“Mau tidur sampai kapan?”
Suara Gicchi sontak membuatku terperanjat bangun.
Otakku sempat berhenti dari proses berpikir. Segala kegilaan tentang serangan alien terhenti entah sejak kapan.
Apa itu kenangan dari masa depan? Atau hanya sebatas bunga mimpi?
Mungkin ada baiknya aku menanyakan itu secara langsung kepada Rena.
Tapi gadis di hadapanku saat ini bukanlah Rena.
Rambut Jingga kemerahan dia terlihat bergelombang. Bagian ujungnya memecah menjadi dua dan diikat oleh pita. Gadis itu berkacak pinggang seraya mengukir senyum lebar.
“Uhh… terima kasih sudah membangunkanku, Gicchi.”
“Siap-siap yah, kakek menunggu kalian di ruang tamu.”
“Oke,” jawabku singkat.
Pandanganku lanjut memindai seisi kamar. Pikiranku kembali terpusat pada Rena.
Gadis itu terlihat duduk menyendiri menghadap tembok kaca, menatap genangan air di kolam renang.
Tiap helai daun dari tumbuhan merambat kini terlihat cerah di bawah siraman mentari pagi. Aku gagal menemukan keberadaan material tembok di balik rimbun hijau-hijauan itu.
Rena masih diam bergeming. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
“Hey, Rena.” Aku berusaha memecah hening di antara kami. Dua kali aku mengalami mimpi yang terasa begitu nyata. Mungkinkah itu kenangan dari dirinya di masa depan?
“Kau nyaris mati,” ucap Rena pelan.
Aku sepertinya harus mencari kesempatan lain untuk membicarakan hal sensitif seputar masa depan. Karena saat ini kurasa Rena ingin membahas tentang bagaimana kami lolos dari panggangan api membara.
Sekilas aku bisa merasakan semacam kesedihan dari intonasi suara Rena.
Mungkin lebih tepat disebut semacam penyesalan. Seperti seorang bawahan menunduk malu karena lalai melaksanakan tugas.
“Aku masih hidup,” jawabku. “Itu semua berkat kamu, Ren.”
Gadis itu menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. Ia seperti mengintip dari sudut pandangannya.
Maka kudekati gadis itu. “Aku yang lebih khawatir padamu. Kau tak sadarkan diri setelah menyembuhkan Pak Ivan.”
“Itu pertaruhan yang harus kuambil.”
Aku tak mengerti. Tapi pada titik ini aku sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan aneh dari mulut Rena. “Tolong jangan melakukan hal-hal berisiko seperti itu lagi.”
Gadis itu mengangguk kecil.
Dia lumayan patuh. Padahal kukira kami akan beradu argumentasi.
“Jadi, sekarang gimana?” Aku berusaha memancing pembicaraan agar gadis itu bisa kembali aktif seperti biasanya. Entah kenapa aku mulai kangen akan seluruh ceramahnya tentang ekonomi dan strategi keuangan.
“Kita akan menguasai aset dari Ivan.”
Aku tak tahu bagaimana Rena akan melakukannya. Situasi ini berbeda dengan ketika kita berhadapan dengan Elon Musk.
Rena tak bisa mengancam orang terkaya di negara ini.
Kecuali—
“Kau membuat perjanjian dengan Gicchi ketika di tengah kondisi darurat.” Aku teringat akan bagaimana ia menodong gadis berambut jingga untuk menyerahkan seluruh hartanya jika berhasil menyelamatkan nyawa dia dan kakeknya.
“Kita lihat, apakah mereka bisa menepati janjinya.”
Aku menjawabnya dengan tawa kecil.
Maka kami pun datang menghadap Pak Ivan.
Tak ada pengawal di ruangan berukuran sepuluh meter persegi ini. Mereka pergi, menghilang setelah menutup dua buah daun pintu dengan ornamen megah.
Lagi pula, ini hanyalah ruang tamu dengan segala kemewahannya.
Sofa empuk berukuran besar. Lampu hias dengan segala kerumitan arsitekturnya menggantung di langit-langit ruangan. Belum termasuk lemari raksasa berisi benda-benda dekorasi terbuat dari bahan pecah belah.
Ruangan ini jelas mengisyaratkan milik seorang kakek tua berkantong tebal.
Bicara tentang kakek tua. Aku dan Rena saat ini duduk saling berseberangan dengan Gicchi dan Pak Ivan. Kami dipisah oleh meja kecil berisi teko dan segelas air putih.
“Gicchi menceritakan banyak hal padaku,” ucap kakek itu mengawali pembicaraan.
Kuperhatikan lebih lanjut, tubuh Kakek Ivan teerlihat sudah segar bugar. Mataku gagal menemukan keberadaan semacam perban dari bekas luka tembakan yang ia derita.
“Lalu, bagaimana tanggapan Anda?” Rena menjawab langsung menuju inti pembicaraan. Dia menangkap apa maksud ucapan Kakek Ivan.
Ini akan menjadi negosiasi membingungkan. Bagaimana caranya Rena menagih janji dari sang cucu terkait aset kekayaan kakeknya yang sedang dalam keadaan tak sadarkan diri?
Pak Ivan memiliki hak penuh untuk menolak. Bagaimana pun, tidak ada bukti terkait segala bentuk perjanjian di antara mereka.
“Saya berhutang nyawa sama nak Rena.”
“…Jadi?” lanjut Rena, meminta kelanjutan.
Pria tua itu tampak mengkerutkan alisnya, menimbang sebuah keputusan terberat dalam hidupnya. Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat. Aku bahkan harus meneguk segelas air untuk meredakan semacam tensi.
“Setidaknya sisakan sebagian aset kekayaanku untuk Gicchi cucuku.”
“Itu terlalu murah untuk harga nyawa dua orang konglomerat.”
Hey, Rena sedikit keterlaluan. Dia ini orang terkaya seantero negeri. Mendapatkan setengah kekayaannya pun menurutku sudah lebih dari cukup. Dia adalah diriku dari masa depan. Tapi aku tak pernah ingat memiliki jiwa sadistik gemar memeras orang lain.
“Lantas kami harus bagaimana?” Gicchi akhirnya angkat bicara. Tentu saja, dia pasti sepemikiran denganku. “Kau ingin seluruh harta kekayaan Kakek? Termasuk rumah ini? Kau mau kami mengelar tikar di pinggir jalan dan menjadi gelandangan? Bunuh saja kami—.”
Rena terlihat hendak membalas tanggapan Gicchi. Namun ucapan si cucu berambut jingga itu dihentikan oleh sang kakek. Pengalaman hidup selama lebih dari setengah abad mungkin telah mengajarkan Kakek Ivan untuk tetap mengutamakan pikiran dingin alih-alih terbawa emosi sesaat.
“Saya yakin Rena pasti memiliki sebuah alasan khusus.” Dia membetulkan posisi duduk seraya mengaduk segelas teh hijau di atas meja.
“Seperti?” Rena malah memancing. Dia masih saja bersikap angkuh, seolah memiliki semacam kartu AS dalam proses negosiasi ini.
“Rena bukan jenis manusia yang larut dalam keserakahan. Dik Rena ini berusaha mengejar sesuatu, dan itu membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit. ”
Pada titik ini aku mulai kagum akan bagamana tajamnya intuisi seorang pria dengan segudang pengalaman hidup. Entah bagaimana caranya dia menebak itu, tapi memang praduganya tentang Rena terasa tepat sasaran.
“Oleh karenanya…” Kakek Ivan melanjutkan ucapannya. “Izinkan saya untuk tetap membantu Rena dengan berperan sebagai sponsor yang menyokong dari balik layar.”
Lho, terus mekanismenya bagaimana? Apa itu berarti Gicchi akan memberikan berapa pun dana yang Rena butuhkan?
Kakek Ivan kembali melanjutkan penjelasan. “Rena akan menjadi sorotan publik dan menimbulkan tanda tanya besar jika secara tiba-tiba mengambil alih seluruh aset harta kekayaan keluarga besar Budi Hartono.”
“Kau tidak keberatan dijadikan sapi perah?” Rena mengucap sambil meraih cangkir berisi teh hijau yang diseduh oleh Gicchi.
Gadis remaja berparas seperti orang Russia itu tak lagi melempar pandangan tak sedap. Kurasa dia mulai paham dengan arah pembicaraan dari sang kakek.
“Aku tidak benar-benar berencana untuk memiskinkan kalian,” ucap Rena. Sejenak ia meniup uap kecil dari atas cangkir, lalu meneguknya secara perlahan,
Pernyataan Rena itu entah kenapa terasa kontradiksi di benakku. Mungkin ada benarnya ucapan Kakek Ivan. Orang terkaya di Indonesia, tiba-tiba kehilangan seluruh asetnya dan berpindah tangan pada orang asing yang tak jelas juntrungannya. Publik pasti akan menilai itu suatu hal yang janggal.
Rena menyelipkan poni samping wajah ke atas telinga. Rambut lurusnya itu tergerai jatuh kala menundukkan wajah demi menyeruput teh.
“Saham bank BCA—”
“Saham terbentuk dari kepercayaan publik.” Kakek Ivan memotong ucapan Rena. “Saham Bank BCA akan ambruk jika tiba-tiba terjadi pemindahan kepemilikan tanpa alasan yang kuat.”
Benar— Argumen Kakek Ivan jelas sangat masuk akal.
Jadi sekarang bagaimana? Benakku bertanya-tanya.