Bab 10 : Masa Depan

1390 Kata
Matahari tak juga terbit walau jam sudah menunjuk pada angka sepuluh pagi. Andai aku berada di negeri dengan empat musim, hal ini tentu bukan menjadi sebuah masalah. Namun ini negara Indonesia, gugusan pulau yang terletak di jalur khatulistiwa. Tak ada musim dingin, semi, gugur, mau pun musim panas. Gerak matahari senantiasa teratur, terbit sekitar pukul enam pagi dan tenggelam di sore hari. Jadi kenapa angkasa masih terlihat gelap gulita? Hari ini seharusnya libur. Pandanganku menatap suram pada kalender harian bertuliskan 1 Januari 2022. Tanggal merah ini biasanya menjadi masa-masa tenang sehabis pesta malam tahun baru. Namun perusahaan tempatku bekerja masih berikeras untuk tetap beroperasi di tengah bencana. Tak ada kemeriahan pesta kembang api di malam-malam sebelumnya. Hujan tiada henti melanda selama beberapa minggu lamanya. Banjir terjadi di mana-mana. Seisi kota Jakarta tenggelam dilanda air pasang. Sungguh malang nasib b***k korporat sepertiku ini. Sebelah kaki cacat nan pincang menyulitkanku dalam bepergian antara rumah dan tempat kerja. Untuk menaiki motor bebek pun aku membutuhkan bantuan tongkat penyeimbang. Tiupan angin kencang disertai badai berbalut petir tiada henti datang menerpa. Jas hujan yang kukenakan tak sangup menahan derasnya rintik air hujan. Jadi tiba di parkiran, aku membuka kantong kresek untuk berganti dengan pakaian kering. Aku dan pegawai lain berusaha untuk tak acuh. Kami semua berlanjut mengisi hari dengan kegiatan normal. Bunyi printer serta derit mesin fax terdengar riuh bersahutan di ruang kantor. Batin kami saling bertanya. Wajah cemas terukir jelas di wajah masing-masing. Sesekali aku menoleh keluar dengan hati tak tenang, mengharap kemunculan sang mentari yang absen dari biasanya. Mereka khawatir akan keselamatan keluarga. Di masa pandemi berbalut cuaca ekstrem ini, pemerintah sudah menganjurkan untuk tetap tinggal di rumah. Namun perusahaan tamak tempatku bekerja tidak mau sedikit pun merasa rugi. Mereka akan terus memeras tenaga pekerja agar tetap setiap mengabdi tak peduli situasi dan kondisi. Kulihat acara di televisi menyiarkan berbagai kehebohan. Ada tulisan headline news tentang kemunculan benda raksasa di luar angkasa. Ukurannya begitu gigatis hingga melebihi diameter sang rembulan. Permukaan benda itu bahkan sanggup menghalangi laju sinar sang surya, membuat pagi hari ini seakan masih ada di pertengahan malam. Inikah penyebabnya? Pikiranku membangun beragam macam asumsi. Apa ini bentuk dari serangan alien? Semua orang tentu saja semakin gundah. Keresahan menyerang sanubari siapa pun yang ada di sana. Mereka tak fokus dalam bekerja. Sebuah gemuruh tiba-tiba terdengar entah dari mana, suaranya begitu nyaring hingga mengejutkan tiap insan yang ada. Sempat kukira itu bunyi terompet raksasa, menggema keras hingga menggetarkan kaca jendela. Aku bersumpah, derasnya hujan seakan terhenti walau hanya seketika. Raungan itu berlangsung begitu lama. Orang-orang di sekelilingku berubah panik seraya lari berhamburan. Mereka keluar dari ruangan dengan wajah pucat pasi. Segala kegundahan yang bertumpuk seakan meledak begitu saja. Ruangan besar yang kutinggali kini tak ubahnya seperti tempat pengungsian. Hiruk-pikuk terjadi di mana-mana. Orang-orang sibuk dengan kepentingan masing-masing. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menggapai telepon selular, lalu menghubungi kerabat terdekat. Aku hidup sebatang kara, jadi aku melewatkan proses konfirmasi keselamatan anggota keluarga. Yah, ada sih orang-orang yang secara hubungan darah bisa disebut sebagai ‘keluarga besar’. Tapi mereka semua konglomerat b***t. Orang miskin sepertiku sejak lama sudah tidak diangap sebagai manusia hidup dan bernapas di mata mereka. Wajahku menengadah tinggi seraya aku bertumpu pada dinding kaca di pojok ruangan. Langit di atas sana begitu gelap, namun lampu penerangan di luar membuatku bisa melihat kebeadaan air yang seakan seakan tumpah ruah dari angkasa. Kaca yang kupegang lambat laun terasa bergetar, tiap detik yang terlewatkan semakin menegaskan entakan. Mungkin resonansi suara misterius tadi menjadi penyebab utama. Karena suara terompet dari langit hingga detik ini masih terus menggema. Kututup dua telinga ini, seraya merintih menahan sakit serta ketakutan yang melanda. Butuh lama hingga akhirnya suara misterius itu mereda. Goncangan psikologis terlanjur dicipta, meneror siapa pun yang mendengarnya. Lorong di kantor begitu sesak dipenuhi mereka yang panik. Tangga darurat riuh diisi suara tangis dan pilu. Orang-orang terlihat begitu ketakutan. Jantungku berdetak tak beraturan, desiran di d**a ini terasa menyakitkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Goncangan keras menyusul kemudian. Lampu penerangan berkedip-kedip menambah horor proses pelarian. Kami semua berdesak-desakan. Suasana begitu mencekam, sesaat tadi telapak kakiku berpijak pada sesuatu yang empuk. Seseorang pasti terjungkal, lalu terinjak-injak tanpa seorang pun menyadarinya. Sungguh, aku bahkan tak bisa leluasa menggerakkan lengan sendiri. Tubuhku terhimpit dalam kerumunan orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri. Suara gemuruh terdengar semakin keras, bising kegaduhan tercipta di luar bangunan. Susah payah aku berhasil keluar, hanya untuk disambut dengan pemandangan yang begitu menakutkan. Angin bertiup kencang seraya gedebum petir meledak melewati tirai air hujan. Kilatan cahaya melecut menerangi malam dalam rangkaian sambaran. Sekilas tadi kulihat awan tebal menggumpal tebal layaknya langit-langit bangunan. Tanah yang kupijak kini bergoyang hebat, puing reruntuhan berjatuhan di sekitar. Kutundukkan sedikit badanku, seraya berharap cemas puing bangunan itu tidak menimpa kepalaku. Jeritan putus asa tercipta sebagai respons wajar akan ketakutan. Telingaku menangkap jelas suara tangis membahana. Teror yang kualami bertambah keras, seiring dengan kemunculan dengung terompet untuk kedua kalinya. Kurasakan tubuh ini bergetar, dientak gelombang suara dari angkasa. Pandangan mataku meruncing, berusaha mencari asal muasal kegaduhan. Walau tentu saja, sulit untuk melakukannya dikarenakan suasana yang gelap. Semua orang kompak menengadahkan kepala, menatap sesuatu. Kulihat kulit wajah mereka berpendar kemerahan memantulkan sumber cahaya. Di kejauhan, pandanganku menangkap jelas detail letusan magma tepat di penghujung kota. Cairan lahar pijar itu berpendar terang seakan mengumumkan suhunya yang panas. Muntahan isi bumi berhamburan terbang ke angkasa. Butuh jeda beberapa detik hingga gelombang suara dari gunung merapi tiba di posisiku. Tubuhku serasa ditabrak sesuatu. Empasan dari udara cukup hebat hingga menciptakan semacam dinding energi tak kasat mata. Bunyi segala sesuatu hilang diredam denging memekakkan. Semua orang serempak terjungkal, kaca gedung pecah tak kuasa menahan energi ledakan. Dentuman hebat tercipta. Bongkahan batu meleleh terciprat ke segala sudut. Pemandangan itu tak ubahnya seperti hujan meteor, mengucur deras dari angkasa. Hidungku terasa sakit, kala mencium bau belerang bercampur dengan aroma busuk daging yang terbakar. Beberapa orang yang tak beruntung meninggal seketika, tubuh mereka dilahap seutuhnya, hancur dihantam proyektil mematikan. Ya tuhan, bencana macam apa ini? Batinku berteriak ketakutan, mengharap pertolongan walau entah datang dari mana. Kami sontak saja berlari menjauhi sumber ledakan, hanya untuk dikejutkan oleh kemunculan dinding air raksasa dari sisi berlawanan. Gelombang Tsunami—begitulah mereka menyebutnya—terlihat menggulung tinggi, setara dengan gedung sepuluh lantai. Gulungan air itu datang menyapa dari ujung cakrawala. Haruskah aku pasrah? Menerima akhir dari hidupku seperti ini? Mati begitu saja tanpa sedikit pun perjuangan? Tidak! Aku pasti bisa selamat. Gedung tempatku bekerja berdiri kokoh setinggi lima belas lantai. Tak ada salahnya mencuri start untuk menyelamatkan diri. Semua orang kulihat malah termenung kosong menatap maut di kejauhan. Mereka begitu pasrah menerima segalanya. Aku tidak ingin mati di sini. Dua kakiku melangkah cepat, berlari menaiki tangga darurat. Tak perlu aku khawatir akan jatuh tersandung, karena di tiap sudut pijakan terdapat stiker fluorescence berpendar berwarna hijau sebagai penunjuk. Suara hantaman tercipta keras, seiring dengan datangnya empasan air menabrak dinding bangunan. Bangunan ini terentak, tapi masih sanggup mempertahankan diri. Air datang berusaha menggapai dari lantai terbawah. Posisiku tersusul dengan cepat. Tubuhku dilahap dari pinggang hingga tenggelam menuju puncak kepala. Dadaku terasa sesak karena berusaha menahan sisa udara. Sempat kuraih pagar di samping tangga agar tidak terseret arus. Airnya kotor berwarna hitam pekat. Pandanganku buta, kaki ini gagal berpijak. Yang bisa kulakukan hanyalah panik seraya lengan satu lagi menggapai tinggi mengharap pertolongan. Aku tak yakin bisa selamat. Lalu seakan menjawab seluruh harapan, seorang gadis muncul menarik pergelangan tangan. Dia menyelamatkanku dari terkaman air bah. Rambutnya tergerai lurus seputih salju. Itu kali pertama aku bertemu dengan Rena. … lalu apa? Gelap gulita. Aku tak bisa mengingat lebih lanjut. Segala kekacauan itu kini terganti menjadi sebuah langit-langit ruangan berwarna putih. Hening. Detak jarum jam dan embusan angin dari penyejuk ruangan terasa jelas mampir di telinga. Jantungku Masih berdegup liar tak terkendali. Napasku memburu seakan baru lepas dari terkaman macan. Aku berusaha mencerna mimpi yang barusan kualami. Sebuah bencana alam di tengah pandemi? Itu persis seperti cerita Rena di awal pertemuan kami di kedai Kopi. Tidak— itu bukan mimpi. Pengalaman barusan terlalu nyata dan detail untuk bisa disebut sebagai mimpi. Horor yang barusan kualami adalah ingatan diriku dari masa depan. Itu adalah pengalaman pertama aku bertemu dengan sosok gadis berambut putih panjang bernama Rena versi tahun 2022. Wajahku lantas menoleh ke samping, menatap gadis berambut putih yang tengah tertidur pulas tepat di sampingku. Lantas siapa Rena yang sekarang satu kamar denganku ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN