Terhitung sudah seminggu ini, Olivia bekerja di perusahaan ternama yang dia ketahui sebagai cabang dari perusahaan Star Corporation. Olivia berada di bagian staf HR, yang gajinya di anggap kecil oleh gadis itu. Maklum, sudah sering memegang uang ratusan juta dollar, jadi melihat angka gaji yang akan dia dapatkan syok bukan main.
Pekerjaannya sangat banyak, tapi gaji tak seberapa. Bagi Olivia mungkin gaji sebanyak itu tentu tetap sedikit, karena tidak bisa menutupi semua gaya hidupnya yang mewah.
Tapi dia cukup bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan tersebut tanpa harus melalui rekruitment dan interview terlebih dahulu. Benar-benar langsung diterima karena melalui jalur orang dalam. Dia sangat berterimakasih pada teman Alfredo yang baik itu. Meski posisi yang dia dapatkan hanya sebagai staf HR. Padahal Olivia berharap bisa mendapatkan posisi yang jauh lebih tinggi. Tapi tidak masalah, Olivia menerima itu. Lagi pula, dia tidak punya pengalaman kerja sama sekali.
“Oliv, sebentar lagi pertemuan pagi. Semua karyawan diminta ke aula, sekalian untuk menyambut anak-anak intern.”
Olivia menoleh ke arah Jemma, salah satu rekannya di bagian HR juga. Bisa dibilang, hanya Jemma saja teman Olivia. Dia tidak mudah dekat dengan orang-orang baru. Tapi entah mengapa, Olivia sedikit lebih bisa dekat dan banyak mengobrol dengan Jemma.
“Jangan lupa dibawa saja sekalian berkas laporannya.” lanjut Jemma yang membuat Olivia mengerutkan dahi bingung.
“Kenapa harus membawa berkas laporan? Pertemuan pagi seperti kemarin saja kan?” balas Olivia.
“Ah iya, benar juga. Tidak perlu dibawa. Nanti saja setelah pertemuan pagi di aula, kau yang bawa berkas laporannya ke ruangan CEO." sahut Jemma. Lalu kemudian ia kembali melanjutkan, “Mr CEO kita hari ini sudah mulai masuk kembali. Ah ya, kau belum pernah bertatap muka dengannya kan semenjak masuk? Nah, kau harus melihatnya hari ini. Dia, sangat-sangat tampan!”
“Ck! Seberapa tampan memangnya sampai kau terlihat memujanya begitu. Huh?” sahut Olivia. Gadis jadi penasaran sekali, sebab Jemma terlihat sangat antusias membicarakannya. Setampan apa CEO di perusahaan tempatnya bekerja itu? Akankah lebih tampan dari pada aktor-aktor Hollywood yang terkenal? Atau mungkin biasa saja?
“Sulit untuk dijabarkan setampan apa dia, Oliv. Hanya saja, dia sudah punya istri. Jadi, hanya bisa dikagumi dan dinikmati saja ketampanannya tanpa bisa dimiliki.”
Olivia mendecih singkat. Seolah tak percaya dengan ucapan Jemma barusan. Dia ingin membuktikannya sendiri nanti.
+++
Pertemuan pagi akhirnya dimulai lebih dulu, yang dipimpin oleh Jose Luis selaku HRM di perusahaan tersebut. Semua karyawan dari berbagai divisi dikumpulkan di aula perusahaan. Bergabung dengan beberapa anak-anak intern juga, yang mulai masuk hari ini.
Olivia melirik malas ke arah Jemma yang sejak awal membuatnya terburu-buru. Padahal yang ia lihat, banyak karyawan yang datang di waktu yang mepet.
“Sudahlah, jangan menatapku begitu. Sebentar lagi, Mr Phoenix akan datang. Kau harus bangga nanti setelah melihatnya, karena memang CEO kita setampan itu.”
“Otakmu apakah hanya dipenuhi dengan Mr CEO saja?”
“Ck! Sudahlah kau lihat saja nanti. Aku jamin kau pasti akan sangat suka dan enggan melepas pandangan darinya. Mr Phoenix memang tampan dan semenarik itu. Tapi hati-hati, jangan sampai kepincut.” sahut Jemma. Lalu dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Olivia. Kemudian berbisik, “sudah beristri!”
Olivia mendecih malas, “sudah tau beristri tapi kau masih saja terus memujinya tampan? Kau waras?”
“Selagi beliau tidak tau, kenapa tidak? Toh memang Mr Phoenix sangat tampan.”
“Halah, kau ini—”
“Itu dia!” sela Jemma sembari menyenggol pundak Olivia.
Pandangan Olivia sontak tertuju lurus ke depan. Menatap seseorang yang baru saja duduk bergabung dengan para petinggi lainnya di perusahaan tersebut.
Suara Jose Luis bahkan seolah terabaikan begitu saja. Fokus Olivia hanya tertuju pada sang CEO. Terlihat masih muda, gagah, tinggi dan tampan. Ya, Olivia tidak butuh waktu lama untuk mengakui ucapan Jemma soal yang satu itu. Mr Phoenix memang sangat tampan.
Olivia benar-benar bak tersihir dengan visual pria tersebut. Yang seperti itu yang Olivia mau. Bukan spek pulu-pulu seperti kemarin yang dijodohkan dengannya. Tentu saja Olivia menolak keras perjodohan gila itu, karena dia maunya yang spek berlian seperti CEO nya tersebut.
Entah bagaimana awalnya, Olivia kini menyadari bahwa pria itu juga menatap ke arahnya. Saling beradu pandang cukup lama. Karena tak mau terlalu percaya diri, Olivia mengalihkan pandangan ke lain arah. Lalu kembali menatap lurus ke depan, dan tetap saja bertemu pandang kembali dengan Phoenix.
Pria itu meskipun tak menunjukkan senyuman sama sekali, dia memang sadar saat balik menatap Olivia. Seseorang yang tidak dia ketahui siapa namanya, namun dapat menarik perhatian Phoenix pagi ini. Bahkan matanya seolah tak bisa berpindah. Seperti enggan menatap objek yang lainnya.
“Untuk Mr Phoenix, saya persilahkan.”
Olivia langsung mengalihkan pandangannya ke lain arah kembali, saat nama Phoenix dipanggil untuk menyampaikan sambutan di pagi hari ini. Dia melirik Jemma yang nampak fokus ke depan dan mendengarkan. Sementara dirinya sendiri enggan untuk menatap ke depan karena takut akan kembali bertatapan dengan Phoenix. Bisa berbahaya, pikirnya.
Phoenix Leonard Cyrill, putra sulung dari pemilik perusahaan utama Star Corporation. Pria berusia 32 tahun itu sudah menjadi idola di perusahaan tersebut sejak awal. Tidak heran jika banyak yang antusias begitu melihatnya muncul di depan semua karyawan.
Meski begitu, tetap saja Phoenix adalah orang biasa yang ada sisi positif dan negatifnya. Ada bagian di mana pria itu begitu disukai. Dan ada juga bagian yang tidak orang-orang sukai dari Phoenix. Kebanyakan karyawan-karyawan di sana paling tidak suka jika Phoenix sudah mode garang, marah. Sebab marahnya seorang Phoenix tidak pernah tanggung-tanggung dan tidak kenal tempat. Itu yang membuat banyak karyawan tidak suka dan takut.
“Jem,” panggil Olivia. Namun, ketika Jemma menoleh, Olivia justru menggelengkan kepalanya tidak jadi. “Lupakan, tidak jadi!”
“Ah, aneh kau ini!”
Sekali lagi, Olivia kembali memperhatikan Phoenix. Memastikan bahwa apa yang dia pikirkan adalah salah. Namun, saat mata mereka tetap bertemu di titik yang sama, jelas Olivia bisa menyimpulkan dengan penuh percaya diri, bahwa mereka sama-sama tertarik. Gila, tapi Olivia justru tetap mempertahankan tatapannya.