Sempat kusadari keberadaan beberapa orang bodyguard berpakaian ala Men in Black di lorong luar. Aku lupa bahwa gadis di samping kasur perawatan ini adalah orang kaya.
“Ummm…” ucapnya kikuk. Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri.
“Ada yang bisa kami bantu?” potong Rena, berusaha mengarahkan gadis itu agar langsung menuju mengutarakan maksud kedatangan. “Nona—"
Sengaja Rena memberikan jeda ketika memanggilnya nona.
“Gicchi,” sambutnya, seakan paham maksud dari isyarat Rena. “Tolong panggil aku Gicchi.”
Sumpah, barusan aku salah mendengarnya sebagai Guci.
“Baik nona Gicchi, terima kasih karena telah datang menjenguk.”
“Umm… kak Rena…”
Dia tahu nama Rena.
Gadis itu mengalihkan pandangannya kepadaku.
“Kak, Anggi…”
Sepertinya dia sudah menyelidiki asal usul kami berdua.
“Terima kasih karena telah menyelamatkanku dan kakek.”
“Sama-sama,” jawab Rena dingin. Aku paham dia mungkin sedang berhati-hati. Karena tidak mungkin orang datang begitu saja tanpa memiliki maksud tertentu.
Gicchi ini bisa saja datang besok ketika sudah menenangkan diri dari kejadian tadi siang. Gadis itu pasti merasa shock, jadi maksud kedatangannya memang patut untuk dicurigai.
“Aku…” ucapnya tersendat, seakan ingat akan alasannya datang kemari. “Aku melihat apa yang Kak Rena perbuat.” Lengan Gicchi terlihat menganyam. Wajahnya menekuk seraya menunjukkan ekspresi kalut. Poni rambut jingga itu menutupi sebelah matanya.
Aku dan Rena saling melempar pandang.
Apa kemampuan Rena akan tersebar luas? Mungkinkah itu hal baik? Maksudku, dengan menunjukkan bahwa Rena adalah seorang Cyborg dari masa depan, bukankah akan terasa lebih meyakinkan jika dia sendiri bisa menunjukkan salah satu bukti mengenai itu.
Maksudku, ini tahun 2011, negara mana yang sudah bisa memiliki teknologi nanomachine sampai bisa bergerak luwes selayaknya manusia sungguhan seperti Rena?
“Lalu?” ucap Rena, seakan menantang.
“Kupikir itu keren sekali,” tukas Gicchi, berusaha mencipta senyum.
“Aku yakin kau tidak datang ke sini hanya untuk menyampaikan kekaguman remeh seperti itu,” selidik Rena.
“Ummm… benar.” Tarikan senyum di bibir Gicchi seketika memudar. Mungkin ia sadar Rena membaca maksud kedatangannya. “Aku bermaksud untuk meminta bantuan kalian.”
“Untuk?” pancingku.
“Melindungiku dan kakek.”
Menjadi bodyguard? Mulutku lantas kembali berucap, “Dari siapa? Orang yang berusah mencelakaimu tadi siang?”
Gicchi menangguk. Caranya menggerakkan wajah terlihat begitu antusias hingga rambut orange itu sempat mencipta semacam gelombang.
“Kau tahu siapa pelakunya?” selidik Rena.
“Bakery,” jawab Gicchi.
“Tukang roti?” jawabku spontan.
Diam-diam Rena mencubit lenganku.
“Bakery, maksudmu Aburiziek Bakery? Pemimpin dari Bakery Group?” lanjut Rena, mengabaikanku yang menjerit kesakitan dalam bisu.
Gicchi mengangguk.
“Kok bisa-bisanya dia ingin kau mati?”
“Karena kakek akan mewariskan seluruh asset dari Bakery Group kepadaku. Dia sebagai anak ke-dua dari kakekku hanya menerima sebagian kecil saja.”
“Oh, sengketa warisan.” Rena dengan cepat memotong.
“Hey, kakekku belum meninggal..!” Gicchi seketika tersinggung. “Lagi pula, dia kan sudah memiliki Bakery Group, kekayaannya triliunan rupiah. Kenapa masih harus mengejar aset kekayaan kakekku?” Wajahnya itu mulai terlihat frustrasi.
Rena membalasnya dengan sejumput tawa. Dia beranjak sejenak untuk mengambil sebotol minuman bersoda, lalu memberikannya pada si gadis berambut jingga demi mencairkan suasana.
“Biar kutebak, kedua orang tuamu sudah tiada, dan satu-satunya kandidat yang tersisa hanyalah kau dan pamanmu itu?”
Kok bisa Rena begitu cepat menyimpulkan hubungan Gicchi dan Bakery?
“Dengan membuat kau dan kakekmu seolah mengalami kecelakaan, maka dia akan menyingkirkan pesaing serta mempercepat perolehan harta warisan,” lanjut Rena. “Sekali tepuk dua lalat.”
Gicchi terdiam. “Mungkin begitu.”
Tapi tunggu dulu. Menurutku ada suatu hal janggal, “Kenapa kau tidak lapor polisi? Tadi siang itu kan jelas merupakan percobaan pembunuhan.”
Rena menghela napas, seakan berusaha memaklumi pertanyaanku. “Kau lupa seluruh bukti hilang secara misterius?”
Ah— benar. Bahkan mayat tiga eksekutor berpakaian jaket pemotor itu lenyap tak bersisa.
Gicchi mengangguk setuju, “Hukum di negara ini bisa dibeli, dan Bakery berhasil melakukan itu.”
Pikiranku sulit untuk mencerna ucapan barusan. Tak kusangka negara ini sudah sekorup itu.
“Percuma lapor polisi,” tambah Gicchi. “Itu kenapa aku berusaha mencari pihak ke-tiga yang bisa melindungiku dari konflik-konflik yang akan datang.”
Pandanganku kemudian teralihkan pada Rena. Gadis itu masih terduduk di kursi lipat seraya menyilangkan betisnya persis seperti pose sekertaris seksi. Wajahnya jelas menyiratkan proses berpikir demi menimbang sebuah keputusan.
“Artinya ini bukan pertama dan terakhir kali kau menerima percobaan pembunuhan?” tanya Rena, selesai dari lamunan.
Gicchi mengangguk. “Selama ini kami hanya dihadapkan pada semacam kecelakaan, seperti; terjatuh di dalam plafon stasiun kereta api, mengalami keracunan makanan, mobil mengalami rem blong, sampai pada akhirnya terlibat dalam kecelakaan beruntun.”
“Semuanya gagal?” ucapku terkesima. Dewi fortunya sepertinya berada di pihak gadis itu.
“Temanku meninggal dalam insiden keracunan massal, seorang pria—Dia ternyata bodyguard yang diutus kakekku untuk bekerja di balik layar—sampai meninggal ketika berusaha menghindarkanku dari laju kereta api. Belum termasuk beberapa pegawai lain yang juga sama-sama menemui ajal ketika berusaha melindungiku.”
Mulutku terperangah kala menyaksikan bagaimana mata Gicchi mulai berkaca-kaca ketika menerawang kembali seluruh ingatan buruk itu.
“—Mereka semua seakan menjadi tumbal demi menjagaku tetap hidup.”
Aku jadi teringat supir di mobil Alphard yang terpanggang hidup-hidup.
“Dan kali ini mereka begitu frustrasi sampai-sampai berani mengutus kru penembak bersenjata laras panjang,” komentar Rena.
Gicchi, si gadis berambut jingga terdiam sesaat. “Mungkin kami tak akan bisa selamat melewati upaya pembunuhan lainnya.”
Si tukang roti—, maksudku Bakery itu ternyata benar-benar tidak memiliki hati. “Kok bisa dia tega-teganya berusaha membunuh keponakan sendiri hanya demi harta warisan.”
“Oh, kau tidak tahu bagaimana begisnya manusia,” ucap Rena seraya mengukir senyum tak simetris.
“Jadi..?” ucap Gicchi meminta kepastian.
“Kami tidak bersedia,” jawab Rena cepat.
Raut muka Gicchi seketika memucat. “… Kenapa?”
Rena berdiri dari kursinya, lalu melangkahkan kaki demi menghampiriku. “Kami bukan orang yang kau pikirkan.” Lengannya kemudian ia sandarkan di bahu kananku. “Lihat Anggi, dia terluka setelah menerima sebuah peluru demi melindungimu.”
“…Tapi.” Gicchi berusaha berargumen. Mungkin ia ingin membicarakan bagaimana Rena bisa selamat tanpa luka meski terang-terang diberondong peluru di tengah jalan tol.
Namun mulut gadis itu malah terkunci rapat.
Apa itu berarti Gicchi sendiri meragukan pengelihatannya di kala itu? Karena memang sulit untuk dipungkiri, kemampuan Rena adalah sebuah hal fantasiah bagi orang-orang awam.
“Keselamatan Anggi adalah prioritas utama.” Rena menutup kompromi.
Terdapat sebuah kesunyian sebelum Gicchi akhirnya menyerah dalam keputusasaan. Gadis itu beranjak dari kursinya, lalu pamit untuk keluar dari ruangan.
Pintu ruangan tertutup rapat. Udara malam kembali sunyi. Kami berdua larut dalam keheningan.
“… kenapa?” ucapku penasaran.
“Belum waktunya kita menghadapi para oligarki itu.”
“Tapi bagaimana dengan Gicchi? Kita tidak bisa membiarkan dua orang itu mati terbunuh oleh si Bakery?”
“Kau lupa bahwa tubuhku akan berhenti berfungsi jika berada jauh darimu?” Rena sedikit terganggu dengan kenaifanku.
Aku akan terekspos terhadap tingkat bahaya yang sama dengan Rena jika menyetujui kontrak tersebut. Bagi gadis itu, hujan peluru mungkin bukan suatu hal besar. Namun lihat diriku, satu peluru cukup untuk membuatku nyaris meninggal.
“Kau bisa menjadi seperti diriku.”
Ucapan Rena membuatku tergelitik, “Maksudnya?”
“Kebal peluru, tahan bacokan s*****a tajam, memiliki kemampuan fisik abnormal.”
Alisku mengkerut, “Kau ingin mengubahku menjadi cyborg sepertimu?”
“Kita belum memiliki sumber daya cukup untuk melakukan itu.”
“Tunggu dulu,” ucapku penuh curiga. “Belum?”
Artinya Rena sungguh-sungguh bisa mengubahku menjadi sebuah robot berwujud manusia?
“Kau bisa mempraktekkan seni ilmu olah batin.”