Bab 20 : Pengunjung Dari Luar

4006 Kata
Sebuah benda raksasa melayang di atas kota. Bentuknya sekilas mengingatkanku pada tempurung kura-kura. Berbagai macam pipa dan permesinan rumit menyelimuti bagian bawahnya. Semacam kabut hitam mengembus dari sekelilingnya, seolah sedang berusaha untuk menciptakan awan hujan gelap. Benda tak dikenal itu berwarna hitam. Ukurannya sangat besar hingga mencipta bayangan gelap bak mendung sebelum hujan. Sesuatu terlontar di bagian bawahnya. Apa yang mereka lakukan? Mungkinkan benda tadi berisi semacam perwakilan dari peradaban alien di dalamnya? Karena aku yakin, umat manusia belum sanggup menciptakan pesawat yang bisa mengambang tenang di udara. Benda itu bisa terbang tanpa bantuan baling-baling pendorong atau pun roket demi menolak tarikan gravitasi. Namun projektil itu malah meledak di udara. Diikuti dengan menyebarnya kabut putih hingga menebar menutupi seluruh penjuru kota. Detik itu aku baru sadar bahwa pengunjung dari dunia lain ini mungkin memiliki niat yang tak baik terhadap umat manusia. Virus? Gas beracun? Apa pun itu, semoga masker di wajahku sanggup untuk menyaringnya. Rena seketika menarik lenganku. Dia mengajakku untuk segera mengambil inisiatif untuk berlari menyelamatkan diri. Asap itu begitu tebal hingga membatasi Jarak pandang hingga hanya sejauh 20 meter ke depan. Langkah pijakan kaki kami menyelinap melewati mayat dan warga yang masih setia berdiri. Kenapa orang-orang ini malah diam terperangah? Aku mengerti bahwa benda raksasa di langit itu bukan pemandangan yang bisa dilihat setiap hari. Aku bahkan berani bertaruh bahwa itu pasti kapal alien. Namun bagaimana bisa mereka seoptimis ini? Memang tak ada ledakan besar atau kerusakan apa pun. Jadi mungkin mereka mengira bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tak dapat dipungkiri, masih ada secuil kemungkinan akan bagaimana pengunjung dari angkasa luar itu sebenarnya tidak berniat jahat. Tapi bukan berarti kami bisa santai dan tidak mempersiapkan kemungkinan terburuk, bukan? Namun sayangnya, dugaan terburukku terbukti benar. “Butiran ini…” Gadis di sampingku mengangkat lengannya dan memeriksa butiran putih yang turun dari kapal. Asap pekat putih ini sejatinya terbentuk dari semacam kristal pasir lembut. Saking lembutnya butiran itu, bobotnya cukup ringan hingga bisa terbawa melayang hanya oleh embusan angin. Telingaku tiba-tiba menangkap deru mesin memekakkan telinga. Suaranya melengking bising. Asalnya dari arah benda raksasa di angkasa tadi. Samar-samar aku melihat bagian bawah kapal itu terbuka. Seberkas sinar menyelinap keluar dari sana. Semacam tirai cahaya lurus tercipta dari celah-celah palka yang mengangga. Orang-orang mulai terlihat ketakutan. Mereka seakan tersadar dari semacam hipnotis. Tak ayal, kepanikan menyusul tak lama kemudian. Mataku tak bisa menangkap hal lain dari lubang di bagian bawah kapal berbentuk tempurung kura-kura. Kabut dari Kristal kecil itu pekat sekali hingga hanya menyisakan siluet saja. Para warga merasakan suatu keanehan pada tubuh mereka. Mereka semua saling memandang seraya memeriksa lengan dan sekujur tubuh. Hal yang sama terjadi padaku. Aku merasa di tarik oleh kekuatan tak terlihat. Seperti besi berada di samping medan magnet. Aku, Rena, dan orang-orang di sekelilingku perlahan terseret naik menuju kapal di angkasa. Beberapa bahkan ada terangkat ke udara, melayang tak berdaya. Aku dan Rena tak kuasa menahan beban tarikan, aku mulai terseret dan meraih apa pun di sekeliling untuk berpegangan. Tapi apa daya, tarikan itu terlampau kuat untuk di imbangi. Kakiku lepas dari pijakan. Bagaimana ini?! Beruntung Rena sigap menangkap lenganku. Tangan satunya lagi menggenggam erat pagar besi kokoh di samping jalanan. Tubuhku melayang di udara, gravitasi terasa berbalik menuju kapal di kejauhan. Kakiku terangkat 45 derajat ke atas. “Ren..!” Sekuat tenaga jemariku mencengkeram lengan lengan gadis itu. “Gii..!” Gadis itu berusaha menarikku. Namun posisiku tidak menjadi lebih baik. Bukan karena dia tak kuat untuk melakukan itu. Melainkan karena besi pegangan tangan tempatnya berjangkar kini tertekuk akibat karat. Jantungku berdengup kencang, segala sesuatu terasa melambat. Lenganku terpisah dari gengaman tangannya. Aku meluncur bebas ke arah kapal. Namun Rena dengan gagah berani meloncat menyusulku. Dia menjejakkan kaki pada pegangan tangan reot tadi, lalu menubruk tubuhku di udara. Sekarang bagaimana? Rena mengeluarkan sepucuk pistol dari balik sweater birunya. Suara ledakan bubuk mesiu dari selongsong peluru terdengar nyaring di tengah jeritan lautan manusia. Rena sengaja menembak ke satu arah. Dalam setiap tembakan itu, kusadari laju pergerakan tubuhku tergeser beberapa meter akibat daya tolak balik. Aku kini sejajar dengan sebuah gedung 6 lantai, gadis itu membalikan tubuhnya dan memposisikan dirinya sebagai tameng, kami hendak menubruk sebuah jendela. Kakinya menjejak kaca jendela hingga pecah. Kami berdua memasuki bagian dalam gedung. Rena berhasil memposisikan tubuhnya seperti kucing hingga mendarat dengan mulus. Sementara aku? Tubuhku jatuh dengan hebatnya menubruk tembok landai dengan dengan punggung terlebih dahulu. Sebisa mungkin kuabaikan rasa sakit yang mendera. Prioritas utama saat ini adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Maka pandanganku mengedar memindai sekeliling. Di saat itu barulah aku tersadar akan kejanggalan ini. Saat ini aku berdiri di tempat yang seharusnya menjadi bagian atas bagi sebuah ruangan. Di kanan kiriku kudapati beberapa orang berlindung. Semuanya berpijak pada dinding dan langit-langit ruangan, sekitar 45 derajat kearah langit. Gravitasi berubah menuju kapal alien itu melayang. Tapi anehnya, perabotan dan segala sesuatu selain manusia tetap menempel menuju bumi. Semuanya masih normal. Baju yang kukenakan bahkan masih tergerai ke arah lantai. Rambut perak Rena masih tergerai seirama dengan tubuhnya. Dia termenung larut dalam pemikiran. Gadis itu biasanya sibuk menganalisis situasi untuk mencari jalan keluar. Pelan-pelan aku merayap ke arah jendela demi mengintip apa yang terjadi di luar. Jeritan dari ribuan manusia menggema dari segala arah. Seketika napasku serasa tertahan. Mulut ini menganga tanpa kusadari. Setetes keringat keringat jatuh dari kening. Sulit rasanya mempercayai pemandangan yang kulihat. Sebuah angin mengembus kencang entah dari mana. Kabut dari Kristal perlahan memudar oleh sapuan itu. Ratusan— tidak. Mungkin ribuan manusia tengah diisap ke sebuah titik pusat. Dalam posisi tubuhku yang tengah jungkir balik, rasanya seperti sedang melihat pusaran air. Namun pusaran ini berada dalam kondisi terbalik. Lubang pembuangannya terletak di bawah pesawat alien raksasa, jatuh menuju angkasa. Di dalam lubang raksasa itu, kulihat ada gerigi tajam menyerupai alat pemotong berputar cepat. Jumlahnya mungkin ada ribuan. Mekanismenya mengingatkanku pada mesin penghancur. Ribuan manusia di sedot ke sana. Tubuh mereka dicabik-cabik sampai hancur tak tersisa. Semburan darah memancar dari bagian atas tempat lubang p*********n itu berakhir. Darah-darah itu menciprat kesegala penjuru hingga menciptakan gerimis berwarna kemerahan. Bau amis seketika terasa menusuk hidung. Orang-orang itu masuk ke dalam blender raksasa. Aku bergetar ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi? Rena kembali menarik tanganku untuk pergi menyelamatkan diri. “Tidak bijak jika kita tetap tinggal di sini dan menunggu kematian.” Aku sempat tak merespons. Shock atas pemandangan yang kulihat. Gadis menatap mataku dalam. Dia meyakinkanku bahwa segalanya akan baik-baik saja. ... Rena menarik lenganku untuk mengajak berlari menyelamatkan diri. Mata hijaunya menatapku seraya berusaha meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tanpa menghiraukan mereka yang menangis ketakutan, kami berdua merayap menaiki tangga terbalik untuk bisa tiba di lantai dasar dari gedung itu. Aku tiba di lahan parkir bawah tanah, Rena merayap menaiki pilar untuk bisa tiba di lantai berlapis aspal. Ia berusaha masuk ke salah satu mobil yang menempel pada aspal. Benda itu masih tertarik gravitasi bumi. Hanya tubuh manusia saja yang diseret gravitasi menuju kapal alien. Aku dengan susah payah berhasil masuk ke dalam sana. Sebuah mobil sport berwarna hitam ditinggalkan oleh pemiliknya. Rena mencabut kabel kecil di bawah stir, mengotak atiknya beberapa saat hingga mesin menyala tanpa harus memutar kunci. Gadis itu memutar tubuhnya, memposisikan diri duduk di kursi sambil mengenakan sabuk pengaman— mencegahnya jatuh ke atap mobil. Rambutnya tergerai ke arah langit ditarik gravitasi kapal alien. Belum sempat aku duduk di kursi, gadis itu dengan tergesa-gesa menancap gas. Tubuhku melekat pada langit-langit mobil seperti cicak menempel pada tembok. Mobil yang kunaiki keluar dari parkiran bawah tanah, lalu melesat menghindari kendaraan lainnya yang berseliweran di jalanan. Sebuah ledakan menghancurkan gedung di samping kanan. Aku merayap ke belakang untuk mengintip dari jendela belakang. Kapal itu bergerak mendekat. Berusaha mengejar mobil yang kunaiki. “Kita dikejar!” ucapku memperingatkan. Berbagai macam meriam muncul dari bagian bawah kapal, banyak diantaranya menembak ke sembarang tempat, menghancurkan gedung-gedung di kota. Gedung tempaku tadi berada tak luput dari penghancuran. Untung saja aku tidak tinggal dan bersembunyi di sana. Beberapa tembakan memang sengaja ditunjukan pada mobil yang kunaiki. Gadis yang sedang menyetir tetap fokus tanpa merasa kaget sedikitpun. Ledakan datang tanpa henti dari mobil dan gedung di kanan kiri. Tubuhku terasa ringan. Perlahan, gravitasi dari kapal alien melemah seiring dengan menjauhnya aku dari sana. Mobil semakin melesat kencang, aku pindah ke kursi depan sambil mengencangkan sabuk pengaman. Mendadak sebuah kilatan cahaya meledak di samping kanan mobil, aku menatap kaca spion. Di belakang sana ada pesawat kecil tengah terbang mengejar. Ledakan disertai hempasan api meletup hendak mengenai kami, gadis itu susah payah berhasil menghindar. Aku sadar, kami tak akan bisa lolos dari pesawat terbang hanya bermodalkan mobil sport. Jalanan mulai berkelok-kelok sementara jalur kereta terlihat lurus membelah bukit dan sungai. Sebuah papan penunjuk terpental di depan mobil, ledakan demi ledakan meletus tiada henti hendak mencelakai kami. Mendadak seseorang berlari ketakutan menyebrang jalan. Gadis itu dengan sigap menghindar dalam sepersekian detik, reaksinya dalam kecepatan tinggi sudah layaknya seperti seorang pembalap professional. Sebuah kereta melesat kencang di sebelah kiri, jalanan beraspal kini terbentang lurus dengan rel kereta di sampingnya. Rena menancap gas menyusul kereta yang mulai melaju cepat. Kini aku berada dalam jalanan lurus dengan jalur kereta di samping jalan, perlahan mobil kami bisa menyusul. Entah apa yang dia rencanakan. Di hadapan kami, terbentang sebuah jembatan dengan jurang di bagian bawahnya. Pesawat alien yang mengejar kami melesat terlebih dahulu. Terhenti di bagian jembatan lalu melepaskan tembakan untuk menghancurkan badan jembatan. Seperti yang sudah diduga, setengah bagian jembatan itu hancur berkeping-keping. Mobil yang kunaiki terlampau cepat untuk bisa mengerem, aku akan terjun bebas menuju sungai. Rena membanting stir kearah kiri, sebuah gundukan pasir terlihat di mulut jembatan. Gadis itu menyetir lurus seolah hendak menabrak dinding pembatas jembatan. Gadis itu menarik sabuk pengaman, dan meyakinkan kalau dirinya sudah aman. “Hey, hey… jangan bilang kalau rencana mu itu..” BRUAK..!! Mobil sport yang kunaiki menabrak gundukan pasir dan terbang menuju dinding pembatas jembatan. Ban depan bagian kanan menyundul besi pembatas, mobil yang kunaiki berputar-putar di udara. Aku menjerit sekuat tenaga, kami meluncur cepat menuju atap kereta. Mobil ini dengan ajaib mendarat di atas atap kereta, lengkap menggunakan ke-empat bannya. Suara knalpot menderu kencang menurunkan raungan mesin. Kami berhasil mendarat dengan selamat di atap kereta. “Keluar..!!” perintahnya dengan cepat. Mataku langsung terbelalak, 400 meter di depan ada sebuah terowongan, mobil yang kunaiki jelas akan tertabrak oleh dinding terowongan itu. Kereta melaju semakin cepat, jarak 300 meter yang tersisa hanya akan memberikan waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri. Aku melepas sabuk pengaman dan membuka pintu secepat mungkin. Meluncur sambil berpegangan pada sabuk pengaman untuk meluncur ke samping kereta. Sabuk pengaman itu mencapai batasnya, tubuhku terbanting menuju jendela. Kaca itu pecah ditembus dua buah peluru dari dalam. Rena juga berayun menggunakan sabuk pengaman sepertiku, dia menembak kaca dari sisi lain gerbong untuk memudahkan kami menghempas kaca. Aku mengayunkan kakiku, menjejak kaca rapuh untuk mendobrak masuk ke adlam sana. Tubuhku berhasil memasuki gerbong kereta. Sementara disaat yang bersamaan, dinding terowongan melesat beberapa cm dari kepalaku. Sabuk pengaman tertarik seketika, mobil di atas gerbong musnah dihantam oleh dinding gedung. Aku dan Rena berpandangan satu sama lain, kami berdua tersenyum lega. Kami mendarat di gerbong makan, tak ada seorang pun di gerbong itu. Firasatku kembali mengatakan kalau ada masalah lain di gerbong ini. Aku menarik napas panjang untuk menghilangkan keletihan, tapi tulang dadaku terasa sakit sekali. Tulang rusukku patah di awal p*********n tadi. Tubuhku terasa lemas sekali, segalanya menjadi hitam, aku ambruk tak sadarkan diri. ... Tubuhku sakit—, aku tidak ingin bangun. Cahaya terang terasa menyilaukan pandangan. Alisku mengerut, kelopak mata terbuka sedikit agar tak merasa silau. Aku menoleh ke arah jendela. Pepohonan, sawah dan gunung berlarian di luar sana. Tubuhku tergolek lemah di sofa salah satu kabin kereta. Ruangan kecil dengan dua tempat duduk berwarna cokelat berhadapan satu sama lain. Aku menengadahkan kepalaku, memandangi pintu masuk kabin. Di sana ada seseorang berdiri sambil mengawasi keadaan, matanya mengintip ke luar lewat celak kecil di pintu. Ia menoleh, lengkap dengan iris mata semerah darah dan ekspresi datar sedingin musim salju. Namanya Rena, gadis aneh yang berulang kali selalu menyelamatkan hidupku. Tubuhnya berbalik, berjalan mendekat hingga terhenti tepat di sampingku. memandangiku lekat beberapa saat. Lengan kanannya mendadak terangkat sebatas bahu, mengacungkan jemarinya seolah menunjuk hidungku. Aku tentu saja tersentak kaget. Matanya tertutup, dibarengi dengan mulutnya meracau tanpa suara, seolah merapal sesuatu inkantasi. “Practa bigi nar tui gratia jupita gratia sit… Curaga..” Cahaya putih berpendar terang dari telunjuk tangannya. Perlahan tapi pasti, rasa sakit di d**a kini perlahan menghilang. Aku menarik napas dalam untuk meyakinkan diri. Tulang rusukku yang patah tersambung dengan sendirinya, aku sembuh! Aku memandanginya dengan tatapan heran. “Kau… Itu ilmu sihir..?” ucapku menyelidik. Teknologi nano machine di lengan kanan memang bisa menyembuhkan berbagai macam luka, tapi seingatku benda itu kehabisan energi dan tidak bisa di gunakan. “Aku pernah belajar sedikit sihir” jawabnya sembari duduk di sampingku. Pandangannya teralihkan ke luar jendela. Ekspresinya berubah mendung. Baru kali ini kulihat ekspresi sedih di wajahnya. Suasana menjadi sunyi. Hanya deru kereta yang terdengar. Aku tidak punya pembahasan apa pun untuk dibicarakan. Seseorang menjerit dari luar, aku dan Rena berpandangan mata beberapa saat. Sunyi terasa, degup jantung serasa mendaki di setiap detik yang terlewati. Ada sesuatu di kereta ini. Perlahan kami berdiri untuk keluar dari kabin. Tak jelas dari mana asal suara barusan. Aku berdiri menghadap lorong sebelah kiri dari kabin. Sementara dia menghadap kanan, kami berdua berdiri saling membelakang. Suasana seolah semakin sunyi, hanya detak jantung terdengar saling bertabuh. Ada yang tak beres dengan kereta ini. Sempat terpikir pula akan orang-orang di kereta ini. Ke mana mereka semua? Sejak awal aku tak melihat seorang pun selain Rena dan diriku sendiri. Rena memberikan sepucuk pistol. Aku memandangi benda tersebut, ini pertama kalinya aku memegang s*****a asli. Pistol itu tak memiliki pelatuk untuk menembakkan peluru, lampu kecil berwarna merah berpendar dari samping pelatuk. Gadis itu memberikanku sebuah jam tangan. Aku tak bertanya lebih lanjut dan langsung mengenakannya di tangan kananku. Lampu kecil berwarna merah diatas pistol kini berubah menjadi warna hijau. Pelatuk kecil muncul dari dalamnya, pistol itu kini siap di tembakkan kapan saja. Benda itu tidak bisa ditembakkan selain oleh diriku sendiri. Pertama kali aku memegang sebuah s*****a api, namun aku harus membiasakan diri jika ingin selamat dalam situasi seperti ini. Aku melangkahkan kakiku ke penghujung lorong, Sementara Rena berjalan menuju arah berlawanan. Satu persatu kabin kereta kuperiksa. Tak ada pertanda seseorang pernah ada di dalamnya. Kami berjalan menjauh satu sama lain. Lalu di penghujung gerbong yang kutempati. 3 onggok mayat tergeletak bersimbah darah, tubuh pemuda malang itu hancur seperti diremas sesuatu. Dinding, pintu, kaca, serta kursi berwarna merah tertutupi percikan darah. Aku mundur beberapa langkah sambil menahan dadaku yang terasa sesak. Mual terasa. Bau amis dari darah, serta organ tubuh yang terburai berserakan di hadapanku. Angin berhembus dari atas, aku menengadahkan kepala untuk memeriksa bagian atas kabin yang berlubang. Bentuk lubangnya terlihat seperti ditubruk dari luar. Aku sontak menoleh ke arah Rena. Apa pun yang membunuh korban di hadapanku mungkin tengah berkeliaran di luar sana. BRAAAK!! Sesuatu menerobos dari atas, jantungku serasa terhenti. Sesosok makhluk muncul dengan mulut besar di punggungnya, beberapa sulur lidah menjulur keluar dari sana. Berdiri dengan dua kaki layaknya manusia. Makhluk itu memiliki moncong seperti reptile, namun dengan bentuk tubuh gembul seperti kodok. Makhluk itu menyiapkan empat buah tangan penuh dengan cakar di penghujung jemari. Tak hanya cakar, puluhan benda tajam menyeruak dari permukaan tubuh yang berlendir. Bau amis menyergap hidung, permukaannya dipenuhi darah dari para korban. Aku dan Rena berada di penghujung kabin, makhluk itu berdiri memisahkan kami. Mata kecilnya mendelik langsung ke mataku, aku meneguk ludah disertai lidah yang berubah kelu. Langkah kakinya berjalan menuju arahku, mungkin karena aku berdiri paling dekat dengannya. Mulut di belakang punggungnya memanjang hingga meliuk ke arah bahu. Menganga menunjukkan ratusan gigi runcing. Lidahnya panjang, lebih mirip ular berdiri meliuk-liuk. Salah satu lidah melesat hendak mencengkeramku, layaknya cambuk berkecepatan tinggi. Aku sontak menjatuhkan diri demi menghindar. Apa pun itu, tubuhku tak akan bertahan jika sampai terkena lilitannya. Sulur lidah itu gagal mengenaiku, menubruk pada pintu penghubung gerbong. Aku terperangah menatap lidah yang meregang layaknya kabel. Bentuknya seperti cacing tanah berukuran besar. Dipenuhi daging lengket lengkap dengan lendir berbau tak sedap. Lidah panjang itu mendadak pecah membelah diri. Berubah menjadi beberapa bagian kecil. Mataku terpelotot tajam, bagian kecil itu meliuk-liuk seperti kumpulan tentakel, ujung dari tiap lidah dipenuhi dengan gigi tajam, mendesis seperti ular hendak menerkam. Ya tuhan, mimpi buruk macam apa ini. Ledakan pistol terdengar tak jauh dariku, lidah menjijikkan itu hancur diterjang peluru. Aku menoleh, Rena membidik tiap sulur tentakel dengan mata yang meruncing. Lidah panjang itu putus hampir menimpaku. Aku segera berdiri dan mempersiapkan pistol di tangan. Agak bingung untuk menggunakan s*****a yang ada. Aku berharap pengalaman bermain game shooting arcade bisa membantu dalam melakukan bidikan. Kami membidik monster menjijikkan itu dari dua arah berlawanan. Puluhan peluru kami ledakkan. Namun monster itu tetap bergeming. Kulitnya sekeras baja, tak bisa ditembus oleh hempasa timah panas. Beberapa lidah yang lain meliuk-liuk di punggungnya. Makhluk itu tak bisa dilukai oleh peluru, mustahil menjatuhkannya hanya dengan serangan fisik biasa. “Lari..!” Rena berteriak memberikan instruksi. Aku segera berbalik untuk berlari sekuat tenaga. Kakiku mendobrak pintu penghubung gerbong. Aku tiba di gerbong penuh dengan kursi berserakan. Udaranya dipenuhi bau amis, lantainya berisikan percikan darah sini. Puluhan mayat terlihat berserakan dibantai oleh makhluk yang tak jelas asal-usulnya itu. Suara pintu didobrak terdengar di belakangku. Derap langkah yang menyeramkan pertanda bahwa sosok itu bukanlah Rena. Monster tadi rupanya mengejarku. Aku langsung menjejakkan kakiku untuk melarikan diri. Kakiku tak sengaja menginjak segumpal usus dari salah satu mayat. Jatuh terantuk dengan kepala membentur ujung tajam dari salah satu kursi. Aku kehilangan kesadaran beberapa saat, rasanya seperti diserang kantuk tak tertahankan. Untungnya, rasa kantuk itu sontak terusir ketika pandanganku bertatapan dengan mayat gadis dengan kepala terbelah. Aku panik, tubuhku dibasahi darah berbau amis. Aku berbalik, hanya untuk mendapati keberadaan sang monster yang berdiri tepat di sampingku. Ke-empat lengannya terbuka siap menikam. Dengan penuh rasa takut aku mengambil pistol dan mengarahkannya pada salah satu lidah yang menjulur keluar. Ledakan pistol tercipta, darah hijau memercik keluar dari leher itu. Sepertinya aku mengenai bagian kelemahannya. Makhluk itu mundur sambil mengurungkan niatnya untuk menikamku. Aku segera mengambil kesempatan ini untuk bangkit dan melanjutkan pelarian. Makhluk itu mendesis dengan suara aneh. Derap langkahnya kencang terdengar, berlari dengan kecepatan penuh berusaha mengejarku. Sesekali aku menoleh, jaraknya semakin mendekat. Aku tak akan selamat untuk tiba di sambungan antar gerbong. Pintu lorong terbuka, Rena muncul di gerbong depan. Gadis itu berlari melewatiku menggunakan atap gerbong. Lengannya menekan pelatuk, menembakkan pistol hingga memecahkan salah satu lidah yang menjulur keluar. Makhluk itu memperlambat langkahnya, hanya untuk bersiap dalam berakselerasi penuh. Setidaknya tembakan tadi memberikanku cukup waktu untuk berlari hingga ke penghubung gerbong. Ada yang aneh—, pintu gerbong lainnya terasa menjauh dari pandangan. Gerbong tempatku berada tertinggal dari gerbong tempat Rena berdiri. Gadis itu melepas sambungan gerbong dari tempatnya, sesekali menembakkan pistol untuk memperlambat pergerakan makhluk yang mengejarku. Berlari secepat mungkin, mengejar jarak antar kedua gerbong yang semakin menjauh. Aku berpijak sekuat tenaga untuk meloncat melewati jarak antar gerbong. Rel kereta melaju cepat di bawah kakiku, aku akan terlindas dan hancur berkeping-keping jika meleset di tempat tujuan. Sialnya, kakiku terpeleset. Lompatanku tak cukup kuat untuk tiba di gerbong seberang, pinggangku terantuk pada lantai penghubung. Aku akan jatuh dan terlindas kereta. Rena kembali muncul sebagai pahlawan. Gadis itu mencengkeram bajuku dengan erat, mencegahku dari jatuh dan terlumat roda kereta. Aku berhasil naik, sementara makhluk itu tertinggal di gerbong belakang. Kami berdua mulai bisa bernapas lega. Namun kami tak bisa lebih lama bernapas lega. Salah satu lidah menjulur sejauh 10 meter dari kereta yang mulai menjauh. Gumpalan daging menjijikkan seperti sulur melilit pada batang besi di sampingku. Terkesiap tanpa kata, kami berdua membelalak tak mampu untuk bergerak. Makhluk itu masih belum menyerah. Aku sontak berdiri, berbalik untuk menaiki tangga kecil di samping pintu penyambung kereta. Mengikuti Rena yang sudah terlebih dahulu tiba di atap gerbong. Kulihat makhluk itu tengah meluncur menggunakan tentakel yang melilit seperti mesin penarik. Sontak saja aku mengarahkan pistol hendak menembak, tapi gadis di atas sana menarik bajuku dengan tenaga tak masuk akal. Tubuhku terlontar hingga tiba di atap kereta, menghindari sosok monster berukuran besar yang menubruk pintu penghubung hingga hancur. Andai tadi aku tak ditarik ke atas, mungkin saat ini tubuhku sudah hancur dilumatnya. Makhluk itu mengayunkan lengan penuh dengan tulang tajam, menancapkan cakar tajam untuk mencengkeram dinding kereta. Tanpa kenal lelah memanjat dinding untuk menemui kami berdua. Sementara itu, gerbong kereta bergoyang hebat. Angin berhembus kencang penuh dengan debu dan kotoran. Kereta ini tengah melaju dalam kecepatan 85 Km / jam. Sesekali tubuhku harus bisa menyeimbangkan diri ketika kereta berbelok-belok dalam jalur pegunungan. Adegan kejar-kejaran kembali dimulai, kami berdua berlari menjauh dengan raut wajah ketakutan. Tubuhku miring ke kiri dan ke kanan mengikuti arah kereta berbelok. Sesekali aku melepaskan tembakan untuk memperlambat gerakannya. Tapi apa daya, makhluk itu bukanlah manusia. Ia berlari melebihi kecepatan seorang sprinter di olimpiade. Dalam beberapa detik saja, makhluk itu sudah berada tepat di belakang kami. Kulihat kereta kembali memasuki sebuah tikungan. Aku memiringkan tubuhku ke sebelah kanan agar tidak terlempar ke sisi terluar. Monster barusan kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke sisi kiri. Aku merasa lega, berpikir bahwa dia jatuh dari sana. Akan tetapi harapan itu musnah seiring dengan cakar tajam yang menyembul keluar. Monster itu kembali memanjat, posisinya kini berdiri tegap, bersiap untuk menyerang. Aku benar-benar frustrasi. Jantungku berdetak melebihi batas normal, aliran darah mengalir cepat hingga memicu adrenalin. Otakku berada dalam kondisi overclock, seluruh indra yang ada bertambah peka. Kepalaku dibanjiri oleh setumpuk informasi. Segalanya seolah memperlambat gerakan masing-masing. Monster itu melayangkan salah satu lengannya, berisikan cakar dan tulang tajam—mirip bilah pedang—menyembul keluar. Ayunannya mengarah tepat ke arah leherku. Mendadak tubuhku serasa ditarik dari belakang, gadis di sampingku menarik kerah bajuku, untuk menyeret tubuhku jatuh ke bawah. Aku melayang dengan posisi tubuh terlentang ke arah langit. Ayunan cakar tajam itu melayang tepat di depan hidungku. Kereta tengah memasuki sebuah terowongan, tubuhku melayang jatuh nyaris terhantam dinding bagian atas. BUGH! Tubuh sang monster hancur menabrak dinding terowongan, tubuhnya terseret jauh ke belakang. Aku terlentang menatap dinding terowongan melesat cepat di atasku. Jemariku menggenggam erat lengan gadis yang sedang dalam posisi tiarap. Angin terasa mengentak ketika kereta keluar dari terowongan, aku terbaring menatap gumpalan awan hitam di langit. Sejenak berusaha bangkit sembari memperhatikan jejak darah memanjang. Serpihan daging monster tadi berserakan hingga ke gerbong paling belakang. Napasku tertarik dalam-dalam, merasa lega setelah beberapa kali lepas dari kematian. Dua mata ini menatap lekat gadis di sampingku, mengucapkan berbagai ucapan terima kasih lewat pandangan penuh makna. Kereta yang kunaiki keluar dari jejeran lembah dan pegunungan. Hamparan perkotaan terbentang di kejauhan. Aku dan Rena terperangah menatap pemandangan yang ada. Kota itu terlihat hancur, dipenuhi berbagai kepulan asap membumbung tinggi. Aku tercengang. Sejauh mata memandang, terdapat cairan pekat merah menempel di tiap dinding bangunan. Teringat kembali peristiwa yang terjadi di kota Jogjakarta. Ketika ribuan warga dihisap ke dalam kapal, hanya untuk menemui ajal bak sapi perahan. Walau tentu saja nasib sapi perahan sedikit lebih baik, setidaknya para sapi tak harus meregang nyawa dengan cara dicabik, dilindas, dan dicincang oleh sekumpulan benda tajam menyeramkan. Cairan merah itu adalah darah para penduduk, aku tahu itu. Terasa dari tiupan angin senja yang membawa bau amis memualkan. Otakku tidak cukup pintar untuk mencerna itu semua. Aku kembali duduk terlentang di atas gerbong, ingin rasanya kututup mata ini dan terbangun di pagi hari, berharap semua ini hanyalah mimpi. “Awas..!” Gadis di sampingku menarik tubuhku hingga terseret ke samping. Tubuhku terguling beberapa kali hingga hampir terjatuh dari pinggiran gerbong. Sesuatu terhempas hendak menimpaku namun gagal mengenaiku. Aku sontak berdiri, beberapa sosok menyeramkan terlihat berjalan pelan dari arah lokomotif. “sekarang bagaimana?” Aku berkeluh kesah, meratapi nasib s**l yang tak hentinya menimpaku. Tuhan sepertinya tidak rela aku berulang kali menghindar dari kematian. Untuk melarikan diri dari satu makhluk itu saja aku sudah bersusah payah, kini muncul gerombongan lain yang datang mengepung hendak menerkam. Aku menoleh ke sekeliling, mencari jalan keluar. Namun nahas, posisi kami berada di penghujung kereta. Kami tidak bisa berlari ke mana pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN