Bab 18 : Menyelamatkan Diri

1443 Kata
Apa dia baik-baik saja? Gadis itu buru-buru membuka kemeja putih yang membungkus sebagian tubuhnya. Dia tak terlihat menunjukkan tanda-tanda luka. Rambut putih Rena bahkan masih tergerai normal meski diembus udara super panas dari api di lantai bawah. Telingaku kemudian menangkap suara tembakan lainnya. Sepertinya Gicchi ada dalam masalah besar. “Kita harus menyelamatkan Gicchi!” Aku mulai tak sabar. “Tolong beritahu suatu hal yang tak kuketahui,” jawab Rena sarkastik. Gadis itu terlihat memperpendek jarak denganku, lalu menembakkan sesuatu dari balik telapak tangannya hingga membentuk sebuah lingkaran mengelilingi. “Pejamkan matamu.” Entah apa yang akan dia lakukan. Aku hanya bisa menurut. Segalanya kini menjadi hitam pekat. Telingaku tiba-tiba diempas oleh suara memekakkan. Lantai tempatku berpijak seketika ambruk, jatuh satu lantai ke bawah persis dalam lingkaran buatan Rena tadi. Dia menempelkan semacam bahan peledak untuk membelah beton secara presisi layaknya memotong kue ulang tahun. Tak ada waktu untuk terperangah seperti orang bodoh. Kami tiba satu lantai di bawah. Jadi selanjutnya adalah menyelamatkan Gicchi sebelum dia dieksekusi oleh para pembunuh bayaran itu. Demi tuhan, api di sini berkobar begitu buas. Plafon dan perabotan dari tiap ruangan rawat inap tengah habis dilahap si jago merah. Siku lenganku refleks bergerak melindungi kulit wajah saking panasnya. Mataku terasa pedih sekali. Untuk membuka kelopak mata pun aku tak sanggup. Rena menarik lenganku, membimbing diriku untuk berlari di tengah kepulan asap membutakan. Beberapa kali kakiku terantuk pada sosok manusia tergeletak di berbagai tempat. Kenapa pemadam kebakaran tak datang tepat waktu? Ke mana perginya para pahlawan penghalau api itu? Entah ada berapa banyak korban tas insiden ini. Asap pembakaran tak lagi separah di lorong tadi. Setidaknya aku bisa membuka mata dan menelisik detail di sekeliling. Kini kami dihadapkan pada sebuah pintu ganda. Di bagian atasnya terdapat papan terbuat dari akrilik bertuliskan ICU. Seketika pintu itu hancur ditendang Rena. Di dalamnya terdapat tiga orang berpakaian sipil tengah bersiaga seraya dengan pistol di tangan. Tak jauh dari tiga orang itu, beberapa perawat dan petugas terlihat terkapar tak bernyawa. Mereka sepertinya berniat untuk menghilangkan tiap saksi mata. Kulihat Gicchi tengah meringkuk ketakutan di hadapan tiga ekskutor bersenjata api. Tanpa membuang banyak waktu untuk menganalisisa situasi, Rena lantas mendorongku hingga terjatuh agar terhindar dari arah tembakan. Benar saja, letusan suara s*****a api terdengar berulang kali. Aku berusaha bangkit kembali demi menyaksikan bagaimana Rena melesat cepat bak seorang ninja. Dengan kecepatan tak masuk di akal, gadis itu memperpendek jarak sekitar sepuluh meter hanya dalam waktu sedetik saja. Lantai tempatnya berdiri tadi bahkan sampai menekuk retak saking kuatnya ia menjejakkan kaki demi bertolak melakukan akselerasi. Jemari Rena seperti biasa dikeraskan meniru bentuk kertas. Lalu dalam beberapa kali sabetan tepat di leher, gadis itu menghabisi tiga pembunuh bayaran berjaket hitam dengan mencipta sayatan tepat di bawah dagu. Darah segar mengucur. Mereka terkapar jatuh seraya memegangi leher masing-masing. “Gicchi!” seruku menghampiri. “Kak Anggi..! Rena..!” Dia segera meraih lenganku. Wajahnya terlihat dipenuhi sejuta rasa panik. “Ayo!” Aku membopong tubuhnya untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi Gicchi malah menggelengkan kepalanya. “Kakekku!” “Dia masih membutuhkan mesin penunjang kehidupan.” Rena membobol tembok pemisah area observasi dengan ruang tempat sang kakek terbaring. Berbagai peralatan medis terlihat lengkap mengelilingi kakek tua berwajah Chinesse itu.  Berbagai selang tampak memasuki mulutnya. “Dia akan mati jika kita mencabut respirator secara paksa.” Rena berusaha memeriksa kondisi kakek itu. “Dia akan tetap mati jika kita tinggalkan di sini!” Gicchi tak terima. Tapi harus bagaimana lagi? Memang itu kenyataannya. Kondisi kakeknya itu benar-benar terkunci dengan berbagai peralatan penyangga hidup. Melepasnya dengan paksa bukan sebuah alternatif. Beragam instrumen medis ini juga tidak bisa digeser seperti kita mendorong kasur perawatan. Api menyebar kian meluas. Tempat ini tak lama lagi akan hangus terbakar. “Gicchi!” Gadis itu menangis, “Tolonglah, pasti akan ada jalan. Akan kuberikan apapun asal kalian bisa menyelamatkan kakek.” “Termasuk semua asset milik kakekmu?” Rena malah mengucap suatu hal tak terpikirkan. Gicchi bahkan sampai terkesiap mendengarnya. “Maksudmu? Kau bisa menyelamatkan kakek?” Penawaran Rena itu memang terdengar tak masuk akal. Dia berbicara seolah sudah memiliki solusi dari situasi pelik ini. “Aku butuh kekayaan keluargamu untuk menjadikannya berlipat ganda dan menguasai dunia.” Gicchi mengangguk dalam keputusasaan. “Terserah! Aku tak peduli soal harta warisan. Pokoknya tolong selamatkan kakek. Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa.” Mungkin di situasi hidup dan mati seperti ini, orang memang tak akan pernah berpikir apa pun selain keselamatan diri dan orang terkasih. “Deal,” jawab Rena. Gadis itu lantas memintaku dan Gicchi untuk memberi ruang. “Aku akan memberikan sebagian dari diriku untuk memperbaiki sel-sel di tubuh kakekmu.” Sulit untuk mencerna maksud ucapan Rena. Maksudnya apa? Dia sedang membicarakan Nano Machine? Rena mulai melucuti satu per satu selang yang merasuk ke dalam mulut si kakek. Ia bahkan mencabut infusan di tangan sang pasien. Tunggu dulu, bukannya si kakek akan meninggal jika kita mencabut mesin penyokong hidupnya? Apa Rena hendak  membunuh orang tua itu? Keterkejutanku dan Gicchi bertambah kala menyadari lengan kanan Rena kini terlihat mencair. Sebenarnya tidak benar-benar mencair, sih. Tapi memang aneh rasanya melihat kelima jari utuh Rena tiba-tiba berubah bentuk menjadi sebuah slime. Gicchi terlihat menaruh kepercayaan penuh pada apa pun yang Rena perbuat. Ia tetap bergeming meski menyaksikan bagaimana Rena memasukkan lengannya ke dalam mulut sang kakek. Tubuh kakeknya Gicchi berkedut sesaat. Napasnya terlihat terengah-engah. Lenganku terasa digenggam erat oleh Gicchi. Dia berusaha untuk tidak panik meski kelihatannya sang kakek terlihat sedang meregang nyawa. Lengan Rena tercabut keluar. Bagian berbentuk slime tadi terlihat terpapas habis. Mungkin dipaksa masuk tertelan. Kondisi si kakek terlihat stabil. Napasnya kini terlihat beraturan. Pucat di wajah bahkan terlihat menghilang. Rena seperti seorang nabi yang baru saja berhasil menyembuhkan penyakit yang tiada obatnya. “Setelah ini, kuserahkan semuanya pada kalian.” Bulu mata lentik gadis itu tiba-tiba menutup. Tubuhnya hilang keseimbangan, lalu ambruk tak sadarkan diri. “Rena!” Berulang kali kugoncang-goncang tubuhnya. Mungkin dia hanya kelelahan. Semoga saja begitu. Jadi kulingkarkan lenganku di punggung dan pinggulnya. Kuangkat dia bak seorang pangeran menggendong tuan putri di dongeng kerajaan. Untuk seorang Cyborg, ternyata bobot tubuh Rena ringan sekali. Telingaku kemudian menangkap suara si kakek. “Gicchi?” “Kakek..!” Gadis itu memeluk erat disertai haru. Wow, dia pria tua itu sekarang bisa bangkit lalu keluar dari tempat tidurnya. “Sekarang bukan waktunya untuk itu.” Aku berusaha mengingatkan akan realita di sekitar. “Kita harus segera keluar dari tempat ini.” Si kakek bahkan sudah bisa berjalan. Keajaiban macam apa ini? Suara kaca pecah menyadarkanku dari lamunan. Api benar-benar sudah merembet hingga ke ruang ICU. Kami keluar dari area itu, lanjut memasuki lorong penghubung antar gedung. Ke mana kami harus menyelamatkan diri? Sebelum pingsan Rena tak memberikanku petunjuk sama sekali.  “Jendela!” seru Gicchi. Tangannya menunjuk pada jendela di penghujung lorong. Di sana terlihat sebuah ranting dari pohon pinggir jalan. Lampu sorot menerangi tiap helai daunnya. Jadi posisi tempatku berdiri saat ini pasti hanya terletak di lantai dua. Kita bisa meloncat keluar dari sana. Asap di sini terlalu pekat. Dadaku terasa sesak. Mataku terasa perih sekali. Tak ada jaminan kita bisa selamat tanpa luka setelah meloncat dari lantai dua. Pun begitu, ini merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menyelamatkan diri. Kepalaku mengangguk, memberikan konfirmasi pada Gicchi. Kami berdua lantas berlari menjejak kaki berusaha menerobos asap dan api. Plafon langit-langit lorong ambruk menghalangi jalan, nyaris menimpa kami berdua. Andai barusan aku jatuh tertimpa, mungkin tubuhku akan matang dipanggang api yang membakarnya. Kakiku menjejak sekuat tenaga, tubuhku terlontar seraya memosisikan punggung agar terlebih dahulu menghantam kaca. Gicchi dan kakeknya meloncat di belakangku. Bara api mengembus keluar seakan berusaha melahap kami berempat. Demi tuhan, aku berasa menjadi bintang utama dalam sebuah adegan aksi di film-film laga. Mataku berfokus pada area di bawah sana. Puji tuhan ternyata bukanlah lapisan beton mau pun aspal. Kami mendarat di atas rumput taman. Cahaya penerangan dan gemerlap lampu strobo dari mobil instansi sempat membuatku kehilangan orientasi. Tubuh Rena terlempar, lalu berguling-guling bak sebuah mayat tak bernyawa. Dia tak mati, kan? Orang-orang seketika mengerumuni kami berempat. Tunggu dulu, aku teringat akan ucapan Gicchi perihal sang paman yang berusaha membunuhnya. Jika ditelisik lebih lanjut, analisis Rena tentang dugaan pembakaran Rumah sakit dengan sengaja, sampai dengan adanya kesan pembiaran dari pihak pemadam kebakaran hingga terlampat datang ke lokasi sepertinya memiliki korelasi. Artinya, bisa saja ada pembunuh lainnya menyelinap di antara orang-orang yang mengerumuni kami. Mereka bisa melakukan aksinya di tengah kekacauan ini. Kami belum benar-benar sepenuhnya aman. Secara Refleks aku mendekap tubuh Rena seraya pandangan ini menajam waspada. Mataku menangkap seseorang mencurigakan. Dia tengah merogoh sesuatu dari balik jaketnya. Seketika itu aku teringat sesuatu. Jaketnya mirip dengan tiga orang yang dibunuh Rena di ruang ICU. Celaka!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN