Fean Mahen Handoko, pria berusia dua puluh enam tahun yang memiliki senyum hangat dan baru saja Azura tinggalkan, melepas kepergian punggung Azura yang begitu buru-buru, dengan senyum yang mengembang. Senyum mengembang yang dipenuhi ketulusan seiring ia yang menunduk, menatap dalam, sosok wanita yang bersama Danian, di surat kabar yang ia keluarkan dari saku dalam jas abu-abu yang menyempurnakan penampilannya.
Senyum manis di wajah Fean terus berlangsung sekalipun pria yang kiranya memiliki tinggi tubuh 179 senti itu telah berlalu, kembali mengenakan kacamata hitam tebalnya sambil menarik koper cukup besar menggunakan tangan kanan. Tak lama kemudian, Fean sampai di salah satu kamar hotel, diantar oleh seorang petugas laki-laki.
“Terima kasih banyak.” Fean masih mempertahankan senyumnya, membuat petugas yang mengantar merasa dihargai.
Setelah menutup pintu dan tak lupa menguncinya, pandangan Fean yang sudah kembali melepas kacamata hitamnya, menatap takjub kamar hotel keberadaannya yang sangat megah. Fean terus melangkah memastikan setiap fasilitas yang ada di sana. Kamar pilihannya berukuran luas dan berfasilitas mewah. Dan ketika Fean menatap ke sudut depan kamar lebih teliti, ia mendapati kolam renang tidak begitu luas tapi langsung sukses membuat senyumnya makin lepas.
Danian benar-benar luar biasa. Semringah, Fean melepas jasnya, membuat tubuh atletisnya hanya terbungkus kaos lengan pendek warna putih. Tak lama setelah ia nyaris membuka tuntas kaos tersebut hingga kotak-kotak yang terbentuk di perutnya yang kencang terpampang nyata, dering ponsel miliknya yang berada di pinggir kasur sana, membuatnya urung. Fean kembali membenarkan kausnya kemudian bergegas menuju keberadaan ponselnya. Senyum bahagia mengguncang wajah tampannya ketika layar ponselnya dihiasi kontak berfotokan wanita dewasa berwajah cantik bersama dirinya. Wanita yang tak lain merupakan mamahnya, sesuai kontak nomor tersebut di ponselnya, Mamah.
“Morning, Sayang. Kamu sudah sampai Indo, kan?”
Suara penuh sayang dari seberang langsung membuat Fean tersipu. “Iya, Mah. Semuanya berjalan dengan lancar.”
“Sudah Mamah duga karena kamu selalu melakukan yang terbaik. Sekarang, yang perlu kamu lakukan hanyalah menunjukan pada mereka, bahwa kamu jauh lebih baik dari Danian. Kamu, Fean Mahen Handoko, calon pemimpin LUXURY HOTEL yang sesungguhnya!”
“Mamah yakin kamu enggak akan mengecewakan Mamah. Mamah akan segera menyusul kamu setelah urusan di sini selesai. Good luck, ya!”
Makin menyimak, makin pudar pula senyum di wajah Fean. “Mengenai berita-berita hari ini,” ucapnya ragu.
“Itu kenyataan, bukan settingan. Itu benar-benar Danian.”
“Jangan melukai Dan, Mah. Aku enggak mau Mamah melukai Dan. Dan enggak salah, Dan baik pada kita.”
***
Di tempat berbeda, di depan kolam renang cukup luas bernuansa sejuk tanpa disertai sengat mentari, Rosmaria Mahen, duduk dengan santai di salah satu kursi kayu yang ada di sana. Wanita berusia empat puluh sembilan tahun yang tak lain merupakan mamah Fean, dan terobsesi menjadikan Fean pewaris utama Luxury Hotel, tersenyum penuh kemenangan memandangi layar ponselnya. Di gawai berwarna pink milik Rosmaria tersebut dipenuhi foto Danian dan Azura yang hari ini menggemparkan kehidupan karena kabar tersebut dimuat besar-besaran oleh pemberitaan dan langsung tersebar luas dengan sangat cepat.
Sesuai rencana, ini akan membuat kehidupan Danian bermasalah. Pernikahan Danian akan gagal dan otomatis, Danian juga akan gagal memberikan keturunan untuk keluarga Handoko. Rosmaria yakin dengan pemikiran tersebut. Keyakinan yang juga dikuatkan oleh hadirnya wanita cantik berpenampilan modis bernama Velery Prissila Nusition, di hadapannya.
“Sayangku! Astaga, siapa ini? Super model kita.” Rosmaria menyambut kedatangan Velery dengan sangat hangat. Ia sengaja mematikan ponselnya sebelum ia meletakan gawai tersebut guna menghampiri Velery yang langsung ia peluk.
“Aku sudah melihat semuanya. Kamu luar biasa. Lihatlah siapa dirimu, kamu sudah menjadi bintang yang paling terang. Semua produk kecantikan sekaligus perusahaan fashion berlomba-lomba mendapatkan kontrakmu!” Rosmaria yang masih menahan kedua lengan Velery, menatap wanita cantik tersebut penuh takjub.
Velery yang menyempurnakan penampilannya dengan jaket bulu warna putih, langsung tersipu. “Tanpa Tante, aku tidak mungkin mendapatkan kesempatan ini.” Ia menatap penuh rasa terima kasih wanita modis di hadapannya. Rosmaria, wanita yang tampak sangat awet muda dan selalu memperlakukannya dengan hangat. Wanita yang juga menjadi jembatan sekaligus gerbang kesuksesannya dalam dunia permodelan. Seperti biasa, Rosmaria memperlakukannya penuh sayang, melebihi ketulusan seorang ibu. Bahkan karena itu juga, Velery menganggap mantan top model tersebut sebagai malaikat.
“Ayo, mari kita rayakan kesuksesan kamu. Astaga ... apa ini?” Rosmaria kebingungan mendapati beberapa pellayan di apartemennya membawa banyak karton sekaligus bingkisan.
“Tante berhak mendapatkan semua ini.” Velery mengatakannya sambil tersenyum tulus.
Akhirnya, aku benar-benar bisa mengendalikan Velery. Tak ada lagi harapan untuk Danian bisa bertahan menjadi pimpinan Luxury Hotel apalagi Danian begitu tergila-gila pada Velery! batin Rosmaria yang memasang wajah penuh rasa syukur seiring ia yang kembali memeluk Velery. Tak lupa, demi membuat Velery merasa lebih berarti, Rosmaria juga sibuk mengucapkan terima kasih pada Velery berikut doa-doa terbaik yang Rosmaria tujukan pada Velery.
***
Di ruang kerjanya, Azura dikejutkan oleh kehadiran Danian yang menerobos masuk dengan emosi menyala. Danian langsung menatap marah Azura yang buru-buru bangun meninggalkan kursi kerjanya.
“Cepat masuk ke ruang kerjaku!” tegas Danian yang langsung melangkah tergesa memasuki ruang kerjanya.
Azura yang takut karena tidak mau hidupnya makin bermasalah, buru-buru menyusul dengan agar berlari.
“Salah siapa semalam Anda datang!” protes Azura tepat setelah ia menutup pintu ruang Danian. Azura sengaja melakukannya karena sadar, obrolan mereka sangat rahasia.
Danian yang belum sempat duduk di kursi kerjanya, langsung balik badan. Masih menatap Azura dengan emosi menyala, ia mendekati Azura dan siap menerkam wanita itu detik itu juga. Azura buru-buru mundur, merasa beruntung karena ponsel Danian berdering dan ia ketahui merupakan dering tanda telepon masuk.
Mamah. Membaca kontak penelepon tak lain mamahnya, Danian langsung ketar-ketir. Terengah-engah akibat rasa kesal sekaligus emosi yang susah payah ditahan, Danian melirik sengit Azura yang masih bertahan di hadapannya. “Siapa yang menyuruhmu berdiri di situ? Cepat pergi dan tinggalkan ruangan ini!”
Bukankah tadi dia yang menyuruhku masuk ke ruangan ini? batin Azura kebingungan. Namun, demi mencari aman, ia buru-buru berlalu dari sana.
Dari kursi kerjanya, Azura mendapati Danian yang mondar-mandir di depan meja kerja dengan tangan kanan masih menempelkan ponsel pada telinga.
Sepertinya berita hari ini berdampak fatal pada Danian, pikir Azura. Azura yang menyimak langsung terkejut ketika Danian meraih gelas kosong di meja dan melemparkannya asal pada tembok di sana. Seperti itulah Danian jika sedang tersudut, segala barang pecah jika tidak langsung disingkirkan akan menjadi korban sekaligus pelampiasan, selain Azura yang nantinya akan sibuk membereskan semua itu.
Detik berikutnya, Azura sengaja buru-buru menyibukkan diri dengan membuka map yang menumpuk di hadapannya karena tanpa Azura duga, Danian menatap sengit ke arahnya.
Jangan, jangan sampai dia ke sini dan membuatku makin bermasalah! Azura sampai gemetaran saking takutnya harus kembali berurusan apalagi bermasalah dengan Danian. Siallnya, Danian yang seperti kehilangan akal justru sudah ada di hadapannya dengan waktu yang begitu singkat. Azura yang tidak tahan memutuskan untuk menghadapi sekaligus menyelesaikannya.
“Mana mungkin orang sepertiku kenal dengan wartawan atau sejenis yang bisa membuat berita seheboh itu!”
“Kalau saja semalam kamu langsung setuju, kejadiannya tidak akan sekacau sekarang!”
“Oh, iya?” Azura sengaja berteriak, menentang anggapan Danian. “Kamu yang datang, kamu juga yang membuat masalah. Apa? Mau menyalahkanku gara-gara kabar itu hubunganmu dan Velery bermasalah? Coba buka otakmu, sudah berapa lama kamu dan Velery bersama? Seperti apa Velery dan seperti apa aku? Masa iya, Velery masih meragukan kamu bahkan cemburu pada wanita biasa sepertiku?”
“Masalahnya tidak sesederhana itu!” Danian berteriak.
“Kalau kamu memang tidak mampu menyelesaikannya ya sudah menyerah saja. Kenapa harus mau diperbudakk oleh hal-hal yang tidak mampu kamu selesaikan?” Azura juga tak kalah berteriak.
Dari balik pintu ruang kebersamaan mereka yang sedikit terbuka, Fean yang sudah kembali mengenakan jasnya dan tak lagi menghiasi penampilannya dengan kaca mata hitam, menatap wajah Azura dan Danian yang tengah bertatapan sengit, silih berganti.
“Kurang apa kamu ke Velery? Kamu sudah kasih dia semuanya. Bahkan kamu rela melakukan hal-hal yang tidak seharusnya kamu lakukan! Apa? Kamu akan mengatakan itu sebagai CINTA? Cinta juga pakai otak, Danian Handoko! Heran, laki-laki kok mau diatur kayak boneka.” Azura menggeleng tak habis pikir. “Kamu benar-benar enggak punya harga diri kalau kamu tetap mau diinjak-injak! Aku pikir kamu berkuasa apalagi sejauh ini kamu selalu berperilaku bak seorang raja, tapi ternyata apa yang aku pikirkan salah. Tahu begini, aku tidak akan pernah takut padamu!”
Danian tidak bisa berkata-kata.
“Secepatnya selesaikan masalahmu agar kamu tidak terus-menerus melampiaskan semuanya pada orang rendahhan sepertiku! Tegas, jangan mengemis! Apa jadinya kamu dan masa depan hubungan kalian jika belum apa-apa saja, kamu harus selalu mengemis?” lanjut Azura.
Dari balik pintu, Fean makin fokus menatap Azura. Azura yang tak gentar meski Danian menyiramkan segelas air putih di meja Azura pada wajah Azura.
“Sudah kukatakan, semuanya tidak semudah itu!” tegas Danian lirih sambil menatap Azura yang telah kembali menatapnya sesaat setelah wanita itu terpejam dan Danian yakini karena Azura refleks menghindari guyuran segelas air putih darinya.
Pyar!
Danian membanting gelas tersebut sebelum kepergiannya dari sana. Danian keluar dari ruang kerja mereka dengan langkah tergesa. Fean yang bersembunyi di balik sekat tembok sebelah ruang kerja Azura dan Danian, melepas kepergian Danian dengan tatapan prihatin.
Ketika Fean kembali ke ruang kerja Azura dan Danian, ia mendapati Azura tengah memunguti pecahan gelas yang Azura tampung di setumpuk helai tisu. Azura melakukannya dengan wajah sekaligus sebagian pakaiannya yang masih basah, selain butiran bening yang berjatuhan dari kedua sudut mata wanita itu. Fean menghela napas pelan, merasa terenyuh melihat kenyataan tersebut. Beberapa saat kemudian, dengan langkah pelan, ia telah sampai di hadapan Azura.
Mendapati sepasang sepatu kulit warna hitam yang begitu mengkilap berhenti di hadapannya, Azura langsung diam. Itu bukan sepatu Danian meski Azura merasa tidak begitu asing dengan aroma parfum yang menjadi menghiasi suasana kebersamaan di sana. Dan sebuah sapu tangan warna merah salem yang terulur pada Azura seiring tubuh sosok di hadapannya yang menjadi turun, makin membuat Azura tak percaya.
Azura menahan napas karena sosok tersebut dan tak lain Fean, sampai menyeka air mata Azura menggunakan sapu tangan yang sempat tersodor pada Azura. Apakah dia seorang malaikat? Kenapa dia terlihat seperti patung? Patung malaikat? Tidak ... tidak. Aku, sebelumnya kami pernah bertemu. Dia sangat tampan. Azura sengaja menurunkan tatapannya karena jarak wajahnya dan Fean terlalu dekat, meski kemarin malam, Azura juga pernah sedekat sekarang dengan Danian, si manusia berhati siluman.
Bersambung ....