Tidak Bisa Hidup Melarat

1173 Kata
Olivia terpaksa harus menjual dua tas kesayangannya yang memang ikut dibawakan oleh sang pelayan di dalam koper. Uang dari penjualan dua tasnya tersebut dia gunakan untuk menyewa apartemen mewah. Maklum, dia tidak bisa meninggali tempat yang sempit atau yang biasa saja. Sudah kebiasaan menempati tempat-tempat yang mewah. Saking mahalnya harga sewa apartemen tersebut, Olivia hanya mampu untuk menyewanya selama tiga bulan. Sisanya dia gunakan untuk membeli mobil secara cash. Lebih murah harganya dari mobil sang ayah, tapi setidaknya Olivia punya kendaraan sendiri. Daripada nantinya dia harus menggunakan jasa taksi online setiap harinya. Akan semakin banyak pengeluaran nantinya jika dia tak memiliki kendaraan sendiri. Jangan ditanya berapa harga dua tas kesayangan milik Olivia. Harganya tentu sangat di luar nalar. Olivia bukan tipe orang yang suka menghemat keuangan. Dia benar-benar gadis yang boros. Bahkan suka tidak berpikir jika sudah mengeluarkan uang. Seperti saat ini, gadis itu dengan percaya dirinya menikmati makan malam di sebuah restoran termahal di kota tersebut. Benar-benar restoran kelas atas. Semua orang yang datang ke sana minimal sekelas pejabat atau selebritis. Lebih banyak didominasi dengan para konglomerat-konglomerat. Sudah terbayang sekali berapa harga dari setiap piring kecilnya. Olivia benar-benar tidak punya pikiran sama sekali jika uangnya bisa habis dalam semalam. Gaya hidupnya yang mewah sebelumnya tentu tidak bisa dipaksa untuk berhenti secepat itu. Dia tak bisa hidup melarat dan menjalani semuanya serba terbatas. Bahkan tidak terpikirkan apakah seminggu kedepan dia masih bisa makan atau tidak. Yang ada di dalam pikirannya sekarang tentu saja gaya, dan juga gengsi. Jangan ditanya apakah dia bisa memasak atau tidak. Tentu Olivia sama sekali tidak bisa memasak. Menyentuh kompor saja tidak pernah. Jadi bagaimana mau menghemat juga dengan memasak sendiri? Sementara dia tidak bisa apa-apa. “Silahkan Nona, ini dessert Anda.” Olivia tersenyum dan mengangguk saat seorang pelayan mengantarkan dessert untuknya. Pelayanan di sini memang sangat top. Bisa dibilang restoran tersebut adalah tempat langganan Olivia. Banyak yang sudah mengenalnya. Bahkan hafal betul makanan apa saja yang akan gadis itu pesan. “Tunggu dulu!” serunya saat pelayan tersebut hendak pergi dari mejanya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” “Kenapa tidak ada taburan emasnya?” tanya Olivia dengan tatapan yang penuh tuntutan. “Aku memesan dengan tambahan extra emas seperti biasanya. Kenapa tidak ada?” “Oh, maaf Nona. Mohon maaf sekali. Kami akan menggantinya kalau begitu. Maaf karena sudah membuat Anda menunggu lagi. Biarkan kami—” “Tidak perlu.” potong Olivia dengan cepat. Mood gadis itu memang cepat sekali berubah. Apalagi selera makannya mudah sekali hilang jika ada kendala seperti ini. Sudah malas duluan, apalagi harus menunggu meski hanya dalam waktu satu menit saja. Apalagi dia agak kecewa, sebab tak seperti biasanya pelayan di tempat itu membuat kesalahan. Sebelum-sebelumnya selalu tepat sekali pesanannya yang datang. Tapi kali ini tidak. “Maaf Nona, maksudnya tidak perlu? Kami akan menggantinya sebentar. Mohon ditunggu.” “Aku bilang tidak perlu. Aku sudah tak berselera untuk menikmatinya.” sahut Olivia yang membuat pergerakan tangan sang pelayan tersebut terhenti. “Berikan saja bill-nya. Aku mau bayar.” “Ah, baik-baik Nona. Sebentar.” Olivia awalnya terlihat sangat santai dan tenang. Dia yakin jika sebagian uang yang dia bawa saat ini cukup untuknya membayar semua makan malamnya. Namun, begitu melihat total dari semua makanan yang dia habiskan cukup fantastis. Olivia sampai terkejut, tapi berusaha untuk tetap santai. Tidak boleh terlalu gugup atau takut, karena bisa sangat memalukan. “Aku bayar pakai uang cash,” ujarnya. “Ya, baik Nona. Totalnya sekian—” “Aku tau, aku bisa membacanya.” sahut Olivia sensi. Maklum, uangnya langsung berkurang banyak dalam sehari. Sumpah demi Tuhan, Olivia tidak akan pernah bisa hidup melarat begini. “Sisanya, uang tip untukmu.” ujar Olivia, dengan nada bicaranya yang mulai tenang. Meskipun hatinya tidak bisa tenang sekarang. Sebab pengeluaran dalam sehari mencapai ratusan ribu dollar. Sudah menjadi kebiasaannya, selalu memberikan bonus pada pelayan yang melayaninya. Jadi, tidak mungkin jika kali ini dia tak memberikan uang tip sama sekali. Olivia mulai berjalan meninggalkan restoran tersebut dengan kepala yang tegak. Tak pernah sekalipun dia kehilangan kepercayaan diri, sebab jika menunduk sedikit saja, dipastikan akan banyak orang yang menyepelekannya. Olivia tidak mau seperti itu. Dia bukan gadis yang mudah untuk ditindas siapa saja. Jika nanti tidak punya uang pun, sepertinya dia akan tetap sepercaya diri ini. “Nona! Tunggu! Nona!” Olivia menoleh saat seorang pelayan mencoba menghentikan langkahnya yang hampir mencapai pintu utama restoran. Keningnya berkerut tanda keheranan. “Ada apa?” “Benar ini ponsel Nona?” Olivia langsung merampasnya dengan cepat saat sadar jika itu memang ponsel miliknya. Karena terlalu fokus menghitung uang cash yang harus dia bayarkan tadi, Olivia sampai lupa jika ponselnya belum masuk ke dalam tas. “Ah, terimakasih sudah memberikannya padaku. Untung kau menemukannya,” “Maaf Nona, bukan saya yang menemukannya. Tapi Tuan—” ucapan pelayan tersebut mendadak terhenti saat celingukan seperti mencari seseorang di belakang sana. “Tuan?” “Maaf Nona, tapi tadi ada seorang pria yang menemukan ponsel Anda. Tapi... sepertinya Tuan itu sudah pindah ke ruang VVIP.” Olivia yang penasaran jadi mencoba untuk melirik ke arah pandangan sang pelayan beberapa detik yang lalu. Namun dia tak menemukan siapa pun juga. “Sampaikan terimakasih jika kau bertemu orangnya lagi.” putus Olivia sebelum akhirnya benar-benar berlalu pergi, keluar dari restoran tersebut. +++ Seorang wanita dengan rambut panjang yang sengaja di kuncir ke atas itu berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman. Namun, langkahnya terhenti tepat di ruang kerja suaminya. Wanita cantik yang memiliki body seksi itu lantas masuk tanpa permisi saat mengetahui ada kehidupan di dalam ruangan tersebut. “Aku kira kau lupa jalan pulang, setelah tiga hari tidak pulang ke rumah sama sekali.” Pria yang tengah memakai kacamata kerjanya itu langsung mendesis malas saat suara tersebut menginterupsi. Ini salah satu alasan yang membuatnya enggan pulang ke rumah. “Beginikah caramu berbicara dengan suami sendiri, Audie?” Wanita bernama lengkap Audie Maroline itu kini berjalan lebih mendekat lagi. Yang tadinya hendak meluapkan kemarahan karena sang suami tidak pulang ke rumah selama tiga hari, terpaksa harus dia pendam karena nada bicara pria itu terdengar begitu dingin. “Maaf.” cicitnya pelan. “Aku sedikit kesal karena kau tidak pulang-pulang. Masih marah karena masalah yang tiga hari lalu itu?” “Keluar. Tutup lagi pintunya.” seru pria itu tanpa memiliki minat untuk menjawab pertanyaan sang istri sama sekali. “Oke-oke, aku tidak akan membahasnya lagi.” Audie pada akhirnya mengalah lagi. “Cepat ke kamar. Aku tidak mau tidur sendirian lagi malam ini.” “Kau tidak dengar aku bicara apa, Audie? Harus dua kali aku menyuruhmu keluar dari sini?” “Iya oke aku keluar. Tapi janji ya cepat menyusul ke kamar. Jika tidak—” “Kau ingin melihatku meledak sekarang juga?” Selesai. Audie lantas menghembuskan nafas lelah dan berakhir pergi meninggalkan ruang kerja sang suami. Audie sebenarnya bisa saja membalas perkataan suaminya itu, dan balik marah-marah. Tapi dia sudah tak memiliki tenaga untuk berteriak-teriak. Dia juga tak mau semuanya semakin panjang dan rumit. Pria itu pulang saja, Audie sudah sangat bersyukur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN