihkan semua kekayaan itu ke dalam bentuk modal awal dari sebuah perseroan terbatas.” Gadis itu mulai merencanakan sesuatu. “Jadi uangnya ditahan dulu di luar negeri?” ucapku. “iya.” Maka selepas dari perjalanan di Amerika Serikat, hal pertama yang kami lakukan adalah datang ke kantor BKPM— Badan Koordinasi Penanaman Modal. Ada banyak sekali prosedur yang harus dilewati hanya sekadar untuk mendirikan Perusahaan. Memiliki banyak uang tidak serta merta memuluskan alur birokrasi. Setidaknya itu yang akan terjadi di luar negeri. Sayangnya ini Indonesia. Jadi dengan nominal suap yang tepat, Rena bisa mendirikan sebuah perusahaan dalam waktu yang sangat singkat. Aku ingat bagaimana pihak notaris yang diberi wewenang untuk mengurus semua ini memperlakukan kami berdua bak seorang raja dan ratu. Tentu saja, uang dua miliar untuk biaya kepengurusan bukanlah harga murah. Tidak setiap hari mereka mendapatkan klien royal yang rela merogoh kocek dalam seperti itu. “Jadi, apa sebenarnya tujuan utama mendirikan perusahaan ini?” tanyaku pada Rena. “Pencucian uang,” jawabnya singkat. Gadis itu menyeruput segelas kopi Mocacchino hangat seraya memerhatikan tampilan laptop. Gadis itu tak pernah lepas dari gadget komputer portable berwarna biru itu. Aku sempat menoleh ke sekeliling, memastikan tak ada orang lain mendengar pembicaraan ini. Kedai kopi mewah di pusat perbelanjaan ini sepertinya cukup sepi. Tak banyak pelanggan yang duduk memenuhi kursi kafe. Mulutku lantas mengucap pelan setengah berbisik, “Bukannya itu ilegal ya?” “Memang,” jawabnya tak acuh. “Terus?” Perhatian gadis itu kemudian terarah padaku. “Lantas bagaimana? Kau mau dua ratus miliar uang kita dirampok oleh pemerintah atas nama pajak?” “Lho, bukannya dengan menanamkan modal juga pada akhirnya akan ketahuan ya?” ucapku bingung. “Bukankah pada akhirnya pemerintah akan memeriksa jumlah dana yang masuk?” “Ya dan tidak,” jawab Rena mengambang. Aku hanya terdiam. Wajahku jelas menunjukkan ekpsresi bingung, seakan menuntut penjelasan lebih jauh darinya. Gadis itu menyibak rambut putih lurus ke samping telinganya. Mulutnya lantas mengucap memberi penjelasan, “Iya—, pemerintah akan mengetahui berapa jumlah uang dari luar negeri yang masuk ke sini.” “Terus?” “Tidak—, mereka tidak akan memotong uang tersebut atas nama pajak. Karena dana hasil judi di kasino datang atas nama entitas lain di Amerika Serikat?” “Kau menitipkan uang itu pada orang lain, untuk kemudian ditanamkan ke Indonesia sebagai modal luar negeri?” Aku mengulang kesimpulan di kepala. Bukannya itu ilegal? Dalam kasus ini Rena tengah melakukan dua tindakan kriminal. Penggelapan pajak, serta tindak pidana pencucian uang. Kemudian rasa khawatirku hilang tatkala mengingat betapa absurd-nya negeri tempatku tinggal saat ini. Segalanya bisa dibeli oleh uang. Termasuk hukum. Jadi Rena pasti sudah mengantisipasi hal tersebut. Benakku kemudian berusaha menebak siapa kolaborator tersebut. “Elon Musk?” “Bukan,” Rena menggeleng. “Itu lho, mafia yang kita temui waktu di Las Vegas.” “Dan kau percaya begitu saja pada mereka?” Aku tak bisa paham logika di balik tindakan Rena. “Bisa saja kan, mereka tidak mengembalikan uang tersebut dan malah membawa kabur untuk diri  mereka sendiri.” “Oh, aku akan berharap mereka berani melakukan itu,” jawab Rena seakan menantang. “Lagi pula, kau tak usah khawatir. Uangnya sudah masuk kok ke rekening PT. Arena.” “PT. Arena?” ucapku membeo. “Singkatan dari Anggi dan Rena,” jawabnya seraya tertawa. “Jangan bercanda,” omelku jengkel. “Lho, seriusan kok.” Rena menunjukkan sertifikat digital di layar laptopnya. Maksudnya apa coba? “Jangan buat aku berpikir yang tidak-tidak,” tukasku kikuk, nyaris tanpa suara. “Kau adalah aku, kita adalah satu,” ucap Rena. “Jadi sudah sewajarnya kita memadukan segala sesuatu.” Napasku sempat tertahan kala mendengar itu. Entah kenapa aku kembali teringat mimpi di pagi hari tadi. Jika benar gadis itu adalah diriku dari masa depan, lantas sungguhkah dia benar-benar Rena yang kutemui di tahun 2022? Berapa persen kepribadian gadis itu yang benar-benar mewarisi ingatanku? Masihkah ada sisa Rena asli di dalam gadis berambut putih di hadapanku ini? “Ucapanmu itu bisa bikin orang salah paham,” protesku lemah, nyaris tanpa suara. “Lagi pula, sampai sekarang aku masih merasa tak berdaya.” Rena mengerjapkan matanya beberapa saat, “Kenapa?” “Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu.” Secara tak sengaja aku mengingat kembali bagaimana betapa tak berdayanya aku ketika di luar negeri sana. Untuk berkomunikasi pun aku tergagap-gagap. Mulai detik itu, aku memantapkan tekad untuk melatih kembali kemampuan berbahasa Inggris yang baik dan benar. Rena hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. “Kau cukup berada di sampingku. Karena aku tak bisa melakukan segalanya sendirian.” Ya— dia hanya membutuhkan keberadaanku agar tubuhnya tidak berubah menjadi rapuh. Mungkin ada semacam mekanisme khusus yang membuat dirinya mengalami itu. Apakah sejak awal sudah disetting demikian oleh diriku dari masa depan? Atau memang semua ini terjadi murni secara kebetulan? “Tolong jangan sungkan untuk mempekerjakanku. Apa pun itu.” Ucapanku terasa seperti sedang memohon. Pada kenyataannya, aku memang ingin merasa berguna di hadapan Rena. Tak salah lagi, Rena emang semacam malaikat yang diutus tuhan khusus untuk menyelamatkanku. Atau menyelamatkan seluruh umat manusia. Karena apa pun rencana dia. Tentu tujuan akhirnya adalah untuk menghindari takdir mengerikan seperti yang kusaksikan dalam ingatan pagi ini. “Oh iya, perusahaan macam apa yang hendak kau dirikan?” tukasku mengalihkan topik pembicaraan. “Data Center,” jawab Rena lugas. “Semacam server teknologi informasi?” “Yups.” Ia menunjukkan peta area konstruksi. Gadis itu bahkan sudah merencanakan sejauh ini. Aku hanya tertegun seraya memeriksa data di dalam laptop tersebut. “Ini.. di Kalimantan?” “Iya, letaknya di pedalaman. Tersembunyi dan jauh dari pusat peradaban.” Kalimantan di benakku lekat dengan bayangan pembalakan liar hutan. “Jadi, apa kau akan membabat hutan untuk membuat bangunan?” “Tentu tidak,” kilahnya sedikit hilang ketenangan. “Kita akan menggali gunung, lalu membuat markas di bawah tanah.” “Markas bawah tanah?” Membayangkannya saja terasa keren sekali. “Tapi tunggu dulu,” potongku kebingungan. “Kenapa?” “Kau bilang server penyimpanan data.” “Iya.” “Bukannya itu akan membutuhkan akses internet ya?” Jangankan di Kalimantan. Untuk di Pulau Jawa saja infrastruktur fiber optic hingga detik ini belum merata secara menyeluruh. Bagaimana caranya kau terhubung dengan dunia tepat di tengah hutan terbesar di asia tenggara? “Proses pembangunan akan memakan waktu dua tahun,” jelas Rena. “Dalam proyeksi waktu tersebut, Elon seharusnya sudah menyelesaikan proyek Starlink sesuai arahan dan data dariku.” “Proyek Starlink?” Lagi-lagi aku membeo. “Intinya, nanti akan ada ratusan satelit mengorbit secara teratur di langit bumi. Nah, koneksi internet kita akan menggunakan armada wahana angkasa luar itu.” Apa yang Rena bayangkan merupakan sebuah ide dan konsep megah. Aku sedikit sangsi semua itu bisa terlaksana. Namun sesegera mungkin kuenyahkan segala bentuk keraguan di kepala. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi partner gadis itu jika aku sendiri masih memiliki secuil ketidak percayaan akan seluruh ambisinya? Dia akan menjadi sesosok messiah penyelamat dunia. Aku yakin itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN