“Kau kurang tidur?” Rena memeriksa wajahku, mungkin khawatir atas lingkaran hitam di bawah kantung mataku.
Siapa yang bisa tidur setelah dibuat mati kutu semalam suntuk?
Aku harus bolak balik ke kamar mandi untuk melegakan diri setelah cukup yakin dia sudah benar-benar tertidur. Butuh sebuah keteguhan hati untuk tidak mengikuti insting buas seorang lelaki.
Aku membicarakan tentang situasi malam tadi. Rena sibuk melakukan ‘itu’ tanpa memerhatikan ada seorang laki-laki sehat tidur sekamar dengannya.
“Aku baru bisa tidur jam 4 pagi,” balasku ketus, “..dan kau membangunkanku setengah jam kemudian.” Leherku menyandar nikmat pada kursi di penerbangan kelas bisnis.
Lengan Rena sibuk mengencangkan sabuk pengaman. Ia membetulkan posisi laptop di tatakan kursinya. “Ya harus bagaimana lagi? Jadwal kita penuh hari ini. Aku sudah ada janji di Los Angeles jam 8 nanti.”
“Kukira kita sedang berlibur,” ucapku sarkastik.
“Liburan sambil berbisnis. Sekali tepuk dua tangan.” Jemarinya membentuk simbol V seraya mengukir senyum lebar.
Aku hanya menjawabnya dengan senyum sederhana. Wajahku agak miring mendekat kepadanya. Daguku menyandar pada telapak tangan di atas sandaran lengan kursi, “Siapa orang penting yang mau kau temui?”
“Elon Musk, pendiri dari Space X.”
“Siapa?” tanyaku mengulang.
“Kau tidak akan tahu,” jawabnya cepat, “Saat ini dia belum terkenal. Namun nanti dia akan menjadi buah bibir seisi dunia.”
“Kok begitu?”
Kulihat pandangan Rena menerawang jauh ke luar jendela pesawat, menatap hamparan awan menggumpal bagai kapas.
“Dia menjadi pionir bagi penerbangan murah ke luar angkasa.”
Lengan Rena kemudian mengacungkan sebuah pulpen. Benda itu ia terbangkan naik seolah menganggap itu wahana antariksa.
“Elon akan menciptakan sistem roket yang bisa mendarat kembali setelah mengirim muatan ke luar angkasa.” Ujung pulpen di tangan kemudian menukik turun kembali. Bagian ekornya masih menghadap bawah.
Roket itu mendarat perlahan dalam posisi berdiri di atas meja.
“Dia menembakkan semburan api untuk memperlambat badan pesawat ketika menyentuh daratan.” Rena menoleh kepadaku. Wajahnya terlihat berbinar-binar, “Coba kau bayangkan, seperti melihat peluncuran roket namun mundur dari langit turun menuju bumi. Keren tidak?”
Aku tak begitu paham tentang fisika, tapi sepertinya mendaratkan kembali sebuah roket setelah meluncur ke angkasa terdengar seperti sebuah sains fiksi.
“Lalu, apa yang hendak kau lakukan?”
Tepian bibir Rena kali ini tertarik sedikit, membuatnya terlihat seperti seorang anak jahil, “Aku akan memberinya informasi dari masa depan.”
“Seperti?” Aku makin penasaran.
“Lihat saja nanti. Kamu banyak nanya. Gak seru kalau dibeberkan semuanya di sini,” ucapnya dengan wajah masam.
“Tapi aku kan tidak akan mengerti pembicaraan kalian.” Sampai detik ini aku masih menyesal karena tidak tekun dalam mempelajari bahasa Inggris.
“Tak usah khawatir. Aku sudah menyewa penerjemah, khusus buat kamu.”
Sejenak aku tertegun mendengar hal itu. “Kenapa tidak dari kemarin-kemarin?” protesku.
Sebuah jeda tercipta dari aliran pembicaraan ini. Rena menggigit bibirnya sendiri seraya sedikit menjulurkan lidah,
“Lupa.”
“…” Alisku mengkerut tanpa mencipta kata-kata.
…
Penerbangan ini berlangsung kurang lebih selama satu jam. Setibanya di bandara tujuan, kami disambut oleh perwakilan dari perusahaan Space X.
Seorang lelaki bule mengenakan jas formal didampingi perempuan dengan wajah oriental.
Perempuuan iut mungkin sama-sama orang Indonesia.
“Selamat datang, kami dari Space X. Senang berkenalan dengan Anda.” Perempuan berambut pendek itu bergantian menjabat tanganku dan Rena.
Aku lupa lagi mengingat namanya. Kalau tak salah Annisa, atau apalah kepanjangannya. Dia terlihat masih muda, mungkin sedikit di atas usiaku.
Perempuan itu memberikan sebuah headset yang hanya dipasang di telinga kiri. “Segala sesuatu yang orang lain bicarakan terhadap Anda akan langsung saya terjemahkan. Ini untuk berjaga-jaga apabila saya tidak bisa mendampingi secara langsung.”
“Oke,” jawabku patuh.
Kami tiba di markas Space X, tepatnya di daerah Hawthorne di Los Angeles. Gedungnya berbentuk kubus memanjang—Tidak menjulang tinggi seperti pencakar langit di daerah perkotaan—berusaha memanfaatkan tiap senti dari tahan membentang luas. Bagiku cukup megah dan enak dipandang mata.
Di bagian halaman depannya terdapat sebuah roket mematung megah. Tingginya mungkin setara dengan bangunan tujuh lantai.
Seperti biasa, aku hanya menjadi penonton.
Rena lihai menyapa sang miliuner seraya melempar sedikit canda dan basa-basi di awal pertemuan.
“Senang bertemu dengan Anda, nyonya Rena.” Suara Annisa terdengar dari headset yang kukenakan. Padahal dia berdiri tak jauh dariku, tapi suaranya yang berbisik itu jelas terdengar di telinga.
“Tuan Elon, merupakan sebuah kehormatan untuk bisa menemui Anda saat ini,” balas Rena.
Aku dan Rena kemudian dipersilakan memasuki ruangan meeting. Elon membawa beberapa asistennya, sementara Rena terlihat sibuk mengutak-atik laptop.
Mereka berbincang banyak terkait hal teknis.
Saat ini keberadaanku terasa hanya seperti karakter sampingan. Aku bahkan merasa kasihan pada Annisa, dia harus susah payah menerjemahkan pembicaraan mereka berdua. Padahal aku tidak mengerti istilah-istilah sains yang mereka bicarakan.
“Informasi yang Anda berikan sangat menarik, nona Rena.” Elon mengawali pertemuan ini. “Data telemetri dari ‘masa depan’ terasa sangat membantu dalam pengembangan roket Falcon 9.”
“Itu semua adalah kerja keras Anda sendiri, Tuan Elon.”
“Dari diriku sepuluh tahun mendatang,” potong pria dengan rahang lumayan lebar itu. “Menurut saya ini adalah perbuatan curang.”
Rena meraih lenganku di bawah meja, lalu menggenggamnya erat-erat. Jelas sekali gadis itu merasa tegang. Pembicaraan ini sepertinya tidak berjalan seperti yang ia harapkan.
Untuk pertama kalinya, aku menyaksikan bagaimana terciptanya sebuah jeda kosong di pembicaraan ini.
“—tapi aku menyukainya.” Elon melanjutkan pernyataan tadi. “Satu-satunya yang dirugikan di sini adalah diriku sendiri, bukan begitu?”
“Anda akan berhemat banyak sekali biaya untuk Penelitian dan Pengembangan.”
“Lalu apa timbal balik untuk Anda?” Elon berusaha membelokkan arah diskusi. “Saya yakin Anda datang dan memberikan informasi emas ini bukan tanpa mengharapkan timbal balik, bukan?”
“51% saham Space X, Tesla Motors, dan Boring Company, Tuan Elon,” potong Rena.
Wajah ramah pria itu seketika memudar.
Aku yakin Elon tersinggung mendengarnya.
Bagaimana tidak, menurutku Rena meminta terlalu banyak. 51% saham atas perusahaan yang susah payah ia bangun? Siapa pun berhak untuk marah.
Dalam ketegangan itu tanpa sadar aku menelan ludah. Apa kami akan diusir dari sini?