Bab 15 : Tertembak

1135 Kata
Seorang kakek dan gadis SMA menjadi sasaran percobaan pembunuhan di siang bolong. Kukira hal seeksrem itu hanya ada sebatas kisah fiksi saja. Namun siapa sangka, semua itu kusaksikan tepat di depan mata. Diawali dengan sebuah tabrakan beruntun—aku yakin itu juga bagian dari rencana pembunuhan—hingga berlanjut dengan kontak bersenjata antara Rena melawan tim pembunuh bayaran. Lantas kenapa kakek dan gadis remaja itu diincar sebagai korban? Apa mungkin ada hubungannya dengan bagaimana mereka memiliki status sosial tinggi sebagai bagian dari keluarga konglomerat tajir melintir? Jelaskan ini, bagaimana mungkin kami dikagetkan dengan kedatangan helikopter medis? Benda dengan baling-baling berputar cepat itu melayang sepuluh meter di udara, datang menghampiri hanya dalam waktu beberapa menit saja. Negara tempatku tinggal bukanlah negara maju. Helikopter adalah sebuah hal langka. Belum pernah aku mendengar ada rumah sakit domestik memiliki kendarakan evakuasi lewat udara. Entah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menjaga tim medis berkualifikasi tinggi agar tetap siaga setiap waktu. Si kakek dibawa lewat moda transportasi udara. Dia dibaringkan di sebuah tandu yang diikat pada bagian bawah helikopter. Sementara bagaimana nasib gadis berambut jingga beseragam SMA? Aku dan Rena tak usah khawatir, karena saat ini keberadaannya sudah aman dikelilingi oleh selusin bodyguard berpakaian necis bak tim rahasia pelindung presidensial. Dia benar-benar berasal dari keluarga kaya raya. Tapi ada satu hal lain yang membuatku heran. Ke mana perginya jasad tiga pelaku penembakan tadi? “Ini aneh,” gumam Rena. “Aku tak bisa menemukan satu pun selongsong peluru.” Gadis itu berkomentar senada dengan isi pikiranku. “Kok bisa?” tanyaku. “Artinya, ada pihak khusus bergerak cepat di tengah-tengah kekacauan. Mereka berusaha menyembunyikan segala bentuk bukti yang mengindikasikan adanya kontak bersenjata.” “Lalu polisi sendiri bagaimana?” Kulihat beberapa petugas berseragam tengah melakukan olah TKP. “Mereka tak menanggapi ketika aku melaporkan akan keberadaan pengendara motor dengan senpi.” “Polisi menutup-nutupi ini?” Jangan-jangan malah mereka yang melakukan ini. Rena menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu. “Apa pun itu, sepertinya ada pihak sangat berkuasa ingin melenyapkan dua orang yang kita tolong tadi.” Batinku bergidik mendengarnya. “Seperti sebuah konspirasi.” “Lebih baik kita tidak terlibat.” “Ide bagus,” ucapku setuju. Pandanganku lantas mengedar, berusaha mencari keberadaan mobil Alphard hitam milik Rena. “Jadi sekarang bagaimana?” “Kunjungan ke Kalimantan sepertinya harus ditunda dulu.” “Oke,” jawabku patuh. “s****n, tahun segini belum ada grab.” Rena menggerutu. “Grab?” ucapku membeo. “Bukan apa-apa,” jawabnya seraya menepuk kening. “Nanti kita bangun perusahaan teknologi berbasis aplikasi di handphone. Teknologi gawai untuk saat ini belum cukup canggih untuk itu.” “Uh… oke…” komentarku mengiyakan. Seringkali Rena menggunakan kata-kata yang tak bisa kumengerti kala larut dalam pikirannya sendiri. Gadis itu menyentuh kemeja hitam yang kukenakan. Pandangannya seketika berubah panik. “Tunggu dulu, ini darah siapa? Kau tertembak?!” pekiknya histeris. Ah iya… jantungku masih berdetak kencang. Efek adrenalin masih belum sepenuhnya mereda. Bahu kiri yang tertembus peluru nyaris tak bisa kurasakan selain rembesan darah membasahi kain. “Aku lupa, tadi sempat tertembak,” ucapku seraya tersenyum jahil. Entah kenapa ada semacam perasaan bangga karena telah terluka ketika berhasil menyelamatkan nyawa seseorang. Huh? Ini aneh. Kenapa pandanganku memburam? Tubuhku juga tiba-tiba lemas. Telingaku berdenging kencang. Seruan Rena nyaris tak bisa kudengar. … Sejak kapan aku terlentang di pangkuan dia? Kelopak mata tiba-tiba terasa berat sekali. Aku mendadak mengantuk, padahal udara begitu gerah. Cuaca panas sekali. … Gelap Kosong dan hampa. Otakku tak bisa berpikir apa pun selain menikmati ketenangan ini. Kelopak mataku kemudian membuka perlahan. Rasa kantuk ini sirna secara pelan-pelan. Sedetik setelah aku sadarkan diri, pemandangan siang hari di jalan tol tadi tiba-tiba saja berganti menjadi langit-langit ruangan. Dalam satu kedipan tadi, aku berpindah tempat ke sebuah ruangan tak dikenal. Tubuhku terbaring di sebuah ranjang. Sebuah jarum infus menancap di tangan kananku. Ini… rumah sakit? Lebih tepatnya ruang perawatan kelas VVIP. Karena hanya ada satu kasur saja, tidak bergabung dengan pasien lain. Furnitur pelengkap seperti kulkas, TV berukuran besar, kursi untuk tamu, sampai ke meja makan pun tersedia menghias di setiap sudut. Lampu penerangan menyala temaram. Mungkin sengaja untuk diset agar penghuninya tertidur lelap. Jendela luar terlihat gelap dengan berbagai gemerlap cahaya penerangan dari gedung-gedung sekitar. Itu artinya hari telah berubah menjadi malam. Di mataku, dalam satu kedipan saja waktu dan tempat tiba-tiba terasa meloncat. Seperti sedang menonton film di komputer, lalu kursor tetikus tanpa sengaja mengetuk tombol garis waktu dari alur yang sedang berlangsung. Pikiranku lantas berusaha menyusun kembali seluruh rangkaian kejadian yang telah berlalu. Aku dan Rena terlibat kecelakaan beruntun. Setelah menyelamatkan dua yang terjebak di dalam sebuah mobil terbakar, tiba-tiba saja kami harus bertahan hidup dari ancaman pembunuhan. Rena berhasil menyingkirkan si pelaku p*********n. Sementara aku tertembak di bahu kiri. “—oh,” gumamku pelan. Entah kenapa pikiranku agak sulit untuk berkonsentrasi. Namun setidaknya aku berhasil menyimpulkan sesuatu. Aku tertembak, lalu tak sadarkan diri akibat anemia. Bantinku baru saja hendak menanyakan keberadaan Rena. Namun sedetik setelah bangkit dari posisi terbaring, pandanganku akhirnya bisa menangkap keberadaan gadis itu yang tengah tidur dalam posisi terduduk tegap. Apa-apaan dia itu? Sedang melakukan meditasi? Kepalanya bahkan tak menyandar, ditopang oleh leher berlekuk ramping berhias rambut perak. Tulang selangka di balik kaos berwarna ungu terlihat mengintip seksi. Tiap helainya rambut Rena begitu lurus seperti benang sutera, tergerai jatuh mengikuti bentuk bahu hingga melipat ke punggung. Baru sekarang aku menyadarinya, ternyata bulu mata Rena itu tebal sekali. Bibirnya tipis. Dagu itu meruncing dengan bentuk wajah oval. Sekilas dia terlihat seperti boneka. Jemariku bergerak sebatas d**a, berusaha memeriksa irama detak jantung yang kian naik tak terkendali. Lupakan Gi..! Kau tak pantas memiliki perasaan seperti itu terhadap Rena. Tentu saja. Dia sudah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan ketika menyadari diriku memandangnya sebagai lawan jenis. Gadis itu jelas menganggapku sebagai saudara kandung. Demi tuhan, dia adalah diriku sendiri dari semesta lain. Tentu saja hubungan kami lebih mirip kepada adik kakak. Secara teknis kami berbagi ingatan yang sama. Lamunanku kemudian buyar. Telingaku menangkap suara pintu kamar yang diketuk. Seketika Rena membuka kelopak matanya. Gadis itu seketika bangkit tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda mengantuk selepas bangun tidur. Kelakuannya itu persis seperti komputer yang baru saja dinyalakan selepas dalam mode standby. Oh iya, aku lupa. Dia memang robot. Isi kepalanya pastilah komputer canggih abad ke-21. Seperti doraemon. “Bagaimana perasaanmu Gi?” ucapnya menunjukkan kekhawatiran. Dia lebih memilih untuk tak mengacuhkan orang di balik pintu demi memeriksa kondisiku. “Sedikit sakit di bahu kiri,” jawabku. Tentu saja, itu lokasi di mana aku tertembak. Gadis itu mengangguk, lantas kembali bangkit untuk memeriksa tamu lewat lubang pengintip. Rena sepertinya mengenali wajah sosok yang tengah berdiri di balik pintu masuk. “Siapa?” tanyaku. “Anak SMA yang kita selamatkan tadi siang.” “Oh?” Aku memiringkan wajah seraya mengkerutkan alis. Ada perlu apa dia datang ke sini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN