“Hidup kita akan sedikit berbahaya mulai dari sekarang.” Rena mengucap datar seraya melepas tangannya dari seorang pria bersetelan hitam.
Sebuah pistol jatuh dari tangan berlumuran darah. Napas pria itu mengembus untuk yang terakhir kalinya.
Aku menyaksikan semuanya seperti dalam gerak lambat.
Ujung jemari Rena menancap sejengkal di bawah bahu kiri si pembunuh. Persis seperti anak paku menembus kayu. Lengan gadis itu lalu tenggelam masuk demi meremas jantung yang terlindungi di balik tulang d**a.
Irama jantungku kian meningkat hingga otakku sanggup memproses segala informasi lebih akurat. Dorongan adrenalin ini bahkan membuat tanganku bergetar hebat.
“…Dia mati,” komentarku pelan, dikuasai shock.
“Ya,” jawab Rena datar. Dia terlihat begitu tenang sekali, seakan bukan pertama kalinya gadis itu mencabut nyawa seseorang.
Kami berdua diam membisu.
Udara di sini panas sekali.
Tubuhku seakan tengah dipanggang.
Dan memang itu yang akan terjadi. Api terlihat menyalak-nyalak dari jendela luar. Satu lantai di bawahku tengah hancur dihalap si jago merah.
Rumah sakit ini tengah mengalami kebakaran.
Asap pekat menutupi ruangan. Posisi Rena terlihat angker dengan ekspresi sedingin es di wajahnya. Dia berdiri tegap seraya mengendurkan jemarinya, melepaskan sebuah seonggok jantung yang masih berdenyut pelan.
Tubuh pria misterius dengan pistol di tangan akhirnya ambruk menghantam lantai.
Napasku tertarik dalam. Benakku membayangkan kembali kejadian semenit lalu.
Segalanya terlihat baik-baik saja. Aku bersumpah, suasan begitu tenang, normal, dan membosankan. Malam ini akan menjadi suntuk seperti hari-hari sebelumnya dengan Rena menyibukkan diri mengutak-atik laptop.
Kami berbincang tentang strategi bisnis. Gadis itu hendak mengakusisi perusahaan penyedia layanan pengirim pesan instan bernama w******p.
Lalu tiba-tiba terjadi keributan di luar sana. Suara sirine meraung-raung tanda terjadinya kebakaran. Para staff berlarian menyelamatkan diri serta pasien yang membutuhkan pertolongan.
Seorang suster menerobos masuk, berusaha memperingatkan akan bahaya. Dia mungkin hendak mengevakuasi kami ke tempat aman keluar dari gedung ini.
Namun tiba-tiba sorot matanya membelalak, bersamaan dengan terciptanya sebuah lubang tepat di belakang kepala, menembus keluar hingga menerobos kening.
Seseorang menembaknya dari belakang.
Belum genap satu detik berlalu, ujung senjatanya kini terarah padaku.
Jangankan untuk berkilah mencari perlindungan. Untuk bisa bereaksi saja aku tak mampu. Menyaksikan bagaimana suster tadi tergeletak tak bernyawa saja cukup untuk membuat otakku membeku.
Jadi jangan salahkan diriku ketika tubuh ini hanya diam membatu, seperti seekor kambing yang pasrah di hadapan sang penjagal hendak mencabut nyawa.
Pun begitu, aku sama sekali tak melupakan keberadaan Rena.
Si gadis cyborg itu mengayunkan lengannya dengan cepat, menangkis peluru yang melesat cepat di udara.
Manusia normal tidak akan sanggup memiliki refleks macam itu.
Mataku bahkan kesulitan menangkap percikan bunga api akibat hantaman laju peluru di punggung tangan Rena. Dalam satu detik yang sama, gadis itu sudah berbalik, bangkit dari posisi duduknya untuk meraih si penyerang.
Berikutnya, tangan gadis berambut perak itu kulihat sudah menancap menembus bagian tengah tulang pelindung paru-paru.
“Mustahil bagi kita untuk tetap tiarap dan tak memancing perhatian.” Rena masih menjaga ketenangan di tengah kekacauan ini. Padahal orang-orang tengah menjerit panik di lorong terluar. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri.
Seseorang mengirim pembunuh untuk menyarangkan peluru di kepalaku di tengah kebakaran ini.
Sepertinya ini merupakan kejadian terencana. Seserang dengan sengaja membakar Rumah Sakit ini.
Tapi persetan dengan itu. Bukankah ini saatnya untuk menyelamatkan diri keluar dari sini? Kenapa Rena malah larut dalam pemikirannya sendiri?
“Ren, ayo!” ucapku seraya bergegas pergi.
Seminggu setelah mendapat perawatan di sini, lukaku kini cukup pulih hingga setidaknya sanggup untuk berjalan tanpa menerima bantuan.
“Kita harus menyelamatkan Gicchi.” Rena seakan tak setuju dengan keinginanku untuk lari.
Jangan-jangan Rena sepemikiran denganku tentang benang merah kebakaran dan pembunuh tadi.
“Kebakaran ini hanyalah pengalih perhatian,” tegas Rena. “Tujuan utamanya adalah Gicchi dan kakeknya. Ini adalah percobaan pembunuhan lainnya.”
Masuk akal.
Ucapan Rena itu mengingatkanku pada pengakuan Gicchi tentang situasi perebutan hak ahli waris dengan pamannya.
“Jadi?” Aku meminta kepastian. Untuk melakukan hal berisiko, kita memerlukan sebuah perencanaan.
Seperti di mana letak Kakek Gicchi dirawat. Dan ada berapa pembunuh lain yang ditugaskan untuk melenyapkan keberadaan mereka.
Ah, untuk masalah pembunuh aku sepertinya tak perlu banyak khawatir.
Di sampingku ada seorang terminator dari masa depan. Kau akan membutuhkan tank atau pesawat tempur untuk bisa mengalahkan Rena dengan kemampuan manusia supernya.
Aku bersumpah kulit Rena itu lembut seperti manusia sungguhan. Namun nyatanya, dia bisa memanipulasi permukaan kulit itu hingga menjadi sekeras baja. Cukup untuk menangkis tembakan pistol. Rena pernah menjelaskan padaku bahwa zat pembentuk utama dari tubuhnya saat ini adalah triliunan mesin bernama NanoMachine kecil. Masing-masing ukurannya dua puluh ribu kali lebih kecil dari pada sehelai rambut. Tiap mesin mikro itu sanggup mencipta berbagai elemen hanya dengan sesederhana mengubah susunan formasi molekul saja.
Jujur saja, aku sangsi tentang teknologi dari tubuh Rena ini. Masak sih dalam satu dekade saja umat manusia bisa menciptakan hal secanggih ini?
Lihat saja, gadis itu tiba-tiba terlihat menghilang dari pandangan. Tubuhnya berubah menjadi semacam hologram semi transparan. Kau tak akan bisa menyadari keberadaannya jika tak benar-benar jeli melihat perubahan pada tiap sudut dari cahaya di ruangan. Ada semacam goyangan kecil layaknya bias derau pada puncak bara api, atau ketika menatap area kejauhan pada permukaan aspal panas di bawah terik matahari.
“Aku sudah mengunduh rancang bangun dari gedung ini. Ruang ICU terletak satu tingkat di atas kita.” Rena berjalan terlebih dahulu seraya memberikan isyarat padaku untuk sedikit merunduk.
Tidak, dia menyuruhku untuk berjalan sambil merangkak.
Tanpa sengaja aku menyenggol beberapa orang yang tergeletak tak sadarkan diri.
“Mereka mungkin meninggal akibat menghirup asap Karbon Dioksida.” Rena menutup tiap pintu yang terbuka seraya kami menelusuri lorong.
Sempat kuperiksa tubuh lelaki paruh baya yang tergeletak itu.
“Anggi!” bentak Rena. “Tak ada yang bisa kita lakukan.”
Seketika itu pikiranku tersadar. Hal terpenting saat ini adalah keselamatan Rena dan diriku sendiri.
Tempat ini sepi namun terasa ramai di saat bersamaan. Riuh suara teriakan orang-orang terdengar sayup entah dari mana. Mungkin tempatku berada saat ini adalah semacam pusat dari api kebakaran.
Lalu terdengar suara tembakan.
Detik itu, aku dan Rena seketika bergegas berlari menuruni tangga terdekat. Napasku sengaja ditahan agar tak menghirup asap beracun di bagian atas lorong.
Namun Rena tiba-tiba mendorongku mundur. Pertanyaan di benakku langsung terjawab kala menyadari sebagian pakaian Rena tiba-tiba terbakar diembus angin panas dari lantai dasar.
“Rena!” pekikku panik.