Bab 14 : Ancaman

1255 Kata
“Anggi..! Bangun!” Paru-paruku mengembang kencang, menghirup udara sekuat tenaga seraya pandanganku membelalak. Kelima inderaku berusaha mengumpulkan segala bentuk informasi di sekeliling. Jantungku berdesir berusaha menyuplai darah ke otak demi membantu pikiran agar bisa menganalisis situasi lebih cepat. Rena menarik lengan kiriku untuk keluar dari kabin kendaraan. Pintu mobil Alphard hitam ini terkoyak dengan bekas cengkeraman lima jari manusia. Sekilas terlihat seperti dirobek. “—Apa yang…” Aku masih linglung. Suara jeritan manusia terdengar di sekelilingku. Tabrakan beruntun ini terlihat parah sekali. Banyak kendaraan terlibat kecelakaan, berserakan di badan jalan dengan berbagai kerusakan. Beberapa mobil bahkan ada yang bertumpuk satu sama lain. Rena membuka paksa beberapa pintu mobil yang macet. Hanya dalam sekali tarikan, logam seberat belasan kilogram itu terlempar ke belakang bak sebuah kaleng minuman. Gadis itu sibuk mengevakuasi korban yang terjebak dan tak sadarkan diri. Aku bersyukur karena moral kompas gadis itu masih sama seperti diriku. Kukira diriku dari masa depan telah berubah menjadi sesosok apatis dan berhati dingin. Mengingat nasibnya tak seberuntung diriku saat ini. Meski dengan segala ketidaksukaanku terhadap kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya aku memang masih seorang manusia yang memiliki empati terhadap kemalangan orang lain. Maka kubantu Rena dalam proses evakuasi itu. Meski aku tak memiliki kemampuan fisik abnormal selayaknya cyborg, namun setidaknya aku bisa berteriak kencang seraya memberi isyarat bagi siapa pun untuk pergi menjauh dari tumpukan kendaraan. Aku mencium bau bensin. Pikiranku membayangkan beberapa kemungkinan terburuk. Semoga tidak ada ledakan dari bocornya bahan bakar ke permukaan aspal. Ah, mungkin aku terlalu banyak menonton film laga. Rasanya mustahil bagi sebuah mobil untuk bisa meledak sampai terpental tinggi bak dipasangi bom C4. Namun tetap saja, ada kemungkinan tinggi atas kebakaran jika sudah tercium bahan bakar memenuhi udara seperti ini. Dan benar saja, kulihat ada asap hitam membumbung tinggi dari kejauhan. Telingaku menangkap jeritan hebat di tengah kekacauan ini. Kakiku lantas menjejak ke kap sebuah sedan, mendaki lebih tinggi menaiki minibus demi memperluas tangkapan mata. Kulihat sebuah minivan mewah tengah dilalap si jago merah. Kanan kiri kendaraan itu terhimpit oleh mobil lainnya. Si pengemudi terjebak di dalamnya, menjerit kesakitan karena tengah dipanggang hidup-hidup. “Ya tuhan…” Aku harus menyelamatkan mereka. Tubuhku terasa bergerak sendiri. Tangan dan kaki bergerak lincah seraya berlari melewati beragam rintangan bak seorang pegiat parkhour. Ini mobil SUV mewah, merknya sama seperti milik Rena. Mobil itu baru terbakar di bagian depannya saja. Penumpang di kursi belakang masih baik-baik saja. Mereka panik seraya berusaha menggedor-gedor kaca. Sekuat tenaga kupukul kaca itu. Namun sayangnya permukaan berlapis khusus itu tetap kokoh tak bergeming. Sepertinya itu kaca khusus anti peluru. Akan membutuhkan usaha lebih untuk bisa memecahkannya. “Mundur sedikit!” seruku. Kakiku melangkah muundur, mengambil jarak untuk melakukan akselerasi di atas beberapa tumpukan kendaraan lain. Lalu dalam satu entakan mantap, kujejakkan kakiku sekuat tenaga demi menciptakan kerusakan. Namun nihil, tiada hasil. Jangankan pecah.  Mencipta semacam keretakan pun aku gagal. Gadis berambut hitam lurus di balik kaca itu terlihat pasrah seraya memeluk kakeknya. Mereka menggerak-gerakkan mulutnya berusaha mengucap sesuatu. Namun telingaku gagal menangkap apa pun dari dalam sana. “Tidak..!” pekikku frustrasi. Mereka akan mati terpanggang. Di mana Rena? Dia seharusnya bisa melakukan sesuatu. Tubuhku tiba-tiba nyaris jatuh tatkala kap mobil sedan yang kupijak tiba-tiba bergeser dengan sendirinya. “Minggir..!” seru Rena. Lenganku memberikan isyarat bagi dua orang di dalam untuk menjaga jarak dari pintu. Gedebuk hantaman benda keras terdengar nyaring di telinga. Tumbukan dari kepalan tangan Rena hanya bisa menciptakan garis retak di kaca anti peluru tadi. “Ini mobil presiden atau apa sih? Keras sekali,” gerutu gadis itu. Rambut putih panjangnya berkibas seraya lengan kanan ditarik cepat, bersiap untuk melakukan sebuah pukulan serius. Kedua kakinya sedikit melebar untuk memperluas pusat keseimbangan. Aku seperti sedang melihat seorang pesilat tengah mengumpulkan konsentrasi. Siku gadis itu lantas berakselerasi, bertolak bak sebuah roket meluncur cepat. Kulihat jemari Rena dibuat meruncing membentuk kepala ular. Ujung kukunya mengantam bagian logam dari pintu hingga berhasil menembus lapisan baja itu. Rena merusak sistem kunci, lalu membuka paksa dari arah dalam. Pintu itu terbuka lebar, seketika aku menyongsong masuk untuk membantu Rena menggendong perempuan berseragam SMA putih abu-abu. Rambutnya mengembang dicat berwarna orange. Mereka berdua sudah tak sadarkan diri akibat terlalu banyak menghirup asap kebakaran. Sementara sang supir sudah terlambat untuk diselamatkan. Tubuhnya sudah terbujur kaku di kursi depan seraya terbungkus bara api. Si kakek terlihat masih setengah sadar. Aku dan Rena memosisikannya untuk duduk di pinggir jalan tol. “Hati-hati nak, ini ulah mereka..” “Mereka?” Aku dan Rena saling bertukar pandang. “Siapa?” Pertanyaan itu langsung terjawab sedetik kemudian. Pandangan Rena membelalak tatkala menyadari tubuh si kakek terentak sesaat. Kulihat d**a kanan pria tua renta itu bolong ditembus oleh sesuatu. Seseorang menembaknya!  “Kakek..!” Gadis SMA tadi menjerit panik. Dia mendekap kakek berpakaian tradisional Cina seakan berusaha menjadikan dirinya sebagai tameng. “Gi, bawa merka pergi.” Rena menyuruhku untuk membawa keduanya ke tempat yang lebih aman. Ada apa ini? Apa yang terjadi? Semuanya terjadi secara cepat dan tiba-tiba. Otakku kesulitan untuk mencerna realita. “Ke mana?” ucapku setengah linglung. “Ke mana saja asal tidak di tempat terbuka seperti ini!” hardik Rena tak sabar. Tak sanggup aku membantah lebih lanjut. Perhatianku lantas kembali tertuju pada dua orang misterius ini. “Ayo” Si kakek rupanya masih siuman. Tembakan tadi menembus paru-paru sebelah kiri. Ia kesulitan untuk bernapas. Aku membayangkan paru-parunya akan luruh dibanjiri oleh darah. Dia akan meninggal jika tidak segera mendapat pertolongan. Deru suara letusan s*****a api kembali terdengar. Kali ini diikuti dengan desingan logam akibat tumbukan peluru gagal mengenai targetnya. Warga yang hendak menolong terlihat kocar-kacir setelah menyadari kami tengah terlibat dalam kontak bersenjata. Pundakku membopong lengan kiri dari si kakek, jadi pergerakanku tak selincah mereka yang berlari tunggang langgang. Untungnya mobil-mobil korban tabrakan beruntun ini menciptakan semacam pelindung. Kami bisa menyelinap di tiap sela-sela kecil, memperkecil kemungkinan untuk terlihat dari arah si penyerang. Siapa pun pelaku percobaan pembunuhan ini. Aku bersyukur tingkat akurasi tembakannya setara dengan prajurit Stormtrooper. Sayangnya aku salah. Pikiran barusan rasanya seperti sedang menantang takdir dan dewi fortuna yang sedang menolongku dari situasi pelik ini. Lengan kiriku terentak sesaat. Sesuatu menembus ototku dari arah belakang. “…ah.” Rasanya panas sekali. Cairan hangat merembes keluar membasahi kerah lengan dari kemeja yang kukenakan. Aku tertembak? Benar saja, keberuntungan ini tidak bertahan lama. Maka setelah tiba di tepian jalan tol, aku mendorong si kakek dan cucunya agar segera terjatuh di balik beton pembatas. Sempat aku berbalik, penasaran akan bagaimana Rena menangani situasi ini. Gadis itu melempar sebuah benda tinggi ke angkasa. Pesawat mainan? Bentuknya seperti helikopter, namun baling-balingnya ada empat di tiap sudut. Benda itu bergerak stabil seraya Rena berdiri di tengah jalan. Dia sama sekali tak terkena tembakan? Bukan begitu— Telingaku menangkap rentetan letusan suara senpi. Rena memang tengah ditembaki. Aku bisa melihat empat orang bersenjata laras panjang tengah berjalan seraya menekan pelatuk demi mengirim puluhan timah panas. Deru ledakan mesiu dari selongong terdengar nyaring memenuhi telinga. Lantas kenapa gadis itu terlihat baik-baik saja? Mataku berusaha menajamkan pandangan. Sekilas aku menangkap keberadaan sebuah lapisan transparan tepat di hadapan Rena. Semacam perisai mistis. Sebuah dinding tak tertembus, melindungi Rena dari ganasnya proyektil tembakan. Gadis itu diam bukan karena tengah meremehkan. Dia rupanya tengah  mempersiapkan pesawat kecil sekiar sepuluh meter di atas kepalanya. Detik berikutnya, seluruh rangkaian tembakan itu lenyap seketika. Aku bersumpah, sesaat tadi pandanganku menangkap semacam kilat cahaya berwarna jingga. Sebuah tembakan dari arah angkasa telah berhasil melubangi kepala dari empat orang penyerang tadi. Teknologi yang terlalu canggih akan terasa seperti sihir. Dia benar-benar seorang Cyborg dari masa depan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN