“Ini pertama kalinya aku naik pesawat terbang.” Jantungku berdegup kencang seraya menatap pengumuman jadwal keberangkatan.
Rena di sampingku terlihat tak acuh seraya sibuk dengan laptop di paha. Sesekali ia menyeruput segelas capuchino dingin. Mungkin saat ini aku terlihat begitu kampungan hingga gadis itu berpura-pura diam dan tak mengenal.
Tapi alih-alih bersikap norak, sikapku ini sebenarnya lebih mirip seperti seorang anak kecil yang sedang tersesat. Pandanganku tiada henti menyapu ke setiap sudut lounge khusus. Pandanganku sibuk memerhatikan lalu-lalang para pelancong dengan beragam tas dan koper. Langit-langit terminal tiga Bandara Soekarno Hatta terlihat begitu megah. Aku bisa melihat pesawat terbang hilir mudik lewat kaca berukuran raksasa itu.
“Gi, tenang.” Ketikan jemari di papan tulis laptop berhenti. Rena menatapku tegas demi menghentikan gerakan tumitku. Sedari tadi aku tiada henti mengetuk lantai dengan sol sepatu.
“Ah, maaf.” Sepertinya aku terlalu bersemangat.
Bagaimana tidak, ini adalah liburan pertamaku. Setelah bertahun-tahun aku tenggelam dalam pekerjaan tiada henti. Akhirnya aku merasakan bepergian ke luar negeri. Siapapun pasti akan merasa bersemangat. Aku tak keberatan jika Rena menyebutku seperti anak TK hendak bertamasya.
Awalnya aku terperangah kala menatap nominal harga tiket dalam sekali jalan berdua. Nilainya setara dengan gajiku selama tiga tahun mengajar di sekolah swasta.
Pun begitu, Rena masih berbaik hati untuk tidak mengusik saldo tiga miliar di rekeningku. Semua ini dia yang traktir. Dia mencarter penerbangan First Class, tingkatan paling tinggi dari sebuah pelayanan.
Sofa empuk tempatku duduk saat ini bahkan terletak di sebuah area terpisah, jauh dari keramaian orang berhilir mudik.
Rasanya seperti sedang berada di kafe. Aneka camilian yang tersedia bebas kulahap tanpa harus membayar lagi. Santapan mewah khas resto bintang lima juga sempat kucicipi.
Perjalanan belum dimulai, tapi rasanya sungguh menyenangkan sekali.
Terlambat kusadari, gadis itu menatapku lekat tepat di depan wajahku. Senyumnya itu terlihat seperti seorang kakak yang senang melihat adiknya kegirangan. “Gi, lupakan tentang Aruni, kita akan bersenang-senang di luar negeri.”
Sebenarnya putus dari Aruni tidak benar-benar membuatku begitu depresi. Uang dari Rena dan kehadirannya sendiri bagiku cukup menjadi obat pelipur lara.
Namun simpatinya itu memang bukan tanpa alasan.
“Tenang saja, aku masih bisa mengambil hikmah dari putusnya hubunganku dengan Aruni.” Di hadapan Rena aku menganyam jari, berusaha menyusun kata-kata, “Kelakuan Glen setidaknya menyadarkanku bahwa Aruni bukan seorang perempuan yang layak untuk dijadikan pendamping hidup.”
Sorot mata Rena menyipit, gadis itu mengembus napas sejenak seraya menahan senyum kecil, “Syukurlah kalau begitu. Mungkin kejadian ini terasa mudah bagimu, namun tidak untukku di kala itu.”
Benar—
Aku senantiasa nyaris melupakan bahwa Rena sejatinya mengaku sebagai diriku dari masa depan.
“Apa yang terjadi padamu ketika dicampakkan Aruni?”
“Aku mencoba bunuh diri.” Ia menjawab cepat, “—Tapi gagal.”
Rena memaksaku menerawang kembali pertemuan pertama kami di atas gedung mall.
Gadis itu lantas menjelaskan pengalaman hidupnya sebagai diriku di kala itu. “Dalam lintas waktuku, kaki kanan menjadi pincang dan aku tak memiliki uang, seumur hidup menderita dalam kemiskinan.”
Andai Rena tak menghentikanku di kala itu, mungkin segalanya akan berjalan persis seperti pengalaman hidupnya.
Aruni adalah satu-satunya dukungan moral bagiku. Dia alasan utama kenapa aku masih bisa waras dalam melawan kejamnya realitas. Kehilangan gadis itu sama saja seperti menerima vonis mati. Segala hasrat untuk tetap hidup mungkin akan lenyap tak bersisa. Aku salut akan bagaimana Rena bisa bertahan hingga mencapai usia empat puluh tahunan menjalani hidup seperti itu.
Tanpa sadar mulutku mengucap komentar, “Rasanya pasti berat sekali ya,”
Rena menanggapi dengan napas mengembus disertai senyum, “Oleh karenanya, maafkan aku karena bersikap egois dengan memanjakanmu seperti ini.”
“Kenapa disebut egois?” Aku membeo.
“Karena secara teknis aku berusaha menyenangkan diriku sendiri.” Telunjuk gadis itu menunjuk tepat di batang hidungku, “Kau adalah diriku dari masa lalu.”
Dia ini bertingkah seperti orang tua yang tak ingin menyaksikan anaknya menapaki jalan terjal.
Yah, sedikit banyak aku bisa mengerti.
Tapi tetap saja, masih sulit bagiku untuk menganggapnya sebagai salinan diriku.
Apalagi dia terlihat sebagai orang yang berbeda.
Dan demi tuhan, Rena itu seorang perempuan. Tak sedikit pun aku merasakan sisa-sisa bagian dari kepribadianku di dalam dirinya.
Penampilan Rena tidak memiliki kemiripan denganku. Andai saja dia memiliki warna rambut sama, atau mungkin datang dengan posisi wajah bagai pinang dibelah dua. Mungkin aku bisa menganggap keberadaan dia sebagai saudari yang terpisah sejak lama.
Maksudku— Demi tuhan, Rena itu cantik! Adalah sebuah kemustahilan bagiku untuk tidak memiliki rasa ketertarikan sebagai lawan jenis padanya.
Sorot mata kami saling bertemu. Dia sedikit memiringkan wajahnya pertanda menunggu seucap kata dariku. Namun sayangnya lidahku malah berubah kelu.
Tidak, tidak, tidak—
Aku harus mengubur dalam-dalam benih perasaan konyol ini.
Rena menganggapku seperti seorang keluarga— adik kecil lebih tepatnya. Jelas sekali perilakunya itu menyiratkan kasih sayang kepada seorang saudara.
Pengumuman boarding terdengar memenuhi udara. Seorang pelayan datang menghampiri untuk memberitahu bahwa maskapai menuju Amerika Serikat siap terbang tak lama kemudian.
Laptop di tangan Rena tiba-tiba ditutup. Gadis itu bangkit lalu mengulurkan tangannya padaku, “Ayo.”
Ini hebat, kami bahkan memiliki pintu masuk khusus ke pesawat, terpisah dari orang-orang dari kelas ekonomi.
Tadinya aku membayangkan kursi sempit dan kaku seperti di sebuah bis kota. Namun sekarang, aku malah terduduk di sebuah sofa mewah di dalam kabin khusus.
Sebuah sekat pembatas berfungsi sebagai penghalang demi menjaga privasi. Di dalamnya aku bebas melakukan apapun. Dimulai dari selonjoran menonton televisi, bahkan sampai dibuat rata terlentang bak sebuah kasur.
Rasanya seperti sedang berada di bilik warnet kelas premium.
Rena hanya tersenyum lembut ketika melihat tingkahku. Segala kemewahan ini memang sebuah pengalaman baru.
Sebelas jam di udara sama sekali tak terasa membosankan. Dua kali aku disuguhi hidangan berstandar Michelin. Dari foie grass, sampai dengan caviar yang tersohor mahal itu. Porsinya memang tak bisa dibilang mengenyangkan, tapi setidaknya lidahku benar-benar dibuat puas luar dalam.
Bandara di seluruh dunia rupanya memiliki standar prosedur yang sama. Keluar dari pesawat, aku dan Rena menunggu di sebuah tempat berisi conveyor membawa tas dan koper.
Aku dibuat minder tatkala tiba di negeri Paman Sam.
Tempat ini diisi oleh bule-bule berkulit putih.
Ya tentu saja. Dasar bodoh-bodoh-bodoh.
Kutepis keningku tanda kesal pada diri sendiri. Aku kan sudah tak lagi berada di Indonesia.
Ini negaranya para bule.
Oleh karenanya, sebisa mungkin aku tak boleh terpisah dari Rena.
Kenapa?
Karena aku tak bisa berbahasa Inggris.
Bodoh sekali memang.
Suhu di sini terasa dingin sekali. Lenganku sontak menggigil kala diterpa udara dari luar bandara.
Ini aneh, padahal matahari bersinar terik di angkasa.
Rena menyadari sesuatu. Ia lantas memberiku sepasang sarung tangan, lengkap dengan sebuah syal. Lengannya melingkarkan kain tebal itu di leherku, seperti seorang ibu yang khawatir pada anak semata wayang.
“Ini adalah negeri dengan empat musim, berbeda jauh dengan iklim tropis tempat Indonesia berada.” Rena mengucap seraya mengangkat telunjuknya, “Bagi mereka suhu ini mungkin terasa panas, tapi untuk seseorang yang menghabiskan hidup di garis ekuator, sekarang rasanya dingin seperti sedang berada di puncak, bukan begitu?”
Wajahku mengangguk tanda setuju. Sedetik sebelum kami memasuki sebuah taksi, aku baru tersadar akan beragam tatapan di sekitar. Rambut perak Rena memang terlihat amat mencolok. Sedari tadi kuperhatikan gadis itu seperti menjadi pusat perhatian.
“Jadi, kita akan ngapain di Las Vegas?” Aku bertanya seraya membetulkan posisi duduk.
Rena di sampingku kembali mengukir senyum tipis. Matanya mengerling, kutebak dia sedang membayangkan sesuatu. “Nyari modal,” jawabnya singkat.
“Dengan cara?”
“Kau seriusan tidak tahu Las Vegas terkenal dengan apa?”
Otakku berkelana sejenak, berusaha mengingat-ngingat stereotype tentang tempat itu, “Uhhmmm… kota judi?”
“Benar sekali.”
Waduh, pikiranku berubah jelek.
Rena akan menghabiskan sisa uangnya di kasino.