“Kau tidak menyewa kamar sendiri?” ucapku penuh frustrasi.
“Nggak,” balasnya ketus. Gadis itu melempar tubuhnya ke atas kasur, lalu menenggelamkan wajahnya di bantal empuk.
“Kasurnya hanya ada satu, kau tahu?” Sebisa mungkin aku menjaga kewarasan dari godaan yang tersaji. Pikiranku berusaha menepis segala prasangka atas kelakuan Rena ini. Dua hari kemarin dia menginap di ruangan kosan, sekarang kita satu kamar di sebuah hotel.
Rena tak menjawabnya.
Aku hanya berdiri mematung di depan pintu, menatap bagaimana gadis itu mengambil napas dalam seraya telungkup membelakangi.
Keheningan terasa memenuhi udara.
“Gi, ada sedikit hal yang harus aku ceritakan.”
Oh ya? Sekarang kita akan memasuki sesi curhat?
“Silakan saja.”
Kurebahkan diriku di sebuah sofa. Ruangan hotel ini terlihat seperti kelas VIP. Ukurannya tak hanya luas, tapi juga tersedia beragam furnitur seperti meja tamu dan meja kerja.
“Ada alasan khusus kenapa aku membutuhkan bantuanmu.”
Ini menarik, sejak awal kita bertemu, aku memang merasa ada suatu keganjilan di antara semua in. Maka pikiranku berputar, berkontemplasi mencari jawaban.
Kenapa Rena harus menemuiku?
Dia bisa saja melakukan semua ini sendirian, atau menyewa orang lain yang jauh lebih kompeten untuk mewujudkan ambisinya itu. Berkomunikasi menggunakan bahasa internasional pun aku tak mampu. Aku jelas hanya menjadi sebuah beban baginya.
Rena bilang dia melakukan ini semua atas dasar perasaan sentimental saja. Karena ia tak ingin melihat dirinya sendiri dari masa lalu mengalami penderitaan seperti yang ia rasakan.
Mungkin itu ada benarnya.
Tapi tetap saja, aku merasa itu tak cukup untuk menjadi justifikasi akan kenapa dia rela merepotkan diri demi menyenangkanku.
“Jadi, kenapa?” Aku balik bertanya.
Belum ada jawaban. Rena sepertinya berusaha menyusun kata-kata untuk menjelaskan seringkas mungkin.
Maka dalam jeda itu kutumpahkan terlebih dahulu isi pikiranku padanya,
“Ren, kau itu sosok sempurna, sanggup melaksanakan segala sesuatu dengan efisien tanpa bantuan siapa pun. Sepanjang liburan ini, aku hanya merasa minder karena tak pantas berada di sampingmu. Sebenarnya a—,”
“Aku harus berada dekat denganmu untuk keperluan mengisi energi,” potong Rena.
Mulutku masih terbuka, gagal mengatup kembali setelah telinga gagal mencerna penjelasan tak masuk akal itu. “Aku? Mengisi energi?” Lenganku menunjuk diriku sendiri. Seperti baterai yang harus dicas?
“Hubungannya apa?” lanjutku meminta penjelasan.
Rena membalikkan tubuhnya, lalu duduk bersila menghadapku. Posisinya masih berada di atas kasur. “Aku baru menyadarinya akhir-akhir ini.” Ia bertopang dagu, “Ketika pertama kali aku tiba di masa ini, waktu itu aku tak langsung menemuimu.”
Sepertinya sulit menebak arah pembicaraan ini. Maka punggungku kian dalam bersandar pada empuknya sofa, menanti penjelasan lebih lanjut.
“—Kala itu aku merasa tak enak badan. Itu aneh, karena seharusnya tubuh ini terbuat dari triliunan nano machine dengan efisiensi tinggi. Aku tak akan pernah sakit, atau mengalami luka meski dijatuhkan dari gedung dua puluh lantai.”
Cerita Rena terdengar seperti sebuah dongeng.
“Waktu itu sakitnya kian menyiksa di sekujur tubuhku. Seperti pegal, ngilu tiada henti.”
Bagiku alasan itu terlalu mengada-ada.
“Lalu? Sakit yang kau rasakan hilang ketika menemuiku di atap gedung mall malam itu?” ucapku skeptis. Memangnya aku bisa mengeluarkan semacam energi penyembuh?
Gadis itu mengangguk. “Esoknya, ketika kau meninggalkanku untuk pergi ke sekolah. Rasa sakitnya kembali datang menyapa. Detik itu aku baru sadar, jarak di antara kita entah kenapa memengaruhi kinerja tubuhku.”
Aku akan menganggap cerita Rena sebagai sebuah alasan absurd untuk bisa berada satu ruangan denganku.
Apa sebenarnya mau gadis ini? Dia tertarik secara s*****l padaku?
“Kau tahu, aku bisa saja lepas kendali lalu menyerangmu ketika kau tidur?” ucapku seraya bertopang dagu dan menganyam jemari. Jika aku mengenakan kacamata, mungkin silau putih terlihat membias di bagian kacanya. Persis seperti seorang antagonis tengah merencanakan suatu hal jahat.
“Tolong jangan.” Wajah Rena berubah khawatir seraya lengannya mengangkat selimut demi menutupi dadanya.
“Oke, terserah. Kau bisa tidur di sini,” lanjutku ketus. Jas tebal ini terasa menganggu, jadi kulepaskan segala pakaian berlapis itu, untuk kemudian memosisikan diri untuk tidur di atas sofa berukuran besar.
“Kau bisa tidur di sini.” Lengan Rena menepuk-nepuk permukaan kasur.
Tanpa sadar aku sedikit menggeram. Tentu saja aku kesal, “Jangan mendorongku untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Aku ini lelaki sehat.”
Rena hanya terbengong, “Uhh… oke.”
…
Tentu saja, seluruh pembicaraan itu membuatku menjadi mawas diri.
Jam sudah menujukkan pukul 2 pagi, namun mataku masih tersadar dan sibuk menerawang langit-langit ruangan ini.
Jantungku berdebar-debar, aku harus menenangkan diri.
Sedari kemarin aku senantiasa berhasil melakukan sugesti pada diriku sendiri. Batinku senantiasa memandang Rena sebagai seorang kakak, bukan seorang wanita lawan jenis. Hal itu membuatku bisa melepaskan diri dari segala jenis pikiran kotor yang menghantui.
Namun sekarang situasinya berbeda. Bagian bawah tubuhku mengeras seperti baja. Aku tak bisa mengendalikan benda itu seperti sebelumnya.
Hasrat ini harus segera disalurkan. Oleh karenanya, pergi ke toilet dan melegakan diri dengan sebatang sabun adalah menjadi sebuah prosedur baku untuk segera dilakukan.
Belum sempat aku membuka selimut dan beranjak dari sofa, telingaku menangkap sebuah suara lenguhan.
Dari posisiku saat ini, aku cukup melirik ke samping untuk bisa melihat bagaimana posisi Rena.
Gadis itu tengah meringkuk. Matanya memejam erat seraya wajahnya mengeluarkan keringat.
“Nggghh….” Ia mendesis pelan seraya menggigit bibirnya sendiri.
Tidak—
Ini tidak seperti yang kupikirkan.
Dia tidak sedang melakukan ‘itu’, kan?.
Buang jauh-jauh pikiran jelek ini, Gi.
Aku berusaha berkonsentrasi, membayangkan sebuah padang rumput dengan langit biru berbalut awan.
Tapi kenapa tangan kanannya menyelip di antara kedua paha? Lalu kenapa lengan satunya lagi sibuk meremas tonjolan di d**a?
“Aaaahh..” Gadis itu kembali mendesah.
Demi tuhan, berhenti melenguh seperti itu, Rena!
Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku bangun dan ‘membantunya’? Apakah tindakan itu akan membuatku menjalani skenario persis seperti di film dewasa?
Tapi ini kita bicara soal Rena.
Sejak awal ia menegaskan padaku dia tak memiliki ketertarikan seperti itu padaku.
Jika aku berada di posisinya, aku juga akan berlaku demikian. Memiliki nafsu s*****l terhadap dirimu sendiri, rasanya pasti akan aneh sekali.
Aku khawatir jika dia menyadariku—Menyaksikannya menyentuh diri sendiri—menonton dari sofa ini. Hasilnya mungkin tidak berjalan seperti yang kuperkirakan. Skenario di film dewasa itu hanyalah sebuah kemungkinan di ranah fiksi.
Ini yang akan terjadi di dunia nyata. Dia mungkin akan marah, atau merasa jijik padaku.
Jadi sepertinya aku harus menegarkan diri dan menahan semua ini.
Aku hanya perlu menunggu dia sampai selesai, lalu tertidur lelap setelah kelelahan menggali kenikmatan seorang diri.
Lima menit telah terlewati.
Rena masih sibuk menggaruk-garuk organ kewanitaannya. Ia bahkan tak lagi berusaha menyembunyikan desahan e****s di mulutnya.
Kemaluanku rasanya sakit sekali. Aku tak tahan lagi.
Aku tak mau ambil risiko. Jadi aku pura-pura sedikit terbangun oleh suara lenguhan darinya. Badanku bergerak sedikit, berpura-pura membetulkan posisi ketika dalam kondisi tertidur.
Kegiatan Rena seketika terhenti.
Keheningan kembali datang menyapa ruangan ini.
“Kau bangun, Gie?”
Aku bingung harus merespons apa.
Di situasi ini aku masih berlaku sebagai pengecut. Jadi mataku masih memejam, berpura-pura tidur dan menyerahkan respons lanjutan pada Rena.
Jika ia benar-benar tak bisa menguasai diri, dia pasti akan mendatangiku dan melakukan hal-hal menyenangkan dalam kegiatan bereproduksi.
Namun keheningan masih berlanjut. Rena malah membetulkan posisi selimut, lalu menutup mata dan bergegas tidur.
Seketika aku merasa menyesal atas seluruh pilihan hidupku hingga saat ini.