“Virus Sars-Cov-2, atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19 telah melumpuhkan ekonomi, serta mencipta konflik peperangan atas sumber daya alam di beberapa negara.” Rena menjelaskan dengan wajah agak tertekuk.
“Situasi kala itu pasti mencekam sekali,” komentarku.
Rena hanya menanggapi ucapanku dengan senyum kosong. “Oh kau tidak tahu hal yang lebih buruk dari itu.”
“Bencana alam?” Aku menebak.
“Kau bayangkan saja,” ucapnya seraya menatapku lekat, “Orang-orang bertumbangan, mati di pinggir jalan seperti lalat. Infrastruktur dan pelayanan sosial kolaps. Virus yang awalnya bergejala seperti flu ringan, kemudian bermutasi berulang kali hingga akhirnya berubah menjadi mematikan. Daerah perkotaan dan padat penduduk menjadi momok menakutkan bagi semua orang. Penegakan hukum kacau balau.” Mulutnya merancap tiada henti, menjelaskan segala situasi mengerikan di masa depan.
Benakku berusaha membayangkan horor diperbantukan tawa getir dan sorot mata kosong di wajah Rena.
“Lalu belum cukup sampai di sana,” Ekspresi gadis itu kemudian menunjukkan semacam rasa jijik, “—Politikus inkompeten malah mengobarkan api peperangan.”
“Seperti neraka,” ucapku menunjukkan simpati. Mungkin pada titik ini aku harus melenyapkan segala ragu di benakku. Trauma yang terpancar di sorot mata Rena bagiku terasa cukup meyakinkan. Dia benar-benar mengalami horor seperti yang diceritakan. Batinnya mungkin tengah bergejolak, dibakar oleh kemarahan, penyesalan, kesedihan, serta beragam emosi negative lainnya.
Mungkin ada baiknya aku mengalihkan topik pembicaraan. “Bicara tentang pemanasan global, memang sekarang juga sudah mulai terasa efeknya.” Pandanganku menerawang ke luar, memerhatikan tiap tetes air hujan yang menempel di kaca. “Sekarang bulan Agustus, seharusnya musim kemarau.”
Jempol Rena menelisik ke arah wajah, berusaha mengelap air mata yang sempat menetes jatuh. Gadis itu kemudian lanjut menjelaskan, “Perubahan suhu rata-rata bumi sebesar satu setengah derajat Celsius telah menciptakan efek domino berkepanjangan. Cuaca anomali akan terus berlangsung hingga mencipta badai tropis di berbagai penjuru lautan.”
“Lantas, apa yang bisa kita lakukan?” Sampai di titik ini aku murni merasa kebingungan. Uang tiga miliar di tanganku jelas tidak akan cukup untuk mengejar ambisi seperti itu.
“Kita harus membangun mega korporasi yang bisa mengubah sejarah manusia.” Rena menjawabku mantap. Sorot matanya menyiratkan sebuah tekad membulat.
“Kurasa kita akan kekurangan modal untuk itu.” Aku menyandarkan tubuh, sedikit merasa pesimis.
“Tentu saja, kita butuh dana jauh lebih banyak.” Gadis itu beranjak sejenak, lalu meminjam sebuah pulpen pada meja pelayanan. Rok mini yang ia kenakan bergoyang-goyang kala gadis itu melangkahkan kaki keluar dari kursi.
Tak mungkin dia adalah diriku di masa depan. Sikapnya feminin sekali. Mau bagaimana pun, aku adalah seorang lelaki sejati, jadi seharusnya pasti ada semacam watak atau kebiasaan laki-laki yang tertinggal.
Meski jujur saja, sebenarnya sedari tadi aku merasa grogi. Rena benar-benar terlihat luar biasa menawan. Pegawai yang menyerahkan pena bahkan dibuat salah tingkah hilang ketenangan. Sekilas gadis itu terlihat bagai boneka. Tubuhnya ramping, enak dipandang mata. Apapun yang ia lakukan terlihat seperti sebuah perwujudan mahakarya seni rupa.
Gadis itu kembali duduk di hadapanku. Lengannya menggores sesuatu di atas selembar kertas. “Ini adalah peta perjalanan yang harus kita tempuh untuk tahun pertama ini.”
Sejenak aku membaca isinya. Harus diakui, gaya tulisnya memang mirip denganku. Jelek seperti tulisan cakar ayam.
“Mencapai capital gain senilai delapan ratus miliar?” ucapku kebingungan. Mataku berulang kali membaca ulang poin paling awal. “Sebentar, kau melewatkan banyak hal. Bagaimana caranya? Apa kau akan melakukan hacking terhadap bank dunia?”
“Tentu tidak, bodoh. Kalau pun aku mau, aku butuh kemampuan kalkulasi dari segudang quantum computer.” Dia tak sedikit pun menyangkal terkait proses intrusi jaringan.
“Kau sungguh bisa meretas bank dunia?”
“Sirkulasi keuangan global tidak sesederhana yang kau pikirkan.” Rena mengetuk dahiku dengan pulpen. “Lalu bicara soal Quantum Computer, itu adalah target kita selanjutnya.” Jemari Rena lihai menorehkan paragraf baru, “Dengan seluruh arsip dan pengetahuan yang ada di otak digitalku, maka proses pengembangan yang sebelumnya membutuhkan waktu beberapa dekade akan bisa kupersingkat menjadi beberapa tahun saja.”
“Seperti?” Aku masih belum mengerti.
“Mencipta mobil listrik dengan biaya murah?” Ide pertama muncul di benaknya, “Mengembangkan alat untuk menangkap karbon dioksida, memperbanyak sumber daya terbarukan seperti; Listrik tenaga uap, surya, energi ombak, dan lain-lain.” Gadis itu tiada henti menumpahkan beragam ide yang bertujuan agar umat manusia berhenti menggunakan energi fosil sebagai bahan bakar. “Kita harus melakukan elektrifikasi pada berbagai hal. Dengan itu, sektor yang tadinya mengandalkan energi fosil—Biang kerok pemanasana gelobal karena menyumbang banyak karbon dioksida—bisa dilenyapkan secara pelan-pelan. Kita bisa memulainya dengan menciptakan baterai dengan elemen Graphite.”
“Graphite?” Aku membeo.
Rena berpikir sejenak. Jemarinya tanpa sadar menggaruk alis yang tak terasa gatal. Biasanya itu kulakukan ketika bingung hendak menjelaskan sesuatu di depan murid. “Jadi begini.” Jemari gadis itu saling menyilang seraya bertumpu pada meja. “Untuk mengenalkan teknologi baru ke khalayak masal, kita harus membangun infrastruktur dari bawah ke atas. Halangan terbesar dari elektrifikasi adalah kepadatan energi yang bisa disimpan di sebuah baterai lithium ion.”
“Dan elemen bernama Graphite ini bisa menjadi pengganti baterai li-ion?” Sedikit banyak aku bisa menangkap arah pembicaraan ini.
“Bayangkan handphone milikmu bisa menyala berhari-hari meski digunakan penuh. Lalu setelah habis, bisa kembali penuh hanya dengan dicas selama dua puluh menit. Kira-kira seperti itu tingkat kepadatan energi graphite.”
Handphone di tanganku bahkan hanya bertahan empat jam ketika dipakai untuk menonton video.
Rena berbicara tentang menciptan material baru untuk kebutuhan produksi masal. “Kau bisa membuatnya?” Setahuku untuk menormalisasi sebuah teknologi baru itu butuh perjalanan panjang dan berliku.
“Sudah kubilang, kan. Semuanya ada di sini?” Telunjuk miliknya terarah pada sisi kening seperti isyarat pistol ditembakkan ke kepala. “Kita hanya membutuhkan uang.”
Bisa dimengerti. Seperti yang Rena ucap tadi, kita memerlukan modal besar untuk merealisasikan itu.
“Sebuah target yang luar biasa berat,” ucapku mengomentari.
Obrolan kami memanjang hingga ke beragam hal teknis. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 10 malam. Waktunya untuk mengakhiri pertemuan ini.
“Kau tinggal di mana?” ucapku berbasa-basi.
Rena tak menjawabnya. Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya sendiri, ragu untuk mengucap sesuatu.
“Akankah menjadi sebuah masalah jika aku tinggal sementara di tempatmu?”
Telingaku berusaha memutar kembali ucapannya barusan.
“—iya?”