“Sudah waktunya kita bersiap.” Perhatian Rena teralihkan paska melihat ujung jarum pendek di jam tangannya.
Hanya butuh setengah jam bagi kami untuk kembali menyegarkan diri seraya berganti pakaian.
Mobil Alphard hitam menjemputku dari parkiran. Seorang petugas valet mengeluarkan kendaraan Rena dari parkiran bawah tanah.
Rena duduk di kursi sebelah kanan, berada tepat di balik kemudi.
Gadis itu keren sekali. Ukuran lengannya lebih kecil dariku. Jemarinya mencengkeram setir, memutar-mutar presisi ketika berbelok keluar menuju jalan utama.
“Harusnya aku yang menyetir,” ucapku merasa kalah.
“Ya belajar sana,” balas Rena.
“Kapan?” Aku melayangkan protes. Semenjak pertemuan awal kami berdua. Rasanya aku nyaris tak memiliki waktu luang untuk diriku sendiri.
Hidupku secara praktis mungkin sudah terjebak untuk selalu berada di samping Rena.
“Nanti setelah Data Center rampung yah.” Rena berusaha menghiburku.
“Kenapa?” Aku belum paham kenapa Rena begitu terobsesi untuk menyelesaikan pembangunan markas data itu.
“Data Center hanyalah kedok,” tukas gadis itu. Matanya bolak balik mengamati spion untuk bermanuver di pintu masuk jalan tol.
Jam segini memang masih menjadi bagian dari Rush Hour. Orang-orang berpergian ke kantor nyaris di saat bersamaan. Jadi tak heran, kalau kemacetan menjadi produk akhir tak terhindarkan.
“Kau bilang kedok?” tanyaku, berusaha menggali lebih dalam. “Memang fungsi utamanya apa?”
“Tentu saja untuk simulasi dan bahan penelitian.”
Aku makin tak mengerti.
“Kau ingat pernah bertanya padaku tentang kemampuanku untuk meretas bank dunia?”
Tentu saja, di awal pertemuan kita ketika dia memperkenalkan diri sebagai cyborg dari masa depan. “Kau bilang kau belum memiliki kemampuan kalkulasi dan pemrosesan data yang cukup untuk itu.”
“Aku sudah melakukan kontak dengan perusahaan manufaktur mikrocip di Taiwan. Dengan informasi dariku, kami sepakat untuk membangun pusat penelitian dan pengembangan teknologi komputer kuantum.”
“Taiwan?” gumamku pelan. “Biar kutebak.” Aku jadi mengingat kembali pertemuan kami dengan Elon Musk.
Rena menoleh ke arahku seraya tertawa jahil.
Aku menghela napas karena yakin dengan tebakanku. “Kau pasti memeras perusahaan itu, kan?”
Sama halnya seperti apa yang dia lakukan pada Elon Musk.
“Informasi adalah s*****a utama di era teknologi ini,” kilah Rena. “Lagi pula, pimpinan dari AMD—Perusahaan manufaktur mikrocip, Advanced Micro Devices, Inc—rupanya cukup rasional ketika kutunjukkan data-data shahih tentang kiamat sepuluh tahun mendatang.”
“… bagaimana?” gumamku tak mengerti.
Kapan Rena menemui CEO dari AMD? “Sepulang dari Amerika bukannya kau nyaris tak pernah keluar ruangan?”
Seingatku aktivitas terakhir kami hanyalah bolak-balik ke kantor dinas penanaman modal, berkoordinasi dengan biro jasa untuk pengurusan izin, serta jalan-jalan ke toko kelontong di lantai dasar untuk membeli camilan.
“Oh, soal itu..” ucapnya. Paham atas pertanyaanku. “Sepertinya meretas sistem mereka secara langsung dan memperkenalkan diri seperti seorang Ghost AI jauh lebih meyakinkan dari pada menemui langsung dalam wujud manusia.”
“Meretas? Ghost AI.” Otakku belum cukup canggih untuk bisa mencerna bahasa dari penjelasan Rena barusan.
“Iya. Hantu kecerdasan buatan. Seperti sebuah virus yang memiliki kesadaran kognitif layaknya manusia. Aku cukup memunculkan wajahku di seluruh layar dan komputer dari CEO dan para pemegang saham. Di saat bersamaan aku juga mengambil alih seluruh server mereka,” tukas Rena. “Hanya dengan cara itu mereka bisa percaya atas seluruh perkataanku.”
“Itu tindakan kriminal,” komentarku. “Mereka pasti benar-benar ketakutan, mungkin sampai berasumsi bahwa ada sistem kecerdasan buatan canggih yang telah berhasil menguasai dunia maya.”
“Mereka tak salah,” tukas Rena. “Meski akan membutuhkan waktu sampai pusat kalkulasi di Kalimantan bisa segera didirikan.”
“Jadi kuncinya ada di keberadaan komputer kuantum itu ya?”
Rena mengangguk, “Lalu kau salah tentang satu hal.”
Pandanganku terkunci pada gadis itu.
“Aku tidak melakukan pemaksaan.” Rena berdalih, “Pada akhirnya keputusan ada di tangan mereka. Apakah mau membantu, atau melewatkan kesempatan untuk bisa mengembangkan bisnis demi mengalahkan hegemoni dari lawan saing mereka, Intel.”
“Tapi AMD dan Intel itu kan sama-sama perusahaan Amerika.”
Seingatku, hanya Intel dan AMD saja perusahaan di muka bumi ini yang bisa membuat mikrochip untuk keperluan komputasi.
“Ya, terus?”
“Jadi kau condong kepada pihak barat?”
“Power tend to corrupt,” ucap Rena. Tiba-tiba mengucap dalam bahasa Inggris. “Absolute power mean absolute corrupt.”
Mulutku tidak mengucap pertanyaan apapun. Karena aku yakin, Rena pasti akan menjelaskan lebih lanjut.
Namun lima belas menit berselang, gadis itu masih fokus menyetir.
“Hey, artinya apaan?” protesku jengkel.
Dia tertawa. “Lho, kukira kau langsung bisa mengambil kesimpulan dari perumpamaan terakhir tadi.”
“Maaf, otakku masih terbuat dari susunan biologis.” Lenganku terlipat seraya menggerutu. “Kemampuan proses informasiku masih sebatas manusia normal.”
“Oke-oke, maaf,” tukas gadis itu seraya menahan tawa. Tanpa sadar jemarinya menyentuh bagian bibir.
“Jadi, kenapa?” Aku menuntut penjelasan.
Rena terdiam sejenak. Mungkin dia berusaha menyusun kalimat sederhana dengan kosakata umum yang bisa dipahami makhluk fana.
“Sepertinya kau paham bahwa geopolitik dunia hanya dikuasai oleh barat dan timur.” Gadis itu memulai penjelasan.
“Aku mengajar sejarah di sekolah tempatku bekerja. Meski tidak memiliki gelar professor, namun setidaknya aku paham akan sejarah geopolitik dunia dalam beberapa dekade terakhir.”
“Ini kita tidak sedang membicarakan ideologi komunis vs liberalis,” ucap Rena menegaskan.
“Aku paham,” jawabku.
“Meski perang dingin telah usai. Namun sejatinya pembagian pandangan dan sikap masih terbelah antara dua kubu. Blok barat dan blok timur.”
“Seperti Russia dan Cina yang berupa blok timur, serta Eropa, Amerika, dan anggota dari NATO sebagai bagian dari Blok Barat?” Aku menambahkan.
“Betul,” jawab Rena. Ia masih terlihat berhati-hati untuk memilah kata,
“Lima tahun yang akan datang, di bawah cengkeraman diktator dari pemimpinnya, Cina akan berubah menjadi negara Adidaya. Kemampuan ekonomi dan militer mereka akan setara dengan Amerika Serikat.”
“Lalu?”
“Terjadi perang dagang. Masing-masing saling menyerang lewat kebijakan ekspor-impor yang merugikan satu sama lain. Ketegangan itu kemudian berlanjut ke dalam pemutusan hubungan diplomasi, yang pada akhirnya naik ke dalam konflik bersenjata.”
“Terjadi perang dunia ke-tiga?” Aku membelalak tak percaya.
“Diawali dengan aneksasi Taiwan oleh Cina daratan, berlanjut kepada ketegangan klaim atas laut cina selatan.”
“Lalu bagaimana dengan Indonesia?” tanyaku penasaran.
Gadis itu terkekeh. Seperti seorang guru menertawakan kebodohan muridnya. “Indonesia masih bersikukuh pada kebijakan non blok.”
“Negeri ini netral dan tidak ikut berperang?”
“Harusnya begitu, namun sayangnya pemerintah kita terlalu naif. Karena pada akhirnya, Indonesia malah menjadi arena pertempuran dan terkena serangan dari dua pihak karena dianggap sebagai pihak ketiga.”
“Ruwet sekali ya.”
“Memang,” keluh Rena. “Itu kenapa aku menjalin kerjasama dengan AMD dari sekarang. Lokasi mereka berada di Taiwan.”
“Bukannya negeri itu nanti akan diserang Cina ya?”
“Ya, dan mereka kalah.” Ucapan Rena terdengar dingin. “Militer mereka tidak siap. Posisi negara itu dianggap kurang signifikan di mata dunia.”
“Lantas apa hubungannya dengan alasanmu menggandeng AMD?” Aku pikir pembicaraan awal kita ini adalah tentang perusahaan penghasil mikrochip. Tapi topiknya malah merembet ke masalah geopolitik di masa depan.
“Kantor utama AMD berada di Taiwan,” jawab Rena.
“Ah…” Kepalaku mulai menghubungkan benang merah.
“Di masa depan akan terjadi kelangkaan mikrochip. Jika AMD berhasil menjadi perusahaan penting dengan lini produksi utama di daratan Taiwan, maka nilai keberadaan negara itu akan naik secara signifikan. Siapa pun akan membela Taiwan jika mayoritas pabrik penghasil mikrochip— material silikon pembentuk kehidupan modern diusik.”
“Apa itu berarti sekarang kau adalah pemilik dari mayoritas saham satu di antara dua perusahan penghasil mikrochip?”
Gadis itu tersenyum lebar seraya membentuk huruf V dengan jemarinya. “Letak Taiwan dengan Kalimantan relatif dekat jika dibandingkan dengan daratan benua Amerika. Itu nilai plus lainnya.”
Benakku berusaha membayangkan peta geopolitik yang dijabarkan oleh Rena.
Namun lamunanku buyar tatkala Rena secara tiba-tiba menginjak rem mobil.
Di hadapan kami, terdapat sebuah mobil mini SUV tengah dilahap si jago merah. Entah karena kegagalan mesin, atau ada suatu hal salah di sistem kelistrikannya. Bagian kapnya tiba-tiba berasap, lalu mengeluarkan bara api.
Si piengemudi dengan segera menepi seraya kecepatannya kian turun karena kehilangan daya penggerak.
Namun nahas, sebuah truk menghantamnya dari samping. Kendaraan bermuatan penuh itu tak sanggup mengerem tepat waktu ketika mobili kecil tiba-tiba saja berpindah jalur tepat di hadapannya.
Truk itu terguling karena mengerem seraya membanting setir di saat bersamaan.
Suara decit ban terdengar riuh kala beberapa kendaraan lain mengerem berusaha menghentikan laju.
“Gi..!” Rena memekik kala menyadari bahaya lain datang menyapa.
Badanku tiba-tiba terentak keras menempel ke arah jok. Mobil yang kami naiki ditumbuk dari arah belakang. Kendaraan ini terdorong maju, lalu menghantam beberapa mobil lainnya di depan.
Suara hantaman lainnya datang silih berganti. Entah ada berapa pengguna jalan yang gagal berhenti tepat pada waktunya.
Segalanya terasa gelap tatkala airbag menyembur keluar dari samping kiri dan depanku. Kepalaku terhantam hebat hingga membuatku tak sadarkan diri seketika itu juga.