“Tuan Ivan..!” Telingaku menangkap suara beberapa orang bertubuh tegap.
Pria mencurigakan tadi terlihat mengurungkan niatnya. Dia memasukkan kembali benda di balik genggaman tanganya ke dalam jaket.
Kami saling melempar pandang penuh waspada, sebelum akhirnya dia menghilang di balik kerumunan.
Sepertinya pasukan pelindung dari sisi Gicchi telah datang menghampiri.
Aku dan Rena ikut serta dibawa ke dalam sebuah ambulans khusus. Kami dievakuasi keluar dari tempat itu.
“Kita dibawa ke mana?” ucapku pada petugas medis di ambulans.
“Ke rumah pribadi Tuan Ivan, Green Andara Residence.”
“Tuan Ivan?”
“Kau tak tahu?” ucap perawat itu bertanya balik. “Ivan Budi Hartono. Beliau pemilik saham major dari Bank BCA.”
Aku tak tahu, tapi tak perlu juga harus menjelaskan kalau dia pemilik saham dari sebuah bank.
Tapi kalau dipikir-pikir memang masuk akal sih. Pantas Gicchi memiliki pasukan pengawal sendiri. Tidak heran jika kakek tua itu benar-benar orang terkaya se-Indonesia.
“Mohon maaf,” ucap perawat itu menyela. “Istri Anda ini… Tubuhnya,” dia bingung mencari kata-kata yang tepat. “—Maaf,” lanjutnya canggung. “Sedikit aneh.”
“Di-dia bukan istri saya,” kilahku panik.
“Oh…”
“Umm…” Tanpa sadar aku mengusap punggung leher, “Bisa tolong kau rahasiakan ‘keanehan’ tubuh Rena? Aku yakin Gicchi pasti paham dengan itu.”
Perawat itu mengangguk patuh. Sejak awal kuperhatikan dia menemui kesulitan kala mencoba memasukkan jarum infuse. Meski kulit tangan Rena elastis dan empuk selayaknya manusia biasa, namun entah kenapa ujung jarum tajamnya enggan untuk menembus masuk.
Tubuhku merasakan pengereman. Sirine mesin ambulans yang sepanjang perjalanan meraung bising ikut terhenti dari tugasnya. Tak ada lagi guncangan-guncangan kecil seperti di perjalanan. Kami sepertinya telah tiba di tempat tujuan.
Pintu Ambulans dibuka.
Langit masih terlihat gelap. Lampu penerangan terlihat indah menghiasi taman. Binar pantulan dari lampu rotator ambulans menyalak-nyalak menerangi sekeliling.
Rena dibawa oleh tim medis memasuki ruang basemen sebuah rumah mewah.
Seriusan, tempat ini terlihat seperti istana di zaman modern.
Tumbuhan hijau memenuhi tiap sudut tembok pembatas. Pohon rimbun membuatku merasa seperti sedang berada di tengah hutan. Telingaku bahkan menangkap suara jangkrik.
Pun begitu, aku bisa melihat beberapa penjaga hilir mudik melakukan patroli. Tanpa sengaja aku juga menemukan beberapa kamera keamanan terpasang di berbagai sudut.
“Silakan, tuan Anggi.” Seorang pelayan membukakan pintu kamar.
Ruangan itu hanya memiliki dua kasur terpisah. Temboknya juga terbuat dari kaca, jadi aku bisa melihat kolam rendang dibatasi dengan tembok berlapiskan tetumbuhan merambat. Air di di sana jernih diterangi lampu sorot dari dasar kolam.
Segala keramah-tamahan ini membuatku tak nyaman. Juga bagaimana mereka menempatkanku di ruangan termewah. Lima orang pelayan menurutku terlalu berlebihan.
Aku diperlakukan bak sebuah tamu kerajaan. Mereka bahkan menawariku untuk membantuku membersihkan diri.
Gila saja, seorang pria dimandikan oleh pelayan pemudi cantik? Mana bisa aku tenang ketika badanku dibasuh dalam keadaan t*******g bulat.
Jadi selanjutnya apa?
Mungkin kami disuruh untuk beristirahat terlebih dahulu.
Rena masih terbaring tenang dengan mata terpejam. Napasnya terlihat stabil. Dia mungkin hanya sedang tidur.
Sesuatu mengelitik pikiranku.
Dia itu robot, tapi kenapa masih harus bernapas?
Aku duduk merebah tepat di samping gadis itu. Jemariku tanpa sadar membelai pipinya, menyibak rambut perak yang menutupi wajahnya.
Kulit Rena lembut. Pipinya empuk seperti gadis normal pada umumnya. Tanpa sengaja aku malah mengingat Aruni.
Tapi dibanding Aruni, sebenarnya Rena jauh lebih sempurna dari perempuan mana pun yang kukenal.
Bibir tipis dan hidung berukuran kecil itu membuat wajahnya terlihat seperti boneka.
Pintu kamar diketuk. Beberapa pelayan datang membawa dorongan berisi air hangat dan handuk.
“Izinkan kami untuk memandikan nona Rena.”
Hmm… Mereka sama-sama perempuan, jadi seharusnya tidak menjadi masalah. “Silakan,” ucapku memberikan lampu hijau.
Aku sendiri bergegas pergi menuju kamar mandi. Tubuhku masih ditempeli bau tak menentu setelah dikepuli asap pembakaran.
Salah satunya bau amis, berasal dari darah manusia.
Sejenak aku termenung memikirkannya.
Hari ini aku berurusan dengan banyak sekali kematian.
Mungkin benar ucapan Rena, keseharian kami sepertinya akan lebih banyak berurusan dengan hal-hal berbahaya.
Bathtub berisi air hangat terasa nyaman sekali. Temperaturnya tidak terlalu panas. Jika tidak bisa menguasai diri, aku mungkin akan terlelap tidur seraya berendam.
Jam masih menunjukkan pukul 11.00.
Artinya belum genap satu jam berlalu semenjak awal kekacauan di ruang perawatan rumah sakit, hingga berlanjut dengan segala aksi nekat menerobos api demi menyelamatkan Gicchi.
Perjalanan dari Rumah sakit ke tempat ini juga tak terlalu lama. Di samping ambulans yang ngebut dan dalam pengawalan polisi, kondisi malam juga membuat situasi jalanan lebih lengang dari pada siang hari.
Keluar dari kamar mandi, aku mendapati satu set pakaian untukku terlipat rapi di atas kasur.
Rena terlihat sudah berganti pakaian piyama. Para pelayan sepertinya selesai dalam melakukan tugasnya.
Maka kurebahkan tubuhku tepat di samping Rena. Aku sengaja tak menggunakan kasur milikku.
Jantungku tak lagi berdebar-debar. Adrenalin sudah mereda. Aku kini merasa aman.
Maka tak aneh jika rasa kantuk kini datang menghampiri.
Posisiku tidur menyamping, menatap wajah gadis berambut perak dalam jarak yang lumayan dekat.
“Rena…” Mulutku mengucap nama gadis itu. Lenganku tanpa sadar terposisikan tepat di tepian wajahnya.
Segalanya kian memburam.
Besok akan menjadi hari melelahkan.
…
Mimpi aneh ini terjadi lagi.
Aku sadar bahwa diriku tengah tertidur lelap. Maka segala sesuatu yang terjadi saat ini hanyalah bunga tidur belaka.
Namun ini bukanlah mimpi biasa.
Ini adalah kenangan Rena ketika hidup sebagai diriku di garis waktu lain. Sekitar satu dekade di masa depan.
Bagaimana aku bisa tahu?
Karena saat ini aku sedang berdiri di tengah jalan Maliboro, kota Jogjakarta.
Aneh bukan? Padahal terakhir aku tidur telelap, posisiku masih ada di kota Jakarta.
Aku juga tidak memiliki ingatan kapan dan bagaimana hingga diriku bisa berada di jalan seperti ini.
Ditambah, Malioboro yang kusaksikan bukanlah area penuh dengan wisatawan berlalu-lalang menjajal sudut perbelanjaan.
Tempat ini terlihat mati.
Maksudku— Benar-benar mati. Karena memang ada banyak sekali mayat bergelimpangan di kanan kiri jalanan.
Banyak dari tubuh manusia itu sudah membusuk dan mencipta bau tak sedap.
Orang-orang yang tersisa semuanya menggunakan masker hazmat. Alat penyaring pernapasan yang biasa digunakan orang-orang ketika berada di area berbahaya, atau di tempat dengan kontaminasi radioaktif nuklir.
Kota ini tetap berfungsi dengan aktivitas ala kadarnya. Mereka seakan tak mengacuhkan orang-orang mati di berbagai sudut bangunan.
Pemandangan ini mengingatkanku akan wabah Black Death di Eropa pada abad pertengahan.
Mereka bilang lebih dari setengah populasi telah meninggal akibat penyakit misterius.
Lantas apa hal yang sama tengah terjadi dengan negeri ini? Karena sepanjang pengamatanku, situasiku terlihat seperti berada di tengah wabah mematikan. Aku mungkin akan terinfeksi mati jika berani membuka masker pelindung di wajah.
Rena berjalan lebih dahulu. Dia membawa ransel berisi ragam perbekalan seperti; Air, Biskuit, tali, senter, powerbank, sampai ke peralatan pertolongan pertama.
Langkahnya terhenti, ia terdiam sambil menatap kearah langit, tak lama kemudian, orang-orang di sekelilingku terhenti dari aktivitasnya dan melakukan hal serupa.
Semua orang melihat kearah langit dengan mulut menganga.
Didorong rasa penasaran, aku ikut menoleh ke atas.