Tak pernah sedikit pun kubayangkan bahwa dunia perjudian bisa membanting seseorang dari miliuner menjadi seorang gelandangan dalam satu malam saja.
Pun begitu, yang terjadi pada Rena adalah hal sebaliknya. Dalam sehari itu, Rena secara misterius sanggup mengantongi tiga puluh juta dolar, atau senilai empat ratus miliar rupiah hanya dengan bermodalkan keberuntungan saja.
Nyaris setengah triliun rupiah!
Itu jumlah yang sangat fantastis. Jika ditukar ke dalam uang rupiah pecahan merah, kubayangkan jumlahnya akan memenuhi seisi ruangan, atau bahkan mungkin menenggelamkan seisi gedung.
Lalu benarkah keberuntungan menjadi satu-satunya hal yang Rena andalkan?
Pihak kasino tentu saja tidak senang.
Setiap permainan Rena senantiasa diawasi oleh banyak petugas keamanan. Permainan Blackjack, poker, dan apa pun itu—Aku tidak familiar dengan beragam macam judi—semuanya dilibas dengan kemenangan beruntun.
Beberapa kali kusaksikan Rena kalah dalam permainan. Rupanya tidak semua tebakan dia selalu benar.
Namun entah kenapa, aku punya firasat semua itu dilakukan semata agar dia tidak dituduh curang. Jadi beberapa kali kekalahan itu bisa dibilang hal yang wajar.
Detik itu Rena mencipta sejarah. Ia dijuluki ratu judi karena berhasil mencetak keuntungan fantastis— tertinggi sepanjang sejarah. Dari sana ia berkenalan dengan banyak kolega, memperluas koneksi dari pengusaha, bahkan hingga ke level mafia.
Seriusan, mafia yang itu lho. Stereotype mereka yang mengenakan pakaian serba hitam dan jubah bulu benar-benar terlihat jelas dari penampilan orang-orang itu.
Entah apa yang mereka bicarakan.
Aku hanya bisa menyaksikan dari samping gadis itu, berpura-pura bisu karena tak mengerti sedikit pun diskusi di antara mereka.
Entah apa yang Rena katakan ketika memperkenalkanku pada orang-orang ini. Seorang teman? Keluarga? Atau mungkin hanya seorang b***k hamba sahaya?
Seisi kota terasa seperti taman permainan megah. Jalanan malam hari penuh dengan gemerlap lampu hias seakan berusaha menghipnotis, terlihat begitu glamor.
Pakaian formal yang kukenakan terasa membatasi gerak.
Maklum saja, aku menumpuk beberapa lapis pakaian demi bertahan dari temperatur rendah khas belahan bumi utara. Jas hitam dengan sepatu mengkilat ini jelas dibanderol dengan harga fantastis. Aku tak mengerti kenapa seisi setelan ini nilainya bisa setara dengan mobil kelas menengah.
Pun begitu, tak pantas rasanya aku melayangkan protes. Terlebih ketika semua ini kunikmati secara gratis. Jadi aku tak berhak untuk menghakimi pakaian apa pun yang Rena berikan padaku.
Lalu bicara soal pakaian, pandanganku saat ini tak bisa lepas dari tiap senti penampilan Rena. Gaun merah jelas terasa menantang, namun tidak terasa norak karena berpadu dengan rambut panjang perak menjuntai sepanjang punggung. Sepatu hak tinggi menyembul keluar bersamaan dengan paha yang mengintip dari celah kain rok menyentuh lantai.
Kami berdua menyewa sebuah limosin, sedan panjang dengan tempat duduk luas di bagian belakang. Jangan tanya berapa harga sewa per harinya. Aku sendiri enggan untuk membayangkannya.
Kendaraan mewah itu mengantar kami menuju sebuah restoran bintang lima.
Harga tiap hidangannya membuat bulu kudukku bergidik. Seporsi steak wagyu—Demi tuhan, porsinya sama sekali tak mengenyangkan—sesungguhnya bisa membuatku kenyang dengan suplai mie ayam selama setahun penuh.
Namun kurasa aspek makanan menjadi nomor sekian dari alasan kenapa makan di tempat ini mahal sekali.
Lilin kecil di atas sebuah cangkir menghiasi bagian tengah meja makan kami. Lampu setengah redup dengan alunan pergelaran pertunjukan musik dari musisi di salah satu sudut ruangan, sampai kepada kaca berukuran besar yang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Suasana tempat ini terasa romantis sekali.
Ini bukan restoran tempat kau mengajak makan sanak keluarga. Ini adalah tempat terbaik bagi seseorang pria untuk bertekuk lutut di hadapan gadis pilihannya. Kubayangkan sebuah kotak cincin merah di tangan, untuk kemudian disematkan di jari kelingking sang wanita sebagai jawaban atas sebuah lamaran pernikahan.
Pikiranku mulai terbang melanglang buana. Apa maksud Rena melakukan ini semua? Rasanya kami seperti sedang pergi berkencan. Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu, seperti memberikanku semacam kejutan, misalnya?
Tapi kejutan macam apa? Ulang tahunku masih jauh dari hari ini.
“Kenapa?” Rena menyadari lenganku yang berhenti memotong daging steak. “Kau tak suka masakan barat?”
“Eh? Ah.. Tidak!” Seketika aku berubah kikuk. Beragam jenis lamunan langsung kupupus dari isi kepala. Buru-buru aku lanjut memotong daging empuk itu, untuk kemudian dilahap nikmat.
Gadis itu hanya terdiam. Ia sepertinya berusaha menebak-nebak apa isi pikiranku. “Gie, sol sepatumu mencipta suara berisik.”
Sialan. Dengkulku lagi-lagi bergetar hingga mencipta ketukan pada lantai.
“Kau hanya melakukan itu ketika merasa grogi.”
Wajahku seketika mengeras. Entah menahan malu, atau takut karena pikiranku terasa seperti hendak ditelanjangi.
“Tak usah khawatir. Aku sendiri butuh waktu lama untuk bisa lepas dari kebiasaan buruk itu,” ucap Rena seraya menahan tawa. “Biasanya, kakiku akan bergetar ketika sedikit bersemangat.”
Benar, Rena pernah menjalani hidup sebagai diriku.
Namun ada beberapa hal yang mengganjal pikiranku.
“Katakan padaku,” ucapku ragu. “Kau bilang hidupmu miskin, tapi kenapa kau bisa dengan santai melakukan ini semua?” Menikmati kehidupan glamor bukanlah sesuatu yang bisa dibiasakan hanya dengan sekali jalan saja.
Tak pernah sekali pun kupergoki Rena dibuat bingung ketika berurusan dengan segala prosedur di level kelas elite.
Seperti tabble manner dalam menikmati hidangan di restoran mewah misalnya? Jujur saja, aku pernah menerima pelajaran etika untuk menyantap. Namun bagaimana pun, semuanya adalah pertama kali bagiku. Jadi pada akhirnya aku masih saja melakukan banyak sekali kesalahan.
Rena begitu berbaik hati memberitahuku untuk memperbaikinya.
Seperti etika memasuki meja makan misalnya. Seharusnya aku tak boleh mendahului Rena ketika memasuki meja makan. Adalah hal normal bagi seorang pria untuk mendahulukan wanita. Seorang lelaki bahkan diharuskan berjalan memutari meja demi menarik kursi dan mempersilakan partnernya untuk duduk terlebih dahulu.
“Apa di masa depan aku sempat merasakan kehidupan sebagai kaum kelas atas?” ucapku ragu. Apa pada akhirnya aku bisa berdiri sejajar dengan keluargaku?
“Tidak,” jawab Rena. “Semuanya terjadi secara insting, aku hanya tahu meski tak pernah mengalaminya terlebih dahulu.”
Alisku mengkerut. Pikiranku berputar, berusaha memahami jawaban itu.
Lengannya anggun menggoyang segelas anggur di tangan, untuk kemudian menegaknya dengan mata tertutup. Kulihat pandangan gadis itu kini menerawang kosong pada gemerlap kota Las Vegas di kaca.
“Tubuh ini adalah milik seorang gadis bernama Rena.”
“Hah?” Aku makin dibuat bingung.
“Aku kembali dari masa depan dengan menggunakan tubuh orang lain. Ingatanku mungkin bercampur dengan miliknya. Itu kenapa, ada banyak detail dari runutan kejadian di masa depan yang menghilang dan tak sanggup kuingat.”
Mulutku terasa hilang kata-kata, bingung harus bereaksi seperti apa.
Penjelasan Rena membuatku membayangkan dirinya sebagai sebuah komputer. Fisik kasarnya tetap terlihat sama, namun komputer bisa diprogram menjadi apapun tergantung perangkat lunak yang dipasangkan padanya.
Dalam hal ini— analogi itu bisa disamakan dengan sebuah ingatan.
Apa yang membuat diriku tetap menjadi sebagai seorang Anggi? Apa yang membuatku tetap sadar bahwa diriku adalah orang yang sama ketika bangun di keesokan hari?
Kurasa jawabannya adalah ingatan itu sendirri. Akumulasi seluruh rekaman di masa lalu adalah apa yang membentuk sebuah identitas individual.
Jadi, andai seluruh ingatanku bisa disalin tempel ke dalam sebuah robot dengan kesadaran penuh, aku yakin robot itu akan menganggap dirinya sebagai Anggi.
Maka semestinya itulah yang terjadi pada Rena. Dia hanyalah seorang gadis yang kembali dari masa depan, lalu membawa informasi berupa ingatanku yang ditempelkan pada dirinya. Itu sebabnya ia menganggap dirinya sebagai aku.
Atau setidaknya itu kesimpulan dari pemikiranku ini.
“Jadi kau itu sebenarnya Anggi atau Rena?”
“Dua-duanya,” jawab gadis itu.
Napasku tertarik dalam, untuk kemudian diembuskan perlahan, “Kau tahu… aku sangat berharap kau tidak menjawab pragmatis begitu. Aku ingin menganggapmu sebagai seorang saudari.”
“Memangnya kenapa?” Rena terlihat bingung, “Bukankah kita berdua adalah orang yang sama?”
Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku sendiri, lalu secara tak tahu malu berusaha menghindar dari kontak mata.
“Ah…” gadis itu sepertinya menyadari sesuatu. “Jangan bilang kau tertarik padaku.” Ia menyilangkan lengannya, berusaha menyembunyikan belahan d**a. Padahal celah menggoda di sana sudah ia pamerkan sejak pertama kali kita bertemu.
“Bukan begitu.” Aku menutupi mulut seraya mengalihkan pandangan. “Bagaimana ya, meski kau merasa biasa saja, tapi aku tetaplah laki-laki sehat dan normal.” Mulutku mengucap ragu. Pandanganku pada akhirnya malah terkunci pada tonjolan seksi di dadanya.
Butuh waktu sekitar lima detik bagi Rena untuk menyadari maksud ucapanku.
“Hey, bukannya itu lebih buruk?!” Pekiknya panik. Hilang sudah ketenangan di wajah sedingin es itu.
“Bagus kalau kau mengerti.” Tawa kecil terselip dalam ucapanku. Semoga sekarang Rena bisa lebih mawas diri ketika berada di dekatku. Hormon seorang lelaki di usia dua puluh tahunan itu tinggi sekali. Banyak sekali pikiran tak bagus timbul tenggelam tiada henti. Aku tak ingin lepas kendali dan melakukan hal tak senonoh padanya.
Tapi kenapa ketika setibanya di hotel dia malah masuk ke kamar yang sama denganku?