Bab 12 : Inisiasi Rencana

1224 Kata
“Di zaman kapitalisme ini, hanya dengan memiliki modal cukup, kau bisa hidup tenang seumur hidup tanpa harus bekerja.” Rena berkelakar. “Ceramah ekonominya bisa ditunda dulu?” protesku seraya mengalihkan pandangan. Gadis itu baru keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan sehelai handuk saja. Wajahnya terperangah sejenak, lalu sedikit menundukkan kepala, memandangi tonjolan seksi di bawah tulang selangka. Ikatan handuknya terlalu kencang hingga menciptakan belahan seksi. “… Ah.” Dia akhirnya tersadar. Lenganku menepuk jidat sendiri, mengusap wajah dalam frustrasi. Kapan sih gadis ini bisa mawas diri? Dan sampai kapan aku harus menderita diuji keimanan karena harus satu kamar dengan lawan jenis berparas seperti bidadari ini? Apartemen yang kami beli memiliki dua kamar dan satu dapur. Iya, dua kamar. Aku sebenarnya bisa menikmati privasi dengan berguling-guling sendirian di ruanganku sendiri. Tapi Rena tidak berpikir demikian. Dia tetap bersikeras harus selalu berada dalam radius maksimal 10 meter dariku. Jadi ya mau tidak mau kami tidur bersebelahan di dalam satu kasur berukuran Super Kingsize. Kalau tak salah mereka bilang itu luasnya 2 x 2 meter persegi. Saking luasnya, Kamu bisa menjadikan kasur itu sebagai arena bertarung bela diri sungguhan. Pikiranku berusaha mengenyahkan bayangan tentang gulat berkeringat tanpa sehelai kain antara lelaki dan perempuan. Rena keluar dari ruang sebelah setelah memakai satu set pakaian one piece dress. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk berganti penampilan. Kain tipis berwarna putih terlihat selaras dengan warna rambutnya yang lurus seperti bihun. “Gimana?” tanya Rena, meminta pendapat soal penampilannya. “Seperti kuntilanak,” komentarku malas. Wajahku seketika ditimpuk bantal. “s****n!” Lenganku menangkis beberapa lemparan guling lainnya. “Jadi, hari ini kita mau ngapain?” “Ke Kalimantan,” jawab Rena. Akhirnya mulai tenang. “Ngapain?” tanyaku mengulang. “Ya ngurus izin lah. Biro jasa yang kita sewa katanya menemui jalan buntu.” Aku berpikir sejenak. Urusan izin menemui jalan buntu? “Pasti ada pejabat di sana yang meminta sesajen.” “Ya apa lagi?” tukas Rena seraya tertawa kecil. “Jadwal penerbangan ke sana sekitar jam sepuluh pagi.” Pandanganku lantas melirik jam dinding di salah satu sudut kamar. Angka pendeknya masih menunjuk ke bawah, tepat mengenai angka 6. “Masih lama. Matahari saja bahkan belum terbit.” “Mau lari pagi?” ajak Rena. Seketika aku mengerutkan alis. “Kau itu Cyborg, memangnya masih butuh olah raga?” Kadang pikiranku tergelitik oleh pertanyaan konyol. Ke mana perginya makanan yang dilahap oleh Rena? Tak pernah aku melihat gadis itu pergi memasuki toilet. “Tubuhku tidak akan pernah merasa lelah,” jelas Rena. “Tapi kamu yang butuh buang keringat.” Gadis itu lantas mencolok perutku dengan ujung jemarinya. “Kamu kebanyakan makan, perutmu nanti buncit.” Lidahku berubah kelu. Mulut ini terkunci rapat, tak bisa membalas. Semenjak mengenal kehidupan bak seorang raja, aku memang kalap mencoba berbagai kuliner dan makanan enak di setiap hotel yang kusinggahi. Apartemen Plaza Senayan yang kami tempati adalah kawasan pemukiman elit. Harga properti di sini nyaris menyentuh harga tiga miliar rupiah. Dan Rena malah membeli satu unit di sana. Dia dengan begitu mudahnya mengeluarkan uang sebanyak itu seperti sedang membeli kacang goreng. Padahal dengan dana itu, kita bisa menggunakannya untuk membangun istana sungguhan di daerah pinggiran kota. Pun begitu, aku tak bisa protes karena memang suasana di sini terasa amat ekslusif. Berada di Pusat kota Jakarta, gedung apartemen ini memiliki segudang fasilitas karena berada dekat sekali dengan gedung-gedung pemerintah pusat. Gedung-gedung tinggi telah mencipta bayang gelap dari mentari di langit timur. Udara di sini terasa lumayan sejuk. Padahal kami berada di pusat kota Jakarta. Mungkin karena ini termasuk kawasan hijau. Ada lapangan golf, taman, juga segudang fasilitas olahraga kelas nasional. “Ren,” ucapku seraya mengelap keringat. Sudah dua kali kami mengelilingi kompleks apartemen ini. Hijaunya rumput di pinggir jalan terasa menyejukkan mata. Gadis itu menoleh. Tubuhnya masih bergerak naik turun dalam posisi berlari di tempat. Dua rak di bagian depan tubuhnya terlihat berguncang-guncang elastis naik turun seperti balon diisi air. Tanpa sadar aku menelan ludah sendiri, berusaha untuk mengendalikan nafsu dunia yang muncul menggelora tanpa diundang. Sulit untuk membayangkan gadis seperti dia sejatinya adalah perwujudan dari sesosok cyborg. “Kenapa kau membeli properti dengan harga selangit di sini?” ucapku. “Investasi,” jawabnya tanpa berbelit. “Dalam beberapa tahun ke depan, satu unit apartemen di sini bisa naik tiga kali lipat menjadi sekitar sepuluh miliar.” “Mulai sekarang kita akan tinggal di sini seterusnya?” Rena menghentikan gerakan lari di tempat. Gadis itu menatapku sejenak, “Kau masih ingin tinggal di Karawang? Kukira ada banyak kenangan jelek di sana.” Tentu saja. Di kota itu ada Keluarga besarku, Glen, dan Aruni yang sudah mengkhianatiku. Membayangkannya saja sudah membuatku mual. Lenganku mengepal tanpa disadari. “Kurasa, cepat atau lambat aku harus menghadapi mereka semua.” Sekarang Rena setia menemaniku. Uang tak lagi menjadi masalah. Sudah saatnya aku memberanikan diri untuk melepaskan diri dari bagian keluarga besar Sunoto. Gadis dengan iris mata kemerahan itu menghela napas sejenak. “Yasudah, biar nanti aku atur untuk tempat tinggal di sana.” “Tak perlu,” tolakku. “Biar aku membeli properti milikku sendiri, dengan uangku sendiri, atas namaku sendiri.” Sisa uang di rekeningku masih ada di atas dua miliar rupiah. Seharusnya harga apartemen termahal di Karawang pun tidak akan menyentuh harga di atas setengah miliar. “Lho, sedari dulu aku mendaftarkan seluruh aset kita dengan namamu kok,” tukas Rena polos. Aku tak tahu bagaimana harus menanggapinya. Kenapa dia sampai berbuat sejauh itu untukku. “Kenapa?” “Karena aku ingin kau bahagia,” jawabnya tanpa berpikir panjang. Siapa sih yang tidak akan merasa salah tingkah dihadapkan pada ucapan seperti itu? Rena itu maunya apa? Dia mengaku sebagai diriku dari masa depan. Dia tak mau menjalin hubungan khusus seperti selayaknya laki-laki dan perempuan. Tapi di sisi lain dia melakukan segala sesuatu demi diriku, seolah aku adalah seorang majikan. “Tolong jangan mengucap hal-hal seperti itu lagi?” Desahku nyaris tanpa suara. Susah payah jemari ini menutup setengah wajah yang mungkin terlihat memerah menahan malu. “Kenapa?” Karena aku bisa jatuh cinta padamu. Tentu saja, aku tak sungguh-sungguh mengucap itu. Jadi bibirku hanya diam terkunci tanpa mencipta kata-kata. “Sudah jam setengah delapan,” tukasku mengalihkan perhatian. “Kau mungkin tak akan merasa lapar, tapi badanku sudah lemas akibat berlari-lari selama nyaris satu jam.” “Lho, percuma dong seluruh kerja keras ini kalau perutmu langsung langsung diisi oleh makanan.” Rena memperingatkan. Ia tak menyetujui keinginanku untuk melahap sarapan di restoran terdekat.” “Memangnya kenapa?” “Mulai sekarang kau harus menjalani diet OCD. Kau hanya boleh makan nanti jam 12 siang,” perintahnya. “Eeeee??” “Jam segini sampai siang nanti, tubuhmu akan memasuki mode ketofatosis. Metabolismenya akan menjadikan cadangan lemak sebagai bahan bakar utama,” jelas Rena. “Jadi, saat ini kamu sedang membakar tumpukan lemak demi menurunkan berat badan.” “Uuuu..” Penjelasannya terlalu berbelit. “Tapi,” potongnya. “Kau boleh makan apa pun sampai jam empat sore nanti. Itu jendela makan yang bisa kau gunakan untuk menjadi rakus.” Kenapa aku jadi disuruh untuk diet begini? “Berat badan tubuhku masih normal.” “Tidak untuk beberapa bulan ke depan. Apalagi jika kau tetap tak mengubah pola makan kalapmu itu.” Rena berkacak pinggang. Wajahnya terlihat jutek sekali. Aku hanya menunduk tanpa sanggup mendebat lebih lanjut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN