Ada perubahan sedikit, ya, dari chapter awal. Jadi, kalian bisa baca ulang agar tidak membingungkan pas baca chapter ini. Aku sudah merevisinya semalaman.
Terima kasih.
.
.
Helena mendengkus ketika berhasil keluar dari ruangan Arsen, pria yang selalu menganggapnya remeh, meski belum mendapatkan buku catatannya, tak lantas membuat Helena menyerah, ia akan kembali meminta buku catatannya nanti.
“Hei! Kamu kenapa, La?” Rina melihat sahabatnya berjalan terlalu cepat dengan suara napas yang tersengal-sengal.
“Hem? Aku nggak apa-apa,” jawab Helena.
“Mbak Koila memanggilmu, sepertinya dia sedang marah,” tutur Rina.
“Pernah ya, Mbak Koila baik sama aku? Perasaan marah mulu.”
“Ha ha, tahu saja kamu,” kekeh Rina.
“Baiklah. Aku temuin mak lampir dulu.”
Helena masuk ke ruangan Koila. Ruangan managernya itu berantakan, banyak kertas sobekan yang berhamburan di setiap sudut. Helena menghela napas. Helena siap pasang badan, meski harus di marahi, karena ia sudah biasa.
“Darimana saja kamu? Bukannya kerja malah keluyuran.” Koila menatap Helena penuh amarah.
“Saya dari toilet.”
“Kamu bego apa memang sudah tidak punya pikiran? Laporan yang kamu bawa itu semuanya salah! Kita jadi dikritik orang atas karena memberikan mereka laporan yang ngawur, jumlahnya tidak sesuai laporan bulan lalu.” Koila berteriak, membuat seluruh staf keuangan hanya mendengarkan, karena kemarahan Koila bukan kali pertamanya, namun sudah sering kali terjadi.
“Maaf, Mbak. Tapi saya sangat yakin dengan laporan yang saya buat, saya sudah memeriksanya beberapa kali, jika itu mengandung kesalagan, saya yakin, bukan kesalahan dari saya.”
“Terus kesalahan siapa? Saya? Kamu jangan main-main, Helena, kamu tidak tahu karena laporan ini bisa saja membuat kita semua ditendang keluar dari perusahaan ini!”
“Saya minta maaf.” Helena merunduk.
“Perbaiki semua laporan itu dan jangan pulang jika semuanya belum selesai!”
“Tapi, Mbak, saya harus pulang cepat.”
“Terserah kamu, pilih saja, kamu dipecat atau selesaikan hari ini laporan yang sudah kamu buat!”
“Baiklah. Akan saya selesaikan hari ini.” Helena menghela napas, ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.
Helena keluar dari ruangan Koila dan duduk di kursi kerjanya, entah mengapa setiap hal yang ia kerjakan selalu saja ada kesalahan, meski ia sudah berusaha sebaik mungkin agar tidak sampai membuat kesalahan.
“Ada apa lagi kali ini? Kesalahan apa lagi yang kamu buat?” bisik Rina.
“Aku nggak tahu loh, laporan keuangan kan kita berdua yang ngecek, udah benar, kan? Tapi, kok masih salah?”
“Haa? Masih salah? Kok bisa?”
“Lah itu yang buat aku bingung. Aku harus lembur dan telat pulang.”
“Aku pengen sih bantuin, tapi aku ada acara keluarga.”
“Ya udah nggak apa-apa.”
****
Sesekali Helena melihat jam tangannya, malam menunjukkan pukul 9, namun pekerjaannya belum juga selesai, sedangkan Radil dan ayahnya pasti belum makan malam, kantor pun sudah sangat sunyi, hanya ada dia dan cahaya ruangan staf keuangan.
Helena menghela napas, sesekali memukul pelan bahunya untuk meregangkan ototnya yang sejak tadi belum bertemu bantal.
Arsen hendak melangkah keluar kantor, namun cahaya ruangan mengganggu pikirannya, Arsen berjalan menghampiri cahaya lampu dan melihat Helena masih bekerja seraya menguap.
Arsen menatap Helena dari kejauhan dan sesekali tersenyum kecil ketika melihat Helena menguap dan hampir menjatuhkan kepalanya. Helena tak sadar jika atasannya itu kini tengah menatapnya. Entah mengapa, Arsen merasa lebih bersemangat saja ketika melihat Helena.
Arsen mengetuk pintu, berhasil membuat Helena terlonjak kaget.
“Apaan, sih.” Helena mengumpat, membuat Arsen tertawa kecil.
“Kamu lagi apa? Belum pulang?” tanya Arsen.
Helena menggeleng. “Belum. Lagi ada pekerjaan.”
“Pekerjaan apa?” Arsen melihat arah komputer. “Laporan keuangan bulan ini? Oh iya … saya mendapatkan keluhan katanya laporan ini salah.”
“Iya. Semuanya hampir salah.” Helena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Terus kenapa belum selesai? Ini kan kerjanya gampang.” Arsen sejenak menatap Helena.
“Gampang? Gampang darimana? Saya tidak bisa memecahkannya.”
“Ya sudah, geser sana.” Arsen mengambil kursi dan duduk tepat disamping Helena. Baru saja pagi tadi mereka berdebat dan kali ini Arsen kembali terlihat manis tidak seperti tadi pagi.
“Kamu kerja di sini lulus sendiri apa karena rekomendasi? Kok hal segampang ini sampai tidak tahu.” Arsen menggeleng.
“Saya lulus sendiri kok tanpa rekomendasi ataupun orang dalam.”
“Terus kenapa hal seperti ini sampai tidak tahu? Jangan terlalu bodoh!”
“Iya, Tuan yang pintar.”
Arsen tersenyum. “Ya sudah, saya beritahu cara kerjanya.”
“Bagaimana?”
“Cocokkan data ini ke sistem dan rumusnya seperti ini, scroll sampai ke bagian akhir agar jumlahnya tidak sampai selisih.” Arsen menjelaskan, sesekali membuat Helena tanpa sadar menatap kagum kewajah sang CEO.
“Lihat saja. Dari jumlahnya saja sudah kelihatan salah dan selisih banyak, jika selisih sedikit saja, perusahaan bisa kehilangan keuntungan.” sambung Arsen.
“Jadi, kerjanya begini?” Helena mengambil alih. “Kok masih tidak bisa?”
Arsen menggenggam tangan Helena dan mengarahkan mouse di atas tangan Helena. “Caranya begini, Neng.”
Helena merasakan jantungnya berdetak kencang, hanya ada mereka berdua, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak di harapkan Helena. Helena menggelengkan kepalanya membuang jauh pikirannya.
“Kamu paham, kan sekarang?” Arsen menatap Helena dan mendapati Helena tengah menatapnya, tatapan mereka saling menghujam lembut, hangatpun menyeruak hebat. Helena kembali menggelengkan kepala ketika sadar bahwa ia terlalu larut dalam suasana.
Entah keberanian apa yang dimiliki Arsen, membuatnya berani mengecup pipi Helena. Helena membulatkan matanya penuh mendapatkan kecupan itu, kecupan yang berhasil membuat pipinya memerah padam.
“Anda ngapain? Kenapa melakukan hal itu kepada saya?” Helena menggeser kursinya.
“Saya minta maaf, sepertinya saya terbawa suasana.” Arsen menggeleng.
“Anda jangan melakukan hal seperti itu lain kali, saya sudah memiliki pacar dan anda sendiri pun pasti sudah memilikinya.” Helena menggeleng, berusaha membuat jantungnya bisa berdetak normal.
“Baiklah. Lanjutkan pekerjaanmu, saya akan menunggumu dan mengantarmu pulang.” Arsen menggeser kursinya menjauhi meja kerja Helena agar Helena bisa kembali ke posisinya.
“Anda tidak perlu mengantar saya pulang.”
“Lalu suruh pacarmu untuk menjemputmu, seharusnya dia tidak membiarkan pacarnya pulang malam.”
“Dia sedang sibuk.”
“Sibuk? Jika saya pacarmu, saya tidak akan membiarkanmu sampai pulang sendirian, mengingat ini kota yang rawan yang bisa saja terjadi pembegalan.”
“Saya—“
“Cukup! Kerjakan pekerjaanmu dan saya akan tetap menunggumu.”
Helena menghela napas, tak ada gunanya menyuruh atasannya itu pulang duluan mengingat jika Arsen orangnya selalu memaksakan kehendaknya.
****
Sampai di depan pagar rumahnya, Helena melihat Bara tengah menunggunya.
“Terima kasih karena sudah mengantarkan saya pulang.” ucap Helena.
“Baiklah, dia pasti pacarmu, ya sudah saya pergi dulu.” Arsen mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah Helena.
“Siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Bara, terlihat menginterogasi.
“Dia atasanku,” jawab Helena.
“Kenapa dia mengantarmu pulang? Ada urusan apa?”
“Aku lembur, jadi dia mengantarku pulang.”
“Tapi—“
“Kamu mau menginterogasiku? Aku nggak ada hubungan apa-apa sama atasanku itu. Terus kenapa kamu di sini? Aku menyuruhmu menjemputku tapi jawabanmu sibuk.”
“Aku baru saja sampai di sini, hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja.”
“Tapi, setidaknya kamu kan bisa menjemputku.” Helena mulai merasa ragu.
“Aku telpon nggak kamu angkat,”
“Aku udah dijalan dan hpku mati.”
“Ya sudah, kita nggak usah bahas itu, kamu sudah makan?” tanya Bara.
“Udah.”
“Aku beliin soto betawi loh.”
“Aku udah makan, tapi nggak apa-apa deh makan malam untuk kedua kalinya.”
Bara tersenyum. “Aku beli empat, kita makan bareng sama Ayah.”
“Ayah belum makan?”
“Katanya nungguin kamu, padahal aku udah maksa.”
“Ya udah, ayo kita masuk ke rumah.”
Ketika Helena bersama Arsen, ia selalu meragukan perasaannya pada Bara, namun jika ia bertemu Bara, Helena sangat yakin bahwa hatinya hanya untuk Bara, pria sederhana yang selama ini mengajarkan banyak hal padanya.
“Besok, Mama menyuruhku untuk membawamu makan malam di rumah,” tutur Bara.
“Baiklah, beritahu Mama kamu, aku pasti akan datang,” jawab Helena.
“Mama akan menambahkan uang beli rumah.”
“Yang bener? Mama kamu nggak berat, kan? Toko kan pasti lagi butuh dana besar.”
“Aku sih udah nolak, tapi Mama tetap keukeuh untuk membantu kita membeli rumah yang lebih sederhana, namun layak di tinggali.”
“Alhamdulillah kalau begitu.” Helena tersenyum mendengar jika calon Mama mertuanya itu sudah bisa diandalkan, dulu jangankan membantu uang untuk membeli rumah, membayar biaya kuliah adiknya Bara saja Mama Bara enggan.